Sunday, February 28, 2010

AGEN-AGEN PENGEMULSI

Disini akan dibahas secara singkat pengaplikasian praktis dari berbagai pengemulsi yang digunakan secara internal. Karbohidrat, protein, eter selulosa dan padatan-padatan yang terpecah halus bisa dipertimbangkan dalam kelompok pengemulsi ini. Saponin dan anion, agen aktif-permukaan anion, kation dan nonionik tidak digunakan sebagai pengemulsi untuk preparasi internal, dengan beberapa pengecualian, karena rasa yang dimiliki, toksisitas dan aksi pengiritasnya.

Saturday, February 27, 2010

Tujuan Emulsi dan Emulsifikasi

Secara farmasetik, proses emulsifikasi memungkinkan seorang apoteker membuat campuran yang relatif stabil dan homogen dari dua cairan yang tidak dapat saling bercampur. Proses emulsifikasi ini memungkinkan pemberian sebuah obat cair dalam bentuk tetesan-tetesan kecil (globules) ketimbang dalam bentuk curah (bulk). Untuk emulsi yang diberikan lewat mulut, tipe emulsi minyak-dalam-cair memungkinkan dihilangkannya rasa pahit pada obat berupa minyak dengan cara menebarkannya pada sebuah medium cair yang manis yang bisa terasa sampai ke dalam perut. Ukuran partikel bulatan minyak yang berkurang bisa menjadikan minyak tersebut lebih dapat dicerna dan lebih mudah diserap atau lebih efektif. Sebagai contoh, keampuhan minyak mineral yang meningkat sebagai sebuah obat pencahar ketika diformulasi dalam bentuk emulsi.   

Friday, February 26, 2010

Pengaruh Ekstraksi Pra-molar dan Molar Pertama Tambahan (AFMEs) Terhadap Jaringan Lunak

Abstrak

Tujuan : Untuk menentukan pengaruh ekstraksi pra-molar dan molar pertama tambahan (AFMEs) terhadap perubahan jaringan lunak setelah dilakukan empat ekstraksi pra-molar pada pasien-pasien high Angle Class II division 1.

Bahan dan Metode: Sebanyak 33 pasien AFME, 24 diantaranya hanya mengalami AFME maxillary dan 9 mengalami AFME lengkap, diteliti dengan analisis cephalometri dan dibandingkan dengan 43 pasien yang dirawat dengan empat ekstraksi pra-molar (PRME) sebagai sebuah kelompok kontrol. Cephalogram lateral yang dilakukan pada empat titik waktu (pra-perawatan, sebelum AFME, pasca-perawatan, dan retensi)  digunakan untuk analisis statistik dengan uji-t Student.

Hasil : AFME secara signifikan dapat memberikan kontribusi bagi retraksi incisor maxillary dan perubahan jaringan halus selanjutnya sebagaimana diukur dengan sudut-Z dan garis E bibir bawah. Disamping itu, analisis korelasi bivariat menunjukkan bahwa perubahan-perubahan jaringan lunak lebih berkorelasi dengan retraksi incisor maxillary dibanding dengan retraksi incisor mandibular baik pada kelompok AFME maupun pada kelompok PRME. Hasil ini menunjukkan bahwa, pada pasien Kelas II, posisi bibir bawah paling dipengaruhi oleh reduksi proklinasi incisor maxillary.

Kesimpulan: Pendekatan AFME bermanfaat untuk meningkatkan profil-profil pada pasien Kelas II divisi 1 yang merupakan batas antara perawatan PRME dan ekstraksi pra-molar plus pendekatan bedah ortognatik.

Kata kunci: Ekstraksi molar pertama tambahan, high angle, Kelas II divisi 1, sudut-Z.

Thursday, February 25, 2010

Efikasi Pernis Fluoride Dalam Mencegah Karies Dini Pada Anak

Abstrak

Untuk menentukan efikasi pernis fluoride (5% NaF, Duraphat®, Colgate) sebagai tambahan untuk konseling dalam mencegah karies dini pada anak, maka kami melakukan sebuah percobaan klinis selama dua tahun. Percobaan ini bersifat acak dan para pemeriksa tidak mengetahui kondisi sampel. Pada awalnya, 376 anak yang bebas karies dari keluarga kelas ekonomi rendah (San Fransisco yang berkebangsaan China atau Hispanis) didaftarkan dalam penelitian ini (nilai mean usia  SD, 1.8  0,6 tahun). Semua keluarga menerima penyuluhan, dan anak-anak yang terdaftar ini dikelompokkan secara acak ke dalam kelompok-kelompok berikut: tidak ada pernis fluoride, pernis fluoride sekali setahun, atau pernis fluoride dua kali setahun. Penyimpangan protokol yang tidak diharapkan mengakibatkan beberapa anak memperoleh pernis fluoride yang kurang aktif dan tidak sesuai dengan yang telah ditentukan. Analisis menunjukkan adanya efek protektif pernis fluoride terhadap kejadian karies, p < 0,01. Analisis terhadap jumlah pengaplikasian pernis fluoride yang aktual dan aktif menunjukkan adanya efek dosis-respon, p < 0,01. Kejadian karies lebih tinggi pada kelompok “konseling saja” dibandingkan dengan kelompok “konseling + pernis fluoride yang diberikan satu kali setahun” (OR = 2,20, 95% interval kepercayaan 1,19 – 4,08) dan “dua kali setahun” (OR = 3,77, 95% interval kepercayaan 1,88 – 7,58). Tidak ada efek negatif terkait yang dilaporkan. Pernis fluoride sebagai tambahan dalam konseling sangat efektif dalam mengurangi kejadian karies dini pada anak.

Kata kunci : karies gigi, pencegahan, fluoride, anak usia pra-sekolah, percobaan terkontrol acak.

Wednesday, February 24, 2010

Penggunaan ekstrak Terminalia chebula sebagai sebuah agen antikaries: sebuah studi klinis

Abstrak

Obatan-obatan dari tanaman telah lama menjadi bagian dari sistem perawatan kesehatan tradisional kita, dan sifat-sifat antimikroba dari senyawa-senyawa yang diperoleh dari tanaman telah banyak dilaporkan. Tujuan dari penelitian kali ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh ekstrak Terminalia chebula (sebuah tanaman obat) terhadap sampel-sampel saliva dan potensinya untuk digunakan sebagai sebuah agen antikaries dalam bentuk obat kumur. Sebuah ekstrak cair pekat dibuat dari buah T. chebula. Obat kumur dengan konsentrasi 10% dibuat dengan mengencerkan ekstrak dalam air suling yang steril. Keampuhan obat kumur dinilai dengan pegujian terhadap 50 sampel saliva. Sampel-sampel saliva diambil dari subjek-subjek yang telah ditetapkan berisiko tinggi untuk mengalami karies. pH saliva, kapasitas saliva untuk mempertahankan pH, dan aktivitas mikroba dinilai sebelum berkumur, sesaat setelah, dan 10 menit, 30 menit, dan 1 jam setelah berkumur. Terjadi peningkatan pH dan kapasitas penyanggaan dan pengurangan jumlah mikroba. Ekstrak cair dari T. chebula yang digunakan sebagai obat kumur nampaknya dapat menjadi agen antikaries yang efektif.

Kata kunci: karies gigi, tanaman, saliva, Streptococcus mutans

Tuesday, February 23, 2010

Efikasi Pasta-gigi Anticalculus yang Mengandung Sodium exametaphosphate dan Stanno-fluoride

Abstrak

Tujuan: Untuk membandingkan efikasi anticalculus dari sebuah pasta-gigi perlakuan (0.454% stanno-fluoride/sodium heksametaphosphate) dengan sebuah pasta-gigi kontrol negatif.

Bahan dan Metode: Penelitian ini adalah penelitian kelompok secara acak, samar-pemeriksa dan paralel. Setelah tiga bulan berjalan, subjek-subjek yang memenuhi syarat dibagi ke dalam dua kelompok secara acak, yaitu kelompok pasta-gigi perlakuan dan kelompok pasta-gigi kontrol. Masing-masing kelompok memakai pasta-gigi dua kali dalam sehari selama 6 bulan. Pemeriksaan Indeks Volpe-Manhold (V-MI) dan pemeriksaan jaringan lunak pada mulut dilakukan pada awal penelitian, setelah tiga bulan dan setelah 6 bulan. Analisis tambahan dilakukan secara terpisah pada tiga bulan dan enam bulan terhadap tiga sub-kelompok yang dikategorikan sebagai subjek dengan pembentukan calculus tinggi, sedang dan rendah.

Hasil: Jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, kelompok pasta-gigi perlakuan memiliki skor calculus rata-rata yang secara signifikan lebih rendah menurut statistik setelah tiga bulan (50%) dan enam bulan (55%) pasca-perlakuan (p<0,001). Jika dibandingkan dengan skor kontrol. Skor calculus rata-rata dari pasta-gigi perlakuan setelah tiga dan enam bulan secara signifikan lebih rendah menurut statistik pada sub-kelompok pembentuk kalkulus tinggi, sedang dan rendah (p<0,001). Kedua produk pada umumnya ditolerir dengan baik.

Kesimpulan: Pasta-gigi perlakuan menunjukkan efikasi antikalkulus yang signifikan jika dibandingkan dengan kontrol tanpa mempertimbangkan kadar pembentukan calculus pada awal penelitian.

Signifikansi klinis: Teknologi pasta-gigi stanno-fluoride/sodium hexametaphosphate merupakan sebuah penghambat calculus yang efektif untuk perawatan sehari-hari di rumah.

Kata kunci : Calculus, plak, stanno-fluoride, sodium hexametaphosphate, pasta-gigi, kesehatan mulut.

Monday, February 22, 2010

Pengaruh Konsentrasi Fluoride dan pH Terhadap Sifat Korosif Titanium untuk Penggunaan pada Gigi

Abstrak

Titanium digunakan sebagai sebuah logam untuk material biokompatibel seperti implant gigi atau restorasi karena stabilitas kimianya yang sangat baik. Akan tetapi, korosi Ti dalam lingkungan yang mengandung fluoride profilaksis bisa menjadi masalah. Untuk mengklarifikasi efek konsentrasi fluoride dan pH terhadap sifat korosi Ti, maka kami melakukan uji polarisasi anoda dan uji perendaman dalam larutan NaF dengan berbagai nilai konsenrasi dan pH konsentrasi. Ti terlarut dalam larutan uji dianalisis dengan menggunakan spektroskopi massa plasma berpasangan secara induktif. Terlihat batas-batas konsentrasi fluoride yang jelas dan nilai pH dimana sifat korosi Ti mengalami perubahan. Korosi Ti dalam larutan yang mengandung fluoride tergantung pada konsentrasi asam hidrofluorat (HF). Apabila konsentrasi HF dalam larutan lebih besar dari 30 ppm, maka lapisan pasifasi pada Ti akan rusak. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara konsentrasi fluoride dan nilai pH pada mana korosi Ti terjadi dan penelitian ini juga memberikan data tentang korosi seperti ini pada lingkungan dimana konsentrasi fluoride dan nilai pH telah diketahui.

Sunday, February 21, 2010

Pengaruh Calcitonin terhadap Pembentukan Tulang Di Sekitar Implant Titanium. Sebuah Kajian Histometri Pada Mencit

Diskusi

Biokompatibilitas material-material implant modern, seperti titanium, telah diketahui dengan baik dan tidak dianggap sebagai faktor signifikan dalam kegagalan implant endosseous. Sifat penting dari metode osteointegrasi adalah penekanan yang diberikan pada upaya untuk meminimalisir setiap kerusakan jaringan host selama prosedur bedah. Pada penelitian kali ini, prosedur-prosedur standar yang disebutkan sebagai prasyarat untuk perawatan jangka-panjang implant juga diamati dan menghasilkan proses penyembuhan tulang yang mirip dengan yang dilaporkan sebelumnya.

Saturday, February 20, 2010

Karsinoma Kulit Neuroendokrin: Merkel Cell Carcinoma

Pada tahun 1875, Friedrich S. Merkel (1845-1919) menemukan sel-sel staining-jelas yang tidak biasanya pada pertemuan antara dermal dan epidermal dan pada epidermis basal yang sangat terkait dengan serat-serat saraf yang yang mengalami myelinasi. Dia menamakan sel-sel ini sebagai “Tastzellen” (sel-sel sentuh) yang selanjutnya dikenal sebagai sel Merkel.
   
Pada tahun 1972, Toker melaporkan 5 kasus neoplasma kulit dengan pola struktur “trabecular” yang menonjol. Laporan-laporan selanjutnya menunjukkan bahwa karsinoma trabecular menunjukkan kemiripan struktur yang sangat jelas dengan sel Merkel. Pemeriksaan immunositokimia dan biokimia lebih lanjut menunjukkan bahwa kelompok karsinoma kulit ini memiliki sifat-sifat diferensiasi neuroendokrin dan epitelial, dengan demikian diusulkan nama cutaneous neuroendocrine carcinoma (karsinoma kulit neuroendokrin).

Friday, February 19, 2010

Ketidakcukupan diet dan bahan makanan diantara anak-anak Hispanis: faktor-faktor akulturasi dan sosial ekonomi dalam survei NHNES ke-3.

Pendahuluan
   
Suku, ras, jenis kelamin, pendidikan, dan pendapatan diusulkan sebagai dimensi-dimensi kunci yang mendasari disparitas dalam kesehatan. Di Amerika Serikat, status sosial ekonomi yang rendah terkait dengan kesehatan anak yang buruk, termasuk tinggi badan, berat badan, dan perkembangan. Para remaja yang hidup dalam rumah tangga yang berpendapatan rendah dua kali lebih mungkin mengalami berat badan berlebih atau kegemukan dibanding anak-anak yang hidup dalam rumah tangga yang berpendapatan lebih tinggi dan >4 kali lebih mungkin mengalami ketidaktahanan pangan. Keluarga-keluarga Hispanis memiliki pendapatan di bawah tingkat kemiskian jika dibandingkan dengan keluarga-keluarga kulit putih non-Hispanis. Kecenderungan keluarga Hispanis untuk menunjukkan lebih banyak diet bergizi meski status sosial mereka rendah telah menimbulkan dugaan tentang adanya proteksi berbasis budaya terhadap efek kesehatan berbahaya yang biasanya terkait dengan pendapatan rendah.

Thursday, February 18, 2010

Hubungan antara usia suami dengan keguguran alami

Abstrak

Tujuan: Untuk mengevaluasi pengaruh usia suami terhadap keguguran alami.

Metode: Penelitian ini terdiri dari 13.856 sampel wanita yang dipilih berdasarkan data dari wawancara antenatal atau postpartum wanita-wanita di Jerussalem Perinatal Study, sebuah kohort berbasis populasi yang diperoleh dari 92.408 kelahiran antara tahun 1964 – 1976. Wanita perlakuan (n=1.506) melaporkan keguguran alami sebelum wawancara; mereka dibandingkan dengan wanita yang melaporkan kelahiran hidup pada kehamilan sebelumnya (n=12.359). Regresi logistik digunakan untuk melakukan penyesuaian usia ibu, diabetes ibu, kebiasaan merokok ibu, riwayat keguguran alami sebelum kehamilan pertama, paritas pada wawancara, dan interval antara kelahiran pertama dan wawancara.

Hasil: Rasio ganjil yang disesuaikan untuk keguguran alami adalah 0,59% (95% interval kepercayaan 0,45-0,76, P<0,0001) untuk kehamilan dari ayah yang berusia dibawah 25 tahun dibandingkan dengan kehamilan dari ayah yang berusia 25-29 tahun. Untuk ayah yang berusia 40 tahun atau lebih, rasio ganjil untuk keguguran alami adalah 1,6 (95% interval kepercayaan 1,2 – 2,0, P = 0,0003) jika dibandingkan dengan kelompok referensi yang sama.

Kesimpulan: Usia bapak yang lebih tinggi secara signifikan terkait dengan keguguran alami, tanpa tergantung pada usia ibu dan berbagai faktor lainnya.

Tingkat kepercayaan: II-2

Wednesday, February 17, 2010

Desain Implant Baru Untuk Perlindungan Tulang Crestal: Pengamatan-pengamatan awal dan laporan kasus

Abstrak

Setelah eksposur dan restorasi implant gigi dua-bagian, beberapa perubahan dalam tingkat vertikal tinggi tulang crestal peri-implant telah dilaporkan. Akan tetapi, perubahan pada tinggi tulang crestal ini tidak berdampak negatif terhadap keberhasilan implant jangka panjang. Artikel ini menjelaskan tentang bagaimana konsep platform switching (perubahan platform) digunakan dalam sebuah desain implan baru sebagai sebuah cara untuk mengurangi atau mencegah kehilangan tulang crestal. Pengamatan-pengamatan terdahulu oleh para tenaga klinis yang menggunakan desain implant baru ini akan disajikan di sini.

Tujuan Pembelajaran :

Artikel ini membahas sebuah mekanisme inflammatory yang terlibat dalam khilangan tulang crestal setelah restorasi implant. Selama membaca artikel ini, pembaca diharapkan :
Mampu mengenali sebuah mekanisme yang terlibat dalam kehilangan tulang crestal setelah eksposur implant.
Memahami bagaimana konsep perubahan platform sebagai sebuah cara untuk mengurangi atau mencegah kejadian ini digunakan dalam sebuah desain implant baru.

Kata kunci : implant, tulang, resorpsi, perubahan platform.

Tuesday, February 16, 2010

Tansfer Lemak Autologous untuk Peremajaan Periorbital: Indikasi, Teknik, dan Komplikasi

Abstrak

Latar belakang: Daerah periorbital merupakan salah satu daerah wajah pertama yang menunjukkan tanda-tanda penuaan. Pendekatan-pendekatan bedah tradisional terdiri dari prosedur pengangkatan dan prosedur pemotongan termasuk pengangkatan alis dan blepharopasties. Akan tetapi, hasil yang tidak optimal telah menyebabkan para ahli-bedah untuk mengevaluasi kembali pendekatan yang mereka gunakan untuk meremajakan kembali periorbita.

Tujuan : Dalam artikel ini, kami mereview kekurangan-kekurangan prosedur pengangkatan alis dan prosedur blepharoplasty dan membahas penyusutan volume yang terjadi akibat penuaan. Pendekatan yang kami gunakan untuk peremajaan daerah periorbita adalah dengan restorasi volume menggunakan transplantasi lemak autologous.

Bahan dan metode : Pemaparan tentang sebuah review mengenai tehnik transfer lemak untuk daerah periorbital.

Hasil : Foto-foto sebelum dan sesudah prosedur yang disajikan menunjukkan adanya peremajaan periorbital.

Kesimpulan : Para ahli bedah yang melakukan bedah kecantikan harus mempertimbangkan ulang pendekatan yang mereka gunakan untuk daerah periorbital dan meningkatkan hasil yang dicapai melalui transplantasi lemak autologous.

Monday, February 15, 2010

DERMATOLOGI AKUATIK

PENDAHULUAN

Planet bumi sebagian besar ditutupi oleh air. Jika seluruh laut, danau, dan sungai digabungkan, maka total permukaan bumi yang tertupi air adalah tujuh persepuluh bagian. Manusia memiliki kecenderungan untuk menjelajahi, menikmati, dan mengeksploitasi perairan tersebut. Hewan-hewan memiliki bisa dan toksin yang paling potensial bagi manusia. Para perenang juga telah mengalami dermatitis kontak dalam air laut. Setelah bersentuan sesaat dengan sebuah koral kuning di Laut Merah, sekelompok perenang, penyelam, penyurfing, dan penerjun mengalami pruritus yang intensift akibat ICD.(1.moscella, 4.Acad)
   
Bidang studi dermatologi akuatik, sebuah istilah yang dicetuskan oleh seorang ahli dermatologi terkenal, Alexander Fisher, M.D., mencakup berbagai macam dermatosa mulai dari sengatan ubur-ubur sampai urtikaria akuagenik. Sengatan juga bisa disebabkan oleh spesies portuguese man-of-war, anemon laut, dan koral (karang) merupakan spesies bercaun yang paling sering ditemui oleh manusia dalam lingkungan laut. (1.moscella, 2.fitzpatrick)

Sunday, February 14, 2010

Reaksi pembalikan (reversal reaction) dan konversi Mitsuda pada kusta lepromatous polar

Intisari

Dalam laporan kasus ini dilaporkan seorang pasien kusta lepromatous polar berusia 22 tahun yang menjadi positif Mitsuda setelah 36 bulan menjalani terapi MDT (multidrug therapy). Kusta lepromatous (LL) merupakan sebuah kondisi penekanan-sistem-imun spesifik dan bersifat irreversible. Hasil uji Mitsuda yang positif pada kusta lepromatous polar yang terbukti secara histopatologis sangat jarang ditemukan, dan konversi status lepromin setelah MDT belum ada yang dilaporkan sejauh ini. Laporan-laporan kasus yang disajikan disini menguatkan pengamatan yang dilakukan oleh Waters dkk., tentang konversi lepromin pada pasien-pasien lepromatous.

Saturday, February 13, 2010

Alloy Gigi dan Kekebalan Terhadap Korosi

Ringkasan

Logam dan campuran logamnya (alloy) merupakan material yang tidak bisa dihindari pemakaiannya dalam kedokteran gigi setiap hari untuk membuat isian, sistem pasak dan inti tuang, mahkota individual, struktur atas implant, gigitiruan dan alat-alat ortodontik. Material yang ditanam dalam mulut terekspos dalam periode waktu yang lama terhadap pengaruh fungsional, biokimia dan pengaruh bakteri media mulut yang bisa memiliki imbas negatif terhadap alat terapeutik atau jaringan di sekitarnya. Kekebalan terhadap korosi merupakan sebuah persyaratan untuk biokompatibilitas. Karena alasan ekonomi, logam yang sangat tahan korosi jarang digunakan, sedangkan logam-logam yang tidak terlalu kuat terhadap korosi bermunculan di pasaran. Karena seorang dokter-gigi bertanggungjawab untuk pemilihan logam yang ditanam, maka sebleum penanaman diperlukan untuk memperkirakan dampak saliva sebagai sebuah media agresif terhadap semua logam atau alloy. Berdasarkan penelitian dari berbagai literatur, tujuan dari penelitian kali ini adalah untuk memberikan dan menggambarkan logam-logam gigi yang telah ada dan alloy-alloy dalam konteks karakteristik anti korosinya, dan cara ini membantu seorang dokter gigi dalam membuat pilihan yang tepat.

Friday, February 12, 2010

Kebutuhan perawatan ortodontik di bagian barat Saudi Arabia: sebuah laporan penelitian

Abstrak

Latar belakang: Evaluasi kebutuhan aktual dan kebutuhan yang dirasakan sendiri akan perawatan ortodontik dapat membantu dalam merencanakan pelayanan ortodontik dan dalam memperkirakan sumber-daya serta tenaga manusia yang diperlukan. Pada penelitian kali ini, kebutuhan menurut persepsi sebagaimana dievaluasi oleh pasien dan kebutuhan aktual terhadap perawatan ortodontik, sebagaimana dinilai oleh ortodontist, dievaluasi pada dua tipe praktek gigi di kota Jeddah dengan menggunakan indeks IOTN (Indeks Kebutuhan Perawatan Ortodontik).

Metode: Sampel yang terdiri dari 743 orang dewasa yang mencari perawatan ortodontik pada dua tipe praktek gigi berbeda di Jeddah: Universitas King Abdulaziz, Fakultas Kedokteran Ggi (KAAU) (perawatan gratis) dan dua poliklinik gigi swasta (PDP) (perawatan berbayar), diperiksa kebutuhan perawatan ortodontiknya dengan menggunakan komponen kesehatan gigi (DHC) dari IOTN. Kebutuhan yang dirasakan sendiri terhadap perawatan orotodontik juga ditentukan dengan menggunakan komponen estetik (AC) dari IOTN. Skor IOTN dan kejadian dari masing-masing variabel dihitung secara statistik. Kategori-kategori AC dan DHC dibandingkan dengan menggunakan Chi-Square dan sebuah korelasi antara keduanya dinilai menggunakan uji korelasi Spearman. AC dan DHC juga dibandingkan antara kedua tipe praktek gigi dengan menggunakan Chi-Square.

Hasil: Hasil menunjukkan bahwa diantara 743 pasien yang diteliti, 60,6% menyatakan tidak ada atau sedikit kebutuhan akan perawatan, 23,3% menyatakan kebutuhan sedang atau pokok dan hanya 16,1% yang menganggap membutuhkan perawatan ortodontik. Jika ini dibandingan dengan pertimbangan profesional, maka hanya 15,2% yang cocok dengan 'sedikit atau tidak ada kebutuhan akan perawatan', 13,2% dinilai berada pada kebutuhan standar dan 71,6% dinilai sebagai memerlukan perawatan (P < 0,001). Uji korelasi Spearman membuktikan tidak ada korelasi (r = -.045) antara kedua komponen. Perbandingan AC dan DHC antara kelompok KAAU dan kelompok PDP menunjukkan perbedaan signifikan antara kedua kelompok (p < 0,001).

Kesimpulan: Persepsi pasien terhadap perawatan ortodontik tidak selamanya berkorelasi dengan penilaian profesional. IOTN merupakan sebuah alat screening yang valid yang harus digunakan dalam klinik ortodontik untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, khususnya dalam pusat-pusat kesehatan yang menyediakan perawatan gratis.

Thursday, February 11, 2010

Tanda-tanda dan gejala-gejala penyakit temporomandibular dan parafungsi mulut pada remaja perkotaan di Arab Saudi : sebuah laporan penelitian

Abstrak

Latar belakang: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi prevalensi tanda-tanda dan gejala-gejala penyakit temporomandibular (TMD) dan kebiasaan parafungsi mulut diantara para remaja Arab Saudi yang sedang dalam tahap pertumbuhan gigi geligi permanen.

Metode: Sebanyak 385 (230 perempuan dan 155 laki-laki) anak-anak sekolah berusia 12 – 16 tahun, mengisi sebuah kuisioner dan diperiksa secara klinis. Sebuah tehnik seleksi bertingkat digunakan untuk alokasi sekolah-sekolah.

Hasil: Hasil menunjukkan bahwa 21,3% subjek menunjukkan sekurang-kurangnya satu tanda TMD dan wanita lebih sering terkena dibanding pria. Bunyi sendi merupakan tanda yang paling prevalen (13,5%) diikuti dengan pembukaan mulut yang terbatas (4,7%) dan penyimpangan pembukaan (3,9%). Amplitudo pembukaan mulut, yang merupakan overbite yang dipertimbangkan, masing-masing adalah 46,5 mm dan 50,2 mm untuk wanita dan pria. Nyeri TMJ dan kehalusan otot jarang terjadi (0,5%). Gejala-gejala yang dilaporkan adalah 33%, sakit kepala merupakan gejala yang paling sering (22%), diikuti dengan nyeri selama mengunyah (14%) dan bunyi TMJ (8,7%). Kesulitan selama membuka rahang dan mengunci rahang cukup jarang terjadi. Mengigit bibir/pipi merupakan kebiasaan parafungsi yang paling umum (41%) dimana wanita lebih sering mengalami ketimbang pria, diikuti dengan menggigit kuku (29%). Bruxisme dan menghisap ibu jari masing-masing hanya 7,4% dan 7,8%.

Kesimpulan: Prevalensi tanda-tanda TMD adalah 21,3% dimana bunyi sendi merupakan tanda yang paling prevalen. Sedangkan gejala-gejala TMD ditemukan sebesar 33%, dengan sakit kepala yang paling prevalen. Diantara parafungsi mulut, mengigit bibir/pipi merupakan yang paling prevalen (41%) diikuti dengan menggigit kuku (29%).

Wednesday, February 10, 2010

Kebutuhan perawatan ortodontik - kebutuhan normatif dan kebutuhan yang dirasakan sendiri – pada sebuah populasi Universitas Peru

Abstrak

Latar belakang: Penelitian-penelitian terdahulu tentang kebutuhan perawatan ortodontik pada remaja telah menunjukkan bahwa sampai 50% memiliki maloklusi yang memerlukan perawatan ortodontik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai kebutuhan perawatan ortodontik – kebutuhan normatif dan kebutuhan yang dirasakan sendiri – dengan menggunakan Indeks IOTN (Indeks Kebutuhan Perawatan Ortodontik) dan untuk menentukan apakah tingkat kebutuhan perawatan dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia dan status sosial ekonomi (SES) pada sebuah sampel remaja di Peru.

Metode: Sebanyak 281 mahasiswa tahun-pertama (157 laki-laki dan 124 perempuan) dengan usia rata-rata 18,1 ± 1,6 tahun dipilih secara acak dan dievaluasi dengan DHC (Komponen Kesehatan Gigi) dan AC (Komponen Estetik) dari IOTN. Wawancara terstruktur dan pemeriksaan klinis digunakan untuk memeriksa para mahasiswa. Uji statistik deskriptif dan uji Chi-square digunakan untuk analisis data dengan signifikansi pada pada P < 0,05.

Hasil: Kepercayaan intra-pemeriksa sebesar 0,89 diperoleh (Kappa tertimbang). Persentase mahasiswa menurut SES adalah 51,2%, 40,6% dan 8,2% masing-masing untuk SES rendah, sedang dan tinggi. Persentase mahasiswa dengan DHC kelas 4-5 adalah 29,9% sedangkan persentase mahasiswa dengan   AC kelas 8-10 adalah 18%. Tidak ada perbedaan signifikan dalam hal distribusi antara perawatan ortodontik normatif dengan perawatan ortodontik yang dirasa perlu berdasarkan jenis kelamin, usia dan perbandingan SES.

Kesimpulan: Kebutuhan perawatan ortodontik normatif tidak sama dengan kebutuhan perawatan yang dirasakan sendiri pada tingkatan yang mirip pada remaja. Jenis kelamin, usia dan SES tidak menjadi faktor signifikan yang terkait dengan tingkat kebutuhan perawatan.

Tuesday, February 9, 2010

Regulasi Sintesis Protein oleh Ribosom

Disamping regulasi yang mengubah sintesis protein individual dengan cara merubah jumlah mRNA untuk protein tersebut, regulasi sintesis protein dan degradasinya juga terjadi pada tingkat jaringan melalui perubahan yang mempengaruhi semua protein dari jaringan atau organ tersebut. Sintesis protein pada tingkat jaringan diregulasi oleh beberapa ribosom dalam sel dan juga diregulasi oleh beberapa mekanisme yang dilakukan oleh masing-masing ribosom.
   
Sebuah contoh regulasi sintesis protein pada tingkat jaringan dapat dilihat dalam respon terhadap kelaparan, ketika terjadi kehilangan protein yang banyak dari otot rangka. Dalam beberapa jam tidak makan, terjadi penurunan laju sintesis per ribosom, diikuti dengan menurunnya jumlah total ribosom secara perlahan, yang mana menjadi faktor dominan pada saat kelaparan berlangsung. Juga ada beberapa perubahan degradasi protein pada saat kelaparan yang akan dibahas selanjutnya dalam bab ini.

Monday, February 8, 2010

POLYPRENYL-HYDROQUINON DAN POLYFRENYL-FURAN DARI TIGA SPONGES LAUT DAPAT MENGHAMBAT CDC25A POSFATASE YANG MEREGULASI SIKLUS SEL

ABSTRAK

CDC25 posfatase meregulasi siklus pembelahan sel dengan cara mengendalikan aktivitas kinase yang tergantung cyclin. Ketika melakukan screening untuk berbagai inhibitor posfatase pada beberapa produk alam, kami seringkali menemukan bahwa beberapa polyfrenyl-hydroquinon dan polyfrenyl-furan (furanoterpenoid) (furospongins, furospinosulin) dapat menjadi inhibitor CDC25 posfatase yang potensial. Senyawa-senyawa ini diekstrak, diisolasi dan diidentifikasi secara independen dari tiga spesies sponge (Spongia officinalis, Ircinia spinulosa, Ircinia muscarum), diambil dari lokasi-lokasi yang berbeda di Laut Mediteranian. Senyawa-senyawa ini tidak aktif pada Ser/Thr posfatase PP2C-α dan pada tiga kinase (CDK1, CDK5, GSK-3), sehingga menunjukkan bahwa beberapa CDC25 posfatase yang potensial dan selektif bisa dirancang dari struktur-struktur awal senyawa ini.

Kata kunci : polyfrenyl-hydroquinon; polyfrenyl-furan; kinase yang tergantung cyclin.

Sunday, February 7, 2010

Sitotoksisitas Fasciculatin dan Daya Hambatnya Terhadap Perkembangan Limfosit. Sebuah Furanosesterpen Linear Yang Diisolasi dari Ircinia viariabilis Di Pantai Atlantik Maroko

Abstrak

Fasciculatin, yang merupakan sebuah furanosesterpen yang diisolasi dari sponge laut Ircinia variabilis di Pantai Atlantik Maroko, telah dievaluasi pengaruhnya terhadap perkembangan limfosit manusia yang diinduksi mitogen dan pertumbuhan sel tumor manusia.

Kata kunci : Porifera, Ircinia variabilis, sitotoksistas, sel tumor manusia, penghambatan perkembangan limfosit.

Pendahuluan

Sesterterpen linear yang mengandung furanyl dan asam tetronat merupakan karakteristik dari berbagai metabolit yang diisolasi dari sponge laut khususnya genus Ircinia, Sacrotragus, dan Psammocinia. Jenis-jenis furanosesterterpen ini telah terbukti memiliki banyak aktivitas biologis antara lain aktivitas antivirus, antibakteri, anti-inflammatory, antitumor, dan aktivitas penghambatan protein fosfatase.
   
Pada penelitian tentang metabolit-metabolit sekunder biokatif kali ini yang berasal dari berbagai organisme laut yang diperoleh dari Pantai Atlantik Maroko, kami telah berhasil mengisolasi fasciculatin (senyawa 1) dari ekstrak klorofom sponge laut Ircinia variabilisi, yang diambil dari pantai Atlantik Maroko. Kami juga telah mengamati efek senyawa ini pada respon mitogenik limfosit-limfosit manusia terhadap terhadap phytohemagglutinin (PHA) serta efeknya terhadap pertumbuhan sel-sel tumor manusia: MCF-7 (payudara), NCI-H640 (paru-paru) dan SF-268 (Sistem Saraf Pusat).

Penyebab Aspirasi dan Perawatannya

Pendahuluan
   
Bernafas, berbicara, dan menelan dengan normal dicapai dengan adanya metode pertahanan yang efisien terhadap aspirasi (penghirupan) cairan dan/atau padatan ke dalam saluran pernafasan bawah. Pasien-pasien yang yang memiliki tingkat kesadaran terganggu, refleks batuk dan refleks gumam yang terganggu, serta kerentanan terhadap regurgitasi atau muntah-muntah, berisiko mengalami aspirasi (terhirupnya) isi lambung ke dalam saluran udara.
   
Aspirasi isi usus ke jantung merupakan salah satu komplikasi yang paling ditakuti dari anestesi. Ini bisa menyebabkan pneumonitis, hypertensi pulmonary, ketidaksesuaian ventilasi-perfusi dan sindrom distress respirasi (ARDS). Pasien-pasien yang telah mengalami aspirasi memiliki kemungkinan meninggal yang delapan kali lebih besar setelah dilakukan prosedur bedah. Pencegahan aspirasi merupakan salah satu metode mendasar untuk pemberian anestesi yang aman (lihat Bab 6: penatalaksanaan perioperatif bedah darurat).

Teknik-Teknik Lobektomi Spesifik

Lobektomi Temporal
   
Insisi untuk lobektomi temporal harus dilakukan sejajar dengan fisur Sylvian dalam pusat superior temporal gyrus, kembali ke vena Labbe, dan kemudian ke bawah, pada umumnya mengikuti jalur vena Labbe ke pangkal temporal fossa tengah. Luasan lobektomi dominan bisa ditentukan menurut stimulasi. Kedua insisi ini harus digabungkan secara lateral ke arah incisura tentorium, dan struktur tengah (uncus dan hippocampus) harus dikeluarkan dengan diseksi isapan. Penting untuk mencapai ujung bebas dari tentorium dan menyediakan jalan-keluar bebas untuk cairan spinal. Jika tumor signifikan pada otak terletak dalam daerah uncus, maka kemungkinan pembengkakan, impaksi dan kompresi otak tidak banyak bisa dikurangi. Jika massa tumor utama dan lobe telah dikeluarkan, kita bisa mengeluarkan bagian-bagian yang masih tersisa pada superior temporal gyrus dan otak secara posterior di depan vena Labbe. Jika tumor meluas di belakang vena Labbe, maka tumor bisa dikeluarkan dengan menggunakan tehnik-tehnik diseksi intratumoral, tapi jika tumornya adalah tumor lunak, sulit untuk dipastikan bahwa otak yang berfungsi tidak ikut terangkat. Keputusan untuk mengeluarkan tumor secara posterior harus didasarkan pada pada (a) kenampakan tumor di sekitar otak dan (b) pengalaman dokter bedah. Tehnik-tehnik stimulasi tambahan dapat menjadi pembantu yang bermanfaat.

Peranan Vaksin dalam Pengendalian Penyakit Kusta

“Pengendalian morbiditas” merupakan sebuah tema yang yang berulang-ulang disebutkan dalam laporan WHO terbaru yang berjudul “Strategi global untuk lebih mengurangi bebas kusta dan menjaga kesinambungan aktivitas pengendalian kusta: 2006-2007”. Meskipun pendekatan ini terlihat rasional, berdasarkan alat yang ada sekarang untuk mengendalikan kusta (yakni pendeteksian kasus-kasus baru secara tepat, perawatan dengan kemoterapi efektif, pencegahan kecacatan dan rehabilitas), namun pendekatan ini tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya kusta kembali di masa depan. Haruskah kita menerima paradigma “pengendalian morbiditas” atau apakah ada pendekatan lain yang harus dicari yang dapat memberikan wawasan baru tentang pengendalian kusta dan kemungkinan intervensi yang dapat membawa kita ke jalur yang tepat untuk eradikasi kusta?

Survei Penyakit Kulit dan Isu-Isu Terkait Kulit Pada Orang-orang Amerika yang Berasal dari Arab

Abstrak

Latar belakang: Masih sedikit pengetahuan yang terkait dengan kondisi-kondisi dermatologi pada orang-orang Amerika yang berasal dari Arab.

Tujuan: Untuk mengevaluasi penyakit kulit umum dan kekhawatiran-kekhawatiran tentang kulit serta untuk mengevaluasi akses terhadap perawatan dermatologi dan persepsi tentang kulit pada orang Amerika Arab.

Metode: Orang Amerika Arab dari 3 lokasi di Micighan bagian tenggara (pusat- kesehatan-komunitas [n = 207], masjid [n = 95], dan gereja [n = 99]) menyelesaikan kuisioner survei.

Hasil: Kondisi kulit yang paling umum dilaporkan adalah jerawat, eczema/dermatitis, kutil, infeksi kulit akibat jamur, dan melasma. Kekhawatiran terhadap kulit yang paling utama adalah tekstur kulit yang tidak merata, perubahan warna kulit, kulit kering, jerawat, dan bulu wajah. Ada hubungan yang signifikan antara status sosioekonomi dengan kunjungan ke dermatologist. Sikap seputar persepsi kulit terkait dengan lamanya menetap di Amerika Serikat.

Keterbatasan: Data tentang kondisi kulit diperoleh dari survei dimana pasien melaporkan sendiri kondisi kulit yang diderita.

Kesimpulan: Kondisi-kondisi kulit dan isu-isu terkait kulit lainnya yang menimpa orang Amerika Arab cukup mirip dengan yang menimpa penduduk lainnya di Amerika Serikat.

Penduduk Amerika beranekaragam secara etnis dan budaya. Orang Amerika Arab merupakan sebuah kelompok etnis yang membentuk beberapa generasi imigran dari negara-negara berbahasa Arab di Asia bagian barat-daya dan Afrika Utara yang telah menetap di Amerika Serikat sejak tahun 1880an. Saat ini, diperkirakan 3,5 juta orang Amerika Arab tinggal di Amerika Serikat. Di seluruh wilayah Amerika Serikat, komunitas Amerika Arab juga berbeda dari segi negara asal, dimana Amerika Libanon merupakan kelompok yang terbesar. Michigan memiliki jumlah penduduk Amerika Arab terbesar di Amerika Serikat. Sekitar 490.000 orang Amerika Arab menetap di Michigan, dengan 39% tinggal di Wayne County, yang terletak di Michigan bagian tenggara. Populasi Amerika Arab berkembang lebih dari 65% antara tahun 1990 sampai 2000. Di Michigan, walaupun orang Amerika Libanon merupakan kelompok etnis terbesar, namun jumlah imigran baru terbesar berasal dari Irak pada tahun 1990an, setelah Perang Teluk.
   
Menurut data sensus tahun 2000, analisis terhadap penduduk Amerika Serikat menunjukan bahwa akan terjadi pergeseran demografi yang signifikan di engara ini pada abad ke-21, dengan laju pertumbuhan yang sangat tinggi diantara berbagai kelompok etnis yang berbeda. Diperkirakan bahwa sekitar 48% penduduk Amerika Serikat bukan lagi dari ras Kaukasoid pada tahun 2050 mendatang. Penyakit kulit sering  muncul secara berbeda pada individu-invidu yang berbeda warna kulitnya. Di Amerika Serikat, epidemiologi penyakit kulit pada populasi etnis telah diteliti untuk penduduk Hispanis, Amerika Afrika, Asia, dan Amerika Asli. Kulit berwarna atau kulit etnis didefinisikan sebagai kulit non-Kaukasoid yang lebih gelap, khususnya kulit Fitzpatrick fototipe IV, V, dan VI. Orang-orang keturunan Arab seringkali dikelompokkan sebagai Kaukasoid; akan tetapi, mereka memiliki banyak perbedaan warna kulit. Sebagai contoh, orang-orang yang berasal dari Libanon dan Syria cenderung memiliki kulit tipe biasa; sedangkan mereka yang berasal dari Yaman cenderung memiliki kulit yang berwarna lebih gelap.
   
Meskipun pertumbuhan populasi Amerika Arab yang terus berkembang, namun masih sedikit pengetahuan yang terkait dengan kondisi-kondisi dermatologi pada orang-orang Amerika Arab. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan penyakit kulit paling umum dan kekhawatiran-kekhawatiran berkenaan dengan kulit diantara orang-orang Amerika Arab dan untuk mengevaluasi akses terhadap perawatan dermatologi serta persepsi tentang kulit pada sebuah komunitas Amerika Arab di Michigan bagian tenggara.

METODE
   
Sebanyak 421 orang Amerika Arab, yang berusia 20 sampai 80 tahun, dari 3 lokasi berbeda di Detroit/wilayah Michigan tenggara – sebuah pusat kesehatan komunitas, sebuah masjid, dan sbuah gereja – diminta untuk berpartisipasi dalam sebuah penelitian cross-sectional. Penelitian ini melibatkan sebuah survei dalam bentuk kuisioner yang diisi sendiri oleh partisipan.
   
Selama fase pembuatan survei pertama, kumpulan pertanyaan awal dibuat oleh para peneliti, dan item-item pertanyaan awal ini dirancang untuk menilai penyakit kulit yang paling umum (yakni, diagnosa diberikan sebelumnya oleh seorang dokter) dan kekhawatiran-kekhawatiran terkait (yakni, kekhawatiran partisipan sendiri), dan akses terhadap perawatan dermatologi dan persepsi tentang kulit diantara orang-orang Amerika Arab. Item-item pertanyaan ini memalui banyak proses seleksi. Beberapa item direvisi supaya lebih jelas dan agar lebih dipahami oleh responden. Setelah proses revisi selesai, survei diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh seorang penerjemah bahasa Arab yang bersertifikasi. Versi bahasa Inggris dan bahasa Arab dari kuisioner tersebut diujicoba pada sebuah acara kesehatan di pusat kesehatan komunitas. Sebanyak 21 orang berpartisipasi pada uji coba tersebut. Setelah wawancara singkat menyusul pemberian kuisioner, semua responden melaporkan bahwa mereka telah mengerti pertanyaan-pertanyaan survei yang diberikan dan bisa menyelesaikan survei dalam waktu kurang dari 15 menit. Berdasarkan input partisipan selama sesi uji coba ini, ada sedikit perubahan yang dilakukan pada bagian demografi dari kuisioner tersebut. Lebih lanjut, selama sesi uji-coba. Beberapa responden belum menyelesaikan survei secara keseluruhan. Untuk mengatasi masalah ini, pada saat penelitian dilakukan, masing-masing partisipan didorong untuk menyelesaikan seluruh survei selama proses perizinan. Penelitian ini telah disetujui oleh Badan Review Internasional Henry Ford Hospital, Detroit, Michigan.
   
Setelah sesi uji coba, peneltian dilakukan di pusat kesehatan komunitas, di masjid, dan di gereja. Sampel ditentukan secara sistematis, yang melibatkan pengidentifikasian start acak dimana setiap elemen ke-n dipilih untuk berpartisipasi (yakni, apabila n = 3, maka diambil sampel setiap partisipan ketiga). Di pusat kesehatan komunitas, setiap pasien ketiga yang dijadwalkan untuk kunjungan klinis diundang untuk mengisi kuisioner. Di masjid setelah shalat Jum'at dan di gereja setelah Kebaktian, setiap orang ketiga yang keluar dari daerah peribadatan diajak untuk mengisi survei. Jadwal kunjungan di pusat kesehatan komunitas dibuat secara acak, demikian juga pola-pola keluar dari tempat peribadatan dalam masjid dan gereja.
   
Jika persetujuan telah diterima, para partisipan diberikan sebuah kuisioner untuk diisi baik dalam bahasa Inggris atau bahasa Arab. Disamping pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan kondisi-kondisi kulit, penyakit dan isu-isu terkait kulit lainnya, informasi demografi, termasuk jenis-kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, negara asal, dan lamanya menetap di Amerika Serikat, juga dicatat.
   
Sampel-sampel dari masjid dan gereja tidak berbeda dalam hal status sosial-ekonomi sehingga digabung dalam analisis. Analisis dilakukan dengan menggunakan program SPSS 13.0. Statistik deskriptif dasar diperoleh dan mencakup nilai mean, nilai median dan frekuensi. Data kontingensi dianalisis menggunakan statistik chi-squarePearson. Disamping itu, rasio ganjil juga diperoleh. Tingkat alfa 0,05 ditentukan signifikan secara statistik. Perbandingan uji proporsi juga dilakukan.

HASIL

Demografi

Dari 421 pasien yang diberi kuisioner, 401 (95.2%) melengkapi survei secara keseluruhan (pusat kesehatan komunitas [n = 207], masjid [n = 95], gereja [n = 99]). Data dari 41 responden ini dimasukkan dalam analisis. Data demografi, yang mencakup jenis kelamin, usia, dan negara asal untuk 401 partisipan, ditunjukkan pada Tabel I.
   
Tingkat pendapatan sangat berbeda antara populasi pusat kesehatan masyarakat dengan populasi masjid dan gereja (Tabel I). Disamping itu, partisipan dari masjid dan gereja melaporkan tingkat pendidikan yang secara keseluruhan lebihtinggi dibanding partisipan pada pusat kesehatan masyarakat. Sebaliknya dengan populasi dari masjid dan gereja, populasi pusat kesehatan komunitas terdiri dari sekelompok orang yang merupakan imigran baru di Amerika Serikat.

Penyakit kulit yang dilaporkan sendiri dan kekhawatiran-kekhawatiran
   
Lima penyakit kulit yang paling umum, berdasarkan diagnosa yang diberikan oleh seorang dokter, yang dilaporkan oleh partisipan dari pusat kesehatan komunitas, partisipan dari masjid, dan partisipan dari gereja adalah jerawat (37,7%), eczema/dermatitis (25,5%), kutil (20%), infeksi kulit akibat jamur (20%), dan melasma (14,5%) (Tabel II). Lima kekhawatiran terhadap kulit yang paling utama, sebagaimana dirasakan oleh partisipan, adalah tekstur kulit yang tidak merata (56.4%), perubahan warna kulit (49,4%), dan rambut pada wajah (42.4%) (Tabel III). Tidak ada perbedaan signifikan natara populasi pusat-kesehatan-komunitas dengan populasi dari masjid dan gereka dalam hal penyakit kulit dan kekhawatiran yang dilaporkan.

Kunjungan ke dermatologist
   
Secara keseluruhan, 35,3% partisipan dari pusat-kesehatan-komunitas melaporkan pernah mengunjungi dermatologist sedangkan pada partisipan dari masjid dan gereja 61,1% pernah mengujungi dermatologist. Mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dari tingkat diploma memiliki kemungkinan dua kali lipat untuk menemui dermatologist dibanding yang rendah tingkat pendidikannya (rasio ganjil [OR] = 2,1 P < 0.01). Mereka yang memiliki pendapatan dalam satu tahun sebesar $40.000 atau lebih memiliki kemungkinan dua kali lipat untuk menemui dermatologist dibanding yang pendapatannya kurang dari $40.000 per tahun (OR = 1,8 P < 0,005).

Persepsi tentang kulit
   
Diantara partisipan dari pusat-kesehatan-komunitas, 74,3% melaporkan bahwa kulit mereka yang putih atau kuning-langsat lebih menyenangkan dipandang sedangkan pada partisipan dari masjid dan gereja hanya 38,9% yang melaporkan demikian (Tabel IV). Partisipan dari masjid dan gereja menganggap kulit olive atau kulit berwarna gelap lebih menyenangkan dipandang. Orang-orang yang tinggai di Amerika Serikat selama lebih dari 20 tahun dua kali lebih mungkin untuk menganggap kulit putih atau kuning langsat sebagai kulit yang lebih menyenangkan dipandang, sedangkan yang dilahirkan di Amerika Serikat atau yang tinggal di Amerika Serikat selama lebih dari 20 tahun dua kali lebih mungkin untuk menganggap bahwa kulit olive atau kulit berwarna gelap lebih menyenangkan dipandang (OR = 2,3, P < 0,01).

Cara-cara perawatan kulit
   
Cara-cara perawatan kulit yang diyakini spesifik budaya dilaporkan oleh para partisipan. Dalam survei, pertanyaan yang menanyakan hal ini termasuk pertanyaan open-ended (terbuka); sehingga hanya sedikit partisipan yang merespon. Cara-cara yang disebutkan oleh 2 hingga 6 partisipan antara lain penggunaan minyak zaitun pada kulit untuk melembabkan, penggunaan minyak dan minyak-rambut di rambut untuk melindungi agar kulit kepala tidak kering, dan penggunaan campuran madu murni dengan gula pada kulit untuk pengelupasan kulit. Mencuci muka dengan jus jeruk alami, dan mencuci muka dengan campuran susu dan jahe disebutkan sebagai cara-cara untuk membersihkan kulit. Disamping itu, pembuatan campuran herbal atau penggunaan lempung Laut Mati (Dead Sea clay) merupakan tehnik-tehnik yang digunakan untuk membuat masker wajah. Lebih daripada itu, sebuah metode pencabutan bulu juga dilaporkan yaitu dengan menggunakan benang untuk membersihkan bulu pada wajah.

PEMBAHASAN
   
Sejauh pengetahuan kami, penelitian ini merupakan survei sistematis pertama tentang penyakit kulit dan isu-isu terkait kulit lainnya yang dilakukan di sebuah populasi Arab di luar negara asal mereka Timur Tengah. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan penyakit kulit yang paling umum dan kekhawatiran-kekhawatiran tentang kulit pada penduduk Amerika Arab (Tabel II dan III). Penelitian berbasis-populasi lainnya yang melibatkan individu-individu kulit berwarna, seperti orang Amerika Afrika dan Hispanis, juga menemukan jerawat dan eczema sebagai dua diagnosa dermatologi yang paling umum. Jerawat diyakini kurang prevalen pada individu keturunan Asia.
   
Kondisi kulit dan kekhawatiran-kekhawatiran yang berkenaan dengan pigmentasi sering terjadi diantara para responden Amerika Arab (Tabel II dan III). Gangguan-gangguan pigmentasi pada kulit juga umum terjadi pada kelompok ras dan etnis lalinnya dengan kulit berwarna. Sebenarnya, gangguan-ganguan pigmentasi merupakan kelompok dermatose ketiga paling umum yang terjadi pada penduduk Amerika Afrika. Melasma telah dilaporkan sering terjadi pada orang Amerika Hispanis, Amerika Asia, dan Amerika Afrika. Disamping itu, melasma umum dilaporkan baik pada orang Etiopia laki-laki maupun perempuan. Kekhawatiran masalah pigmentasi lainnya, yaitu hypopigmentasi inflammatory, telah dilaporkan sebagai sebuah komplikasi umum pada kulit etnis dan bisa dianggap sebagai respon patofisiologis bawaan terhadap injury kulit pada kulit berwarna. Sebenarnya, pada orang-orang yang memiliki kulit berwara (skin of color), hyperpigmentasi postinflammatory seringkali menjadi keluhan utama seorang pasie yang mengalami acne vulgaris. Dengan frekuensi jerawat tinggi yang dlaporkan oleh para partisipan dalam penelitian ini, maka ada kemungkinan bahwa hyperpigmentasi postinflammatory sebagai akibat dari jerawat dapat memberikan kontribusi bagi frekuensi tekstur kulit yang tidak merata dan perubahan warna kulit yang dilaporkan oleh para partisipan.
   
Beberapa penelitian di dunia Arab telah mencermati bermacam-macam penyakit kulit di negara mereka masing-masing. Di United Arab Emirates, dari 10.995 diagnosa baru yang dicatat di pada sebuah klinik dermatologi selama periode 2 tahun, eczema (20,98%), acne vulgaris (9,07%), infeksi jamur permukaan (8,5%), infeksi virus (7,39%), dan gangguan-gangguan pigmentasi (5,41%) merupakan diagnosa yang paling sering. Lebih lanjut, di Libanon, sebuah penelitian retrospektif yang mengevaluasi 8552 diagnosa yang melibatkan 6882 pasien baru selama periode 5 tahun menemukan infeksi jamur (14,6%), jerawat (14,1%) dan eczema (8,56%) sebagai diagnosa yang paling umum. Lebih daripada itu, di Saudi Arabia, sebuah penelitian retrospektif yang mereview diagnosa dari 1076 pasien baru selama periode 1 tahun di sebuah klinik dermatologi menemukan dermatitis/eczema (19,6%), jerawat (13,8%), infeksi virus (13,5%), gangguan pigmentasi (9,7%), dan infeksi jamur (9,6%) sebagai kondisi-kondisi yang paling sering terjadi. Terakhir, di Yaman, diagnosa paling umum dari sebuah penelitian retrospektif yang melibatkan 13.840 pasien baru dengan 14.259 penyakit adalah eczema/dermatitis (27,2%), infeksi dan infestasi (24,2%), dan jerawat dan gangguan acneiform (15,2%). Jika penelitian kali ini dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan di United Arab Emirates, Libanon, dan Saudi Arabia, maka perbedaan utama yang dapat dilihat pada penelitian dari Yaman adalah kejadian bakteri endemik yang tinggi, mykobakteri, parasit, dan penyakit kulit arthropoda. Sebuah penjelasan yang bisa diberikan untuk hasil dari yaman ini adalah status sosial-ekonomi pasien yang rendah yang dimasukkan dalam penelitian dan kondisi hidup yang terlalu padat.
   
Terkecuali penelitian di Yaman tersebut, kondisi kulit yang paling prevalen dalam penelitian kali ini mirip dengan diagnosa palng umum yang dilaporkan oleh penelitian-penelitian lain di Timur Tengah yang berbasis populasi sehat. Perlu digarisbawahi, penelitian kali ini mengevaluasi prevalensi kondisi-kondisi kulit pada orang Amerika Arab yang tinggal di Michigan Tenggara dengan menggunakan metode sampling sistematis di masjid, gereja, dan pusat-kesehatan-komunitas, sedangkan penelitian-penelitian yang dilakukan di Timur Tengah tersebut mengevaluasi kejadian-kejadian penyakit kulit. Disamping itu, perbedaan metodologi penelitian, yaitu, antara penilaian yang dilaporkan sendiri oleh responden dengan penilaian klinis, dapat memberikan kontribusi bagi perbedaan frekuensi penyakit yang dilaporkan dalam penelitian kali ini dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan di United Arab Emirates, Libanon, Saudi Arabia, dan Yaman.
   
Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi akses terhadap perawatan dermatologi diantara orang Amerika Arab. Seperti halnya komnitas dari etnis minoritas lainnya, apakah partisipan mampu atau tidak menemui dermatologist tergantung pada status sosial-ekonomi mereka. Faktor-faktor budaya dan kendala-kendala bisa mempengaruhi apakah individu-individu ini akan mencari perawatan dermatologist atau tidak. Dari kelompok responden orang Amerika Arab yang berbeda, terdapat variasi yang cukup besar dalam hal persepsi mereka tentang kondisi-kondisi dermatologi yang dialami, dan ini berpengaruh terhadap perilaku mereka dalam mencar perawatan. Kendala-kendala perawatan kesehatan yang mempengaruhi ras dan etnis minoritas juga telah dilaporkan: ini mencakup antara lain kurangnya asuransi kesehatan, transportasi, dan kebutuhan perawatan anak. Rasa takut akan deportasi/pemulangan-ke-negeri-asal bisa menyebabkanya banyaknya imigran tidak terdaftar yang menghindari untuk menemui dokter yang tidak dikenal. Format-format registrasi yang digunakan oleh dokter-dokter privat ditakuti sebagai dokumentasi yang dapat diberikan kepada otoritas imigrasi. Kekhawatiran-kekhawatiran ini bahkan bisa mempengaruhi imigran-imigran yang resmi dan tercatat. Bagi semua populasi minoritas, kurangnya sensitifitas kultural yang dirasakan dari dokter, kendala bahasa, dan pelayanan terjemahan yang buruk merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku untuk mencari perawatan. Melatih lebih banyak dermatologist dari bangsa Arab untuk melayani populasi Arab yang besar di daerah Detroit metropolitan bisa membantu alam menyediakan perawatan dermatologi yang sesuai secara bahasa dan sensitif secara budaya.
   
Tujuan akhir dari penelitian ini adalah mengevaluasi sikap seputar persepsi tentang kulit pada komunitas Amerika Arab. Mereka yang telah lama menetap di Amerika Serikat lebih mungkin menganggap kulit olive atau kulit berwarna gelap lebih menyenangkan dipandang, sedangkan imigran yang masih baru cenderung lebih menyukai kulit kuning langsat atau kulit putih. Ini bisa dijelaskan dengan adanya fakta bahwa di Timur Tengah, kulit terang dianggap sebagai sebuah sumber kecantikan dan prestise. Sebagai contoh, para bintang film dan wanita-wanita bintang iklan di Mesir cenderung memiliki kulit terang dan sifat-sifat fisik yang mencerminkan karakteristik Eropa. Demikian juga, pada berbagai negara Asia, kulit putih dan mulus dianggap sebagai kulit yang ideal.
   
Walaupun para partisipan yang disampling secara sistematis bisa jadi tidak represenatif, namun partisipan yang disurvei dari 3 lokasi berbeda, masjid, gereja, dan pusat-kesehatan-komunitas, dapat menjadi sampel dari berbagai populasi Amerika Arab di Michigan bagian tenggara. Para subjek diminta dalam kuisioner untuk merujuk ke sebuah diagnosa yang telah disebutkan sebelumnya oleh seorang dokter untuk pertanyaan “penyakit kulit”; akan tetapi, ada kemungkinan bahwa mereka bingung dengan diagnosa tersebut dan memilih diagnosa yang keliru dalam kuisioner. Olehnya itu, penelitian-penelitian di masa mendatang yang melibatkan penilaian klinis aktual oleh seorang dermatologist sangat diperlukan pada populasi Amerika Arab untuk membantu para dermatologis dalam merawat populasi Arab yang terus berkembang di Amerika Serikat.

Fibrosis Sistemik Nefrogenik: Sebuah Kajian Klinikopatologi Terhadap Enam Kasus

Abstrak

Latar belakang : Fibrosis sistemik nefrogenik merupakan sebuah kondisi fibrosis yang jarang dan terjadi pada pasien yang mengalami gangguan ginjal. Meskipun karakteristik histologisnya telah diketahui dengan baik, namun etiologi dan patologinya belum sepenuhnya diketahui. Berberapa penelitian terbaru mendukung teori bahwa agen-agen kontras yang berbasis gadolinium memegang peranan kausatif dalam terjadinya penyakit ini. Terapi erythropoietin dan kerusakan endothelial akibat prosedur-prosedur bedah juga telah diduga sebagai faktor pengkontribusi yang potensial.

Tujuan : Penelitian ini berupaya untuk membantu memberikan kontribusi dalam memahami penyakit yang tergolong baru ini.

Metode : Kami melakukan sebuah review grafik retrospektif terhadap 6 pasien yang didiagnosa dengan fibrosis sistemik nefrogenik pada institusi kami. Penekanan diberikan pada pengidentifikasian agen-agen etiologi putatif yang potensial termasuk gadolinium, terapi erythroprotein, dan prosedur-prosedur bedah terdahulu.

Hasil : Semua pasien pernah mengalami eksposur terhadap agen kontras yang berbasis gadolinium. Tiga dari enam pasien diobati dengan erythropoietin, dan semua pasien mengalami prosedur bedah sebelumnya.

Kekurangan : Penelitian ini dibatasi oleh ukurannya yang kecil; dengan demikian, temuan dan hasilnya tidak bisa diaplikasikan pada semua pasien yang menderita penyakit ini.

Kesimpulan : Data yang kami peroleh menunjukkan bahwa gadolinium memegang peranan penting dalam fibrosis sistemik nefrogenik sehingga bedah sebelumnya bisa menjadi faktor kontribusi.

Fibrosis sistemik nefrogenik (NSF) merupakan sebuah penyakit fibrosis yang jarang terjadi dan pertama kali ditemukan pada tahun 1997 pada pasien-pasien yang mengalami dialysis di sebuah institusi di California bagian selatan. Karena kemunculannya yang tiba-tiba dan mengelompoknya kasus-kasus awal ini, maka sebuah agen infeksi atau toksik diduga terlibat; akan tetapi, tidak ada agen umum yang diidentifikasi. Penyakit ini pertama kali disebutkan dalam lieratur pada tahun 2000 sebagai sebuah kondisi mirip scleromyxedema; kemudian pada tahun 2001, istilah “nephrogenic  fibrosing dermopathy” diusulkan karena hubungannya dengan gagal ginjal dan keberadaan fibrosis cutaneous pada pasien yang mengalami kondisi ini. Walaupun pasien yang mengalami gangguan ini biasanya memiliki keterlibatan cutaneous, tapi sekarang ini diketahui memiliki manifestasi sistemik juga; dengan demikian istilah “fibrosis sistemik nefrogenik” merupakan istilah yang lebih cocok.
   
Berbagai laporan kasus telah menunjukkan bahwa semua pasien penderita NSF mengalami gangguan ginjal dengan berbagai tingkat keparahan dan penyebab mendasar, dimana kebanyakan diantaranya memiliki riwayat baik hemodialysis maupun peritoneal. Para pasien seringkali sudah pernah mengalami prosedur bedah seperti transplantasi, dan prosedur-prosedur yang lebih kecil seperti pemasangan fistula dialysis dan kateter sentral. Hubungan dengan prosedur bedah dan hubungan dengan kondisi hyperkoagulasi dan peristiwa-peristiwa thrombotik menunjukkan bahwa kerusakan endothelial bisa menjadi sebuah faktor pemicu dalam terjadinya penyakit ini. Gambaran klinis antara lain kulit menebal dengan papula, nodula dan plak yang berdurasi singkat. Kulit bisa memiliki kenampakan kuat atau peau d'orange  atau bisa tampak erythematous dan bercorak. Lesi-lesi pada umumnya memiliki distribusi simetris dan dependen, yang muncul pada ekstremitas dan batang-tubuh tapi biasanya menempati wajah; lesi-lesi ini yang muncul secara asimetris pada tubuh biasanya memiliki pola distribusi vaskular, seperti di sepanjang jalur sebuah kateter sentral yang disisipkan secara peripheral. Kemungkinan ada riwayat edema yang terjadi pada eksteremitas yang terlibat dengan kenampakan kulit berkayu selanjutnya ketika edema sembuh.
   
Spesimen-spesimen biopsy dari lesi-lesi cutaneous menunjukkan sel-sel jarum yang menampakkan CD34 dan prokolagen-1 serta sel-sel dendritik atau histiocytic yang menampakkan CD68 dan faktor XIIIa. Jumlah dermal mucin berbeda-beda. Spesimen biopsy incisional menunjukkan berkas berserat tebal yang membentang ke dalam septa subcutis dan bahkan menbentang ke dalam fascial atau otot skeletal yang bersangkutan. Meskipun kenampakan histologi dan pola staining immunohistokimia dari lesi-lesi NSF telah disebutkan dengan baik dalam berbagai literatur, namun etiologi dan patogenesis gangguan ini masih belum diketahui sepenuhnya.
   
Sel-sel jarum yang membentuk lesi-lesi ini diyakini sebagai fibrosit asal hematopoietic yang bersirkulasi  karena kenampakan CD34 dan prokolagen-1 nya. Fibrosit diketahui memiliki peranan dalam penyembuhan luka, pembentukan granuloma, presentasi antigen, dan gangguan-gangguan fibrosis lainnya yang mencakup scar hypertropi dan scleroderma. Leis-lesi NSF yang lebih tua (>20 pekan) menunjukkan kenampakan CD34 yang berkurang, ini bisa menunjukkan apoptosis dari fibrosit, diferensiasi myofibroblastik, atau terlepasnya fibrosit dari lesi (kemungkinan kecil). Transformasi menjadi sebuah fenotip myofibroblast akan disertai dengan kenampakan actin otot halus-α (α-SMA) dalam sel-sel jarum.
   
Beberapa model tentang etiologi NSF telah diusulkan. Kebanyakan model menyatakan bahwa gangguan ginjal menyebabkan deposisi sebuah antigenik yang tidak teridentifikasi pada jaringan perifer yang bertindak sebagai target pengganti untuk fibrosit bersirkulasi yang termobilisasi. Mediator profibrotik yang mentransform faktor pertumbuhan-β (TGF-β) bisa memegang peranan. Agen kontras yang berbasis gadolinium baru-baru ini dianjurkan sebagai sebuah agen etiologi, dan penelitian-penelitian selanjutnya mendukung teori ini. Karena gadolinium dibersihkan oleh ginjal, maka waktu-paruhnya meningkat dari 1,3 jam (±0,25 jam) menjadi 34,3 jam (±22,9 jam) pada pasien yang mengalami gangguan ginjal parah. GE Healthcare mengeluarkan sebuah pernyataan pada tanggal 6 Juni 2006 untuk memperbaharui profesional perawatan kesehatan, yaitu pernyataan tentang keamanan penggunaan agen kontras pencitraan resonansi magnetik yang berbasis gadolinium Ominascan (gadodiamida). FDA Amerika Serikat mengeluarkan sebuah rekomendasi Kesehatan Masyarakat pada tangga 8 Juni 2006 yang memperingatkan tentang hubungan antara agen-agen kontras yang mengandung gadolinium untuk MRI dengan NSF pada pasien yang mengalami gagal ginjal.
   
Walaupun bukti semakin banyak tentang gadolinium sebagai agen etiologi dalam NSF, namun obat atau toksin lain juga bisa ditemukan memegang peranan kausatif atau peranan yang turut memberikan kontribusi. Terapi erythropoietin baru-baru ini diusulkan sebagai sebuah agen potensial karena seringkali digunakan untuk mengobati anemia pada pasien dialysis, terapi  ini menstimulasi sirkulasi sel-sel hematopoietin, dan telah terbukti dapat menginduksi respon penyembuhan luka yang besar secara in vivo. Kami menyajikan 6 pasien yang didiagnosa dengan NSF pada institusi kami untuk membantu memberikan kontribusi dalam memahami penyakit terbaru tersebut.

BAHAN DAN METODE
   
Kami melakukan review grafik retrospektif terhadap 6 pasien SF untuk menemukan karakteristik demografis, penyebab dan tingkat gangguan ginjal, tipe dialsis, prosedur bedah terbaru dan peristiwa-peristiwa thrombocit, presentasi klinis dari NSF dan gejala-gejala terkait yang mencakup bukti keterlibatan sistemik. Penekanan khusus diberikan pada pengidentifikasian eksposur terhadap gadolinium dan erythroprotein. Fotograf klinik dan slide biopsi kulit diagnostik juga direview, dan CD34, α-SMA, dan stain biru alcian untuk mucin dilakukan pada jaringan yang tertanam dalam parafin dan diikat dengan formalin. Dua pasien (kasus 1 dan 6) sebelumnya telah dilaporkan.

DESKRIPSI KASUS

Kasus 1
   
Kasus 1 telah dipublikasikan sebelumnya; pasien adalah seorang pria kulit putih berusia 60 tahun dengan riwayat ketidakleluasaan gerakan sendi, nyeri dan kulit kaku yang melibatkan ekstrimitas atas dan bawah bilateral selama 5 pekan terakhir. Dia memiliki riwayat dua transplantasi hati – yang paling terbaru 2 bulan sebelum onset gejala – dan dia juga pernah mengalami 2 prosedur bedah kecil satu bulan sebelum onset gejala. MRI menggunakan agen kontras berbasis gadolinium dilakukan 8 pekan sebelum onset gejala. Sebuah spesimen biopsy yang diambil dari kulit lengan kiri menunjukkan peningkatan jumlah sel fibrohistiosit di seluruh dermis. Sel-sel jarum distaining kuat untuk CD34 tapi negatif untuk  α-SMA dan stain biru alcian mengidentifikasi peningkatan mucin dermal.

Kasus 2
   
Pasien 2 adalah seorang pria Asia berusia 42 tahun dengan 3-pekan riwayat arthralgias dan kulit menebal yang melibatkan ekstrimitas atas dan bawah bilateral yang mencakup tangan, yang didahului 2 pekan sebelumnya oleh nyeri ankle bilateral dan rash macular/pruritic pada lengannya, batang tubuh dan punggung (Gbr. 1). Riwayat bedah terbaru mencakup pemasangan kateter dialysis peritoneal 6 hari sebelum onset gejala dan pemasangan sebuah kateter hemodialysis 4 pekan sebelumnya. Angiografi resonansi magnetik untuk menilai stenosis arteri ginjal dengan menggunakan “gadolinium intravenous 50 cc” dilakukan 19 hari sebelum onset gejala. Sebuah spesimen biopsy yang diambil dari kulit pada lengan kanan menunjukkan sel-sel fibrohistiocytic lunak pada dermis dan meluas sampai ke subcutis yang distaining lemah untuk CC34 dan negatif untuk  α-SMA. Tidak ada mucin dermal signifikan yang diidentifikasi oleh stain biru alcian.

Kasus 3
   
Pasien 3 adalah seorang wanita kulit hitam berusia 46 tahun yang mengeluh tentang rash nonpruritic yang tidak lunak pada lengan-lengannya. Secara klinis, ditemukan sebuah rash papular pada aspek flexor lengannya, plak-plak yang jelas serta papula-papula pada kedua lengan atas dan lengan bawah. Dia pernah menggunakan kateter dialysis periotoneal 2 bulan sebelum onset gejala. MRI dan angiografi resonansi magnetik pada kepala dengan menggunakan agen kontras berbasis gadolinium dilakukan 7,5 pekan sebelum onset gejala. Sebuah spesimen biopsy yang diambil dari kuilt lengan atas sebelah kanan menunjukkan penebalan dermis oleh berkas-berkas kolagen yang terpisah oleh sebuah batas, dengan banyak sel-sel dendritis dan berbentuk jarum tersebar di sepanjang lesi (Gambar 2.4). Komponen sel jarum yang distaining kuat untuk CD34 (Gambar 2, B), memberikan hasil negatif untuk  α-SMA dan tidak ada mucin dermal signifikan yang diamati dengan stain biru alcian.

Kasus 4
   
Pasien 4 merupakan seorang wanita kulit putih berusia 65 tahun dengan riwayat kontraktur, nyeri difusi dan kekencangan kulit selama 12-bulan yang mulai terjadi 1 pekan setelah fiksasi internal reduksi terbuka untuk fraktur femur kiri. Gejala-gejalanya mulai terjadi sebagai nyeri dan rasa kaku pada ekstremitas kanan bawah yang menyebar ke ekstremitas kiri bawah, kemudian ke ekstremitas atas, dan disertai dengan pembengkakan tangan dan kelemahan serta paresthesia ekstremitas bawah. Pada saat dilakukan biopsy kulit, lesi-lesi yang dialami terdiri dari plak-plak yang bertemu pada ekstremitas atas dan bawah bilateral, abdomen, dada, punggung, dan wajah. Dia mengalami 5 eksposur terhadap gadolinium selama waktu 13 bulan sebelum onset gejala, dimana yang terakhir diberikan 7 bulan sebelum gejalanya muncul. Dia juga pernah mengalami dua eksposur tambahan terhadap gadolinium antara onset gejala dan waktu biopsy. Sebuah spesimen biopsy yang diambil dari kulit paha kanan (Gbr 3) menunjukkan gambaran patologis yang terlokalsiasi pada panniculus dengan pelebaran septa yang cukup jelas dengan berkas-berkas berserat padat yang bergabung dengan sel-sel fibrohistiosit yang tipis yang distaining secara focal dan distaining lemah untuk CD34 dan negatif untuk  α-SMA. Dermis tidak mengalami perubahan besar, dan stain biru alcian menunjukkan sedikit peningkatan mucin dermal.

Kasus 5
   
Pasien 5 adalah seorang wanita kulit hitam yang berusia 23 tahun dengan 3 pekan riwayat plak-plak hyperpigmentasi dan berlangsung singkat pada daerah-daerah dependen di paha, bokong, dan pinggang bawah serta panggul, ankle dan lengan bawah sebelah kiri. Lesi-lesi disertai dengan pruritus, nyeri badan difusi, dan nodul-nodul subcutaneous mobile dan tidak-lunak pada abdomen nya. Dia pernah memakai kateter dialysis peritoneal yang dilepaskan 11 pekan sebelum onset gejala. MRI pada pelvis dan angiogram venous iliac umum sebelah kanan dengan menggunakan agen kontras gadolinium dilakukan 10 dan 9 pekan sebelum onset gejala, masing-masing. Sebuah spesimen biopsy yang diambil dari kulit paha sebelah kiri menunjukkan lesi sel-jarum selular yang lunak yang meluas sampai ke dermis dan ke dalam subcutis. Sel-sel jarum distaining secara focal dan distaining secara lemah untuk CD34, hasilnya negatif untuk α-SMA, dan stain biru alcian mengidentifikasi peningkatan mucin dermal.

Kasus 6
   
Kasus 6 telah dipublikasikan sebelumnya; pasien merupakan seorang pria kulit putih berusia 76 tahun dengan 2 bulan riwayat  “kulit keras” pada ekstrimitas atas, paha medial, groin, dan eksterimitas bawah distal terjadi sesaat setelah transplantasi hati. Satu bulan sebelum presentasi, edema ekstremitas atas terjadi, dengan lesi mirip sarang pada lengan-bawah sebelah kiri. MRI dan angiografi resonansi magnetik untuk abdomen dengan menggunakan agen kontras berbasis gadolinium dilakukan 2 pekan sebelum onset gejala. Sebuah spesimen biopsy yang diambil dari kulit lengan-bawah kiri proksimal menunjukkan lesi selular sedang yang tersusun atas sel-sel fibrohistiocytic lunak yang mengisi dermis dan meluas ke jaringan subcutaneous. Sel-sel jarum yang distaining secara focal dan distaining secara lemah untuk CD34, memberikan hasil negatif untuk  α-SMA, dan stain biru alcian tidak menemukan adanya peningkatan mucin dermal.

HASIL
   
Presentasi klinis dirangkum pada Tabel I. Usia rata-rata pasien adalah 52 tahun (rentang, 23-76 tahun) dengan distribusi jenis kelamin yang sama. Setengah pasien adalah kulit putih, dua kulit hitam, dan satu Asia. Gejala yang paling umum adalah kulit menebal atau mengeras, tapi gejala-gejala lain seperti gerakan yang terbatas pada sendi, nyeri difusi, dan ruam juga ditemukan. Lesi-lesi paling umum muncul pada ekstremitas, lalu diikuti pada batang-tubuh. Lesi-lesi juga muncul pada wajah seorang pasien. Gejala-gejala terkait lainnya mencakup arthralgia, pruritus, pembengkakan ekstrimitas, lesi mirip sarang, dan nodul subcutaneous.
   
Semua pasien memiliki riwayat gangguan ginjal, utamanya karena diabetes mellitus atau hypertensi. Keparahan gangguan ginjal berbeda-beda, dengan nitrogen urea daerah rata-rata 38,7 mg/dL (rentang, 18-72 mg/dL) dan kreatinin darah rata-rata 6,0 mg/dL (rentang, 2,1-9,5 mg/dL). Keenam pasien memiliki riwayat hemodialysis, dimana 3 juga mengalami dialysis peritoneal. Karena mencakup bedah-bedah utama, seperti transplantasi hati, dan prosedur bedah kecil, seperti pemasangan atau pelepasan kateter dialysis, maka semua pasien sebelumnya memiliki prosedur bedah dengan sebuah durasi rata-rata sampai onset gejala 31 hari (rentang, 5-77 hari). Embat dari enam pasien memiliki riwayat satu atau lebih peristiwa thrombotic; peristiwa-peristiwa ini mencakup mikroangiografi thrombotic, thrombosis venous dalam femoral, embolisme pulmonary, dan sindrom vena cava superior. Keenam pasien pernah mengalami eksposur terhadap agen kontras berbasis gadolinium, dengan duras rata-rata sampai onset gejala 69,5 hari (rentang, 14-212 hari). Tidak ada infeksi yang diketahui. Tiga dari enam pasien mengalami eksposur terhadap erythropoitein, dan semuanya memonium agonist opiat.
   
Durasi rata-rata mulai dari onset gejala sampai biopsy adalah sekitar 128 hari (rantenga, 1-630 hari). Gambaran histologi biopsi dari 6 pasien konsisten dengan laporan NSF sebelumnya, terkecuali kasus 4 dimana spesimen biopsy menunjukkan lesi subcutaneous yang menonjol. Spesimen-spesimen biopsy untuk 3 dari 6 pasien menunjukkan peningkatan mucin dalam clefts antara berkas-berkas kolagen, dan tidak ada spesimen biopsy yang menunjukkan kenampakan  α-SMA pada sel-sel jarum.

PEMBAHASAN
   
Gadolinium saat ini ditargetkan sebagai sebuah agen etiologi primer yang bertanggungjawab untuk terjadinya NSF pada pasien yang mengalami gangguan ginjal. Diduga demikian karena pembersihan ginjalnya yang menonjol, pemakaiannya yang pertama dilaporkan pada pasien ginjal yang hampir bersamaan dengan kasus NSF pertama, dan banyak laporan yang menguatkan hubungan sementara antara pemberian gadolinium dengan perkembangan NSF. Seri kasus yang ditunjukkan disini memberikan dukungan lebih lanjut terhadap teori ini. Kami menguatkan sebuah riwayat pemberian gadolinium pada 6 dari pasien NSF kami; walaupun 5 dari enam pasien mengalami NSF dalam waktu 9 pekan setelah eksposur terhadap gadolinium, satu pasien (kasus 4) tidak mengalami gejala sampai 7 bulan setelah terapi gadolinium. Pemeriksaan grafiknya menunjukkan bahwa NSF berkembang dalam satu pekan setelah bedah pada pasien ini. Fakta bahwa bedah merupakan prosedur pertama yang harus dijalani sejak menerima gadolinium 7 bulan sebelumnya menunjukkan bahwa kerusakan endothelial, atau beberapa faktor lain yang terkait dengan bedah, bisa mejadi faktor kontribusi dalam perkembangan NSF pada pasien ini. Tundaan onset gejala selama 7 bulan juga menunjukkan bahwa jika gadolinium diperlukan untuk terjadinya penyakit, maka zat ini tetap berada dalam tubuh selama periode waktu yang lama. Dua bukti laporan terbaru tentang deposisi gadolinium dalam jaringan pasien penderita NSF, memberikan sebuah mekanisme untuk menjelaskan tundaan ini. Disamping itu, karena pasien ini menerima agen kontrask berbasis-gadolinium 7 kali dan memiliki keterlibatan yang lebih parah karena NSF jika dibandingkan dengan pasien lain dalam seri ini, maka ada kemungkinan bahwa ada hubungan antara  gadolinium dengan keparahan penyakit selanjutnya. Walaupun masih sedikit dukungan terhadap hubungan antara tingkat gangguan ginjal dengan keparahan NSF, namun bisa terbukti bermanfaat untuk meneliti hubungan antara jumlah gadolinium total yang diberikan dan keparahan penyakit cutaneous dan sistemik selanjutnya.
   
Erythropoitein telah dianjurkan sebagai sebuah agen etiologi potensial dalam NSF. Hanya 3 dari 6 pasien yang diekspos terhadap terapi erythropoietin, semuanya dalam bentuk darbepoietin. Apakah obat ini memegang sebuah peran dalam perkembangan lesi NSF atau tidak masih belum pasti, tapi tidak ada kemungkinan menjadi faktor etiologi primer karena tidak umum pada keenam pasien. Agonis opiat merupakan pengobatan yang umum dimana 4 pasien meminum hydromorfon dan dua pasien meminum oxycodon. Menurut pengetahuan kami, sebuah hubungan dengan agonist opiat dan NSF sebelumnya dilaporkan dalam literatur; signifikansinya, jika ada, masih belum jelas. Yang jelas adalah bahwa jika seorang pasien bisa mengalami NSF 7 bulan setelah eksposur gadolinium, riwayat-riwayat pengobatan dalam penelitian epidemiologi terhadap pasien yang mengalami gangguan ginjal seperti ini mungkin diperlukan lebih menyeluruh, dan kembali meneliti secara cermat grafik pasien untuk melihat pengobatan yang umum.
   
Secara umum, gambaran histologi pada semua pasien cukup mirip, terkecuali kasus 4, dimana penyakit utamanya terletak pada subcutis. Walaupun telah disarankan bahwa deposisi mucin meningkat pada lesi NSF, namun ini bukan merupakan temuan yang onsisten dalam penelitian kali ini. Walaupun kenampakan cellularitas dan CD34 berkurang pada lesi NSF yang lebih tua jika dibandingkan dengan lesi NSF paling awal (< 1 pekan), maka kenampakan cellularitas dan CD34 bervariasi pada kasus-kasus lain dan tidak terliat terkait dengan usia lesi. Karena keenam spesimen biopsy negatif untuk kenampakan  α-SMA, maka tidak ada bukti yang mendukung bahwa fibrosit yang membentuk lesi mengalami diferensiasi myofibroblastik.
   
Berdasarkan hasil dari seri perawatan ini dan penelitian-penelitian terbaru lainnya, sebuah hubungan antara NSF, gangguan ginjal, dan agen kontraks berbasis gadolinium bisa terjadi.  Kerusakan endothelial akibat prosedur-prosedur bedah bisa menjadi sebuah faktor risiko tambahan. Meski demikian, penelitian-penelitian tambahan masih diperlukan sebelum patogenesis NSF bisa diketahui secara lengkap, dan faktor risiko tambahan bisa ditemukan.

RADIOTERAPI PENYAKIT KULIT

Setelah ditemukannya sinar-X oleh Rontgen pada tahun 1985, potensi penggunaan radiasi dalam pengobatan mulai dikenali. Pasien pertama yang diobati untuk karsinoma sel squamous pada hidung diobati pada tahun 1900. Setelah itu, terapi radiasi digunakan secara empiris untuk berbagai kondisi, baik lunak maupun ganas. Pada berbagai situasi, dimana tidak terdapat alternatif terapi yang efektif, terapi radiasi bisa menjad salah satu dari beberapa pilihan perawatan yang tersedia. Ini berlaku sampai tahun 1950an. Setelah itu, perawatan dengan radiasi mulai menurun disebabkan oleh dua alasan utama: alasan pertama adalah disadarinya efek berbahaya dari radiasi, termasuk potensi untuk menginduksi malignansi. Disamping itu, perkembangan tehnik bedah dan perkembangan terapi medis efektif seperti kortikosteroid dan antiobitik telah menjadi alternatif yang efektif untuk digunakan dalam radiasi pengionan. Meski demikian, para dermatologis harus memiliki keahlian utama dalam hal indikasi dan perawatan dengan sinar X untuk penyakit kulit baik lunak maupun ganas. Ada beberapa situasi dimana radiasi pengionan tetap menjadi alternatif terapeutih yang dapat diterima atau bahkan menjadi perawatan utama yang dipilih untuk penyakit kulit tertentu. Para dermatologis, seringkali bekerja sama dengan oncologis radiasi, bisa membantu pasien dan dokter dalam memilih resimen perawatan dengan rasio terapeutik tertinggi untuk individu tertentu (Tabel 128-1). Pada kebanyakan kasus, morbiditas radiasi cukup rendah jika dibandingkan dengan morbiditas atau bahkan mortalitas yang terkait dengan penyakit progresif atau rekuren.

Saturday, February 6, 2010

Pemantauan Sirkulasi Serebral

Pada pasien yang menderita penyakit saraf akut, resusitasi cairan akan mempertahankan atau memperbaiki perfusi serebral. Walaupun pengalaman klinis menunjukkan bahwa morbiditas dan mortalitas bisa berubah dengan perubahan terapeutik dari CBF dan metabolisme cerebral pada beberapa pasien yang injury saraf, namun belum ada data yang menguatkan manfaat klinis dari pemantauan neurologis. Tiga pertanyaan berikut menjadi pertanyaan pokok untuk pemanfaatan pemantauan variabel-variabel serebral:

1.Pada kondisi yang bagaimanakah tekanan darah, PaCO2, PaO2, dan suhu tubuh memberikan informasi yang tidak cukup tentang kelayakan CDO2 (CDO2 = CBF x CaO2)?
2.Pada kondisi yang bagaimanakah informasi yang lebih rinci tentang kelayakan CDO2 memungkinkan intervensi-intervensi terapeutik yang dapat meningkatkan hasil?
3.Proporsi pasien yang bagaimana dalam sebuah kategori diagnostik yang akan mengalami injury yang terhindari yang cukup besar untuk menjustifikasi pengaplikasian ekstensif (dan berpotensi mahal) dari alat-alat pemantauan neurologis?
Masih sedikit data yang tersedia tentang hubungan antara variabel-variabel cerebrovaskular terpantau dengan risiko injury saraf yang dapat dihindari. Hampir semua pemantau neurologis dimaksudkan untuk mendeteksi ischemia cerebral yang aktual atau yang mungkin. Ischemia cerebral, yang didefinisikan sebagai CDO2 tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik, bisa diakibatkan oleh pengurangan setiap dari komponen CDO2, termasuk CBF, konsentrasi Hgb, dan kejenuhan Hgb arterial (SaO2). Otak hanya membentuk 2% dari berat tubuh, tapi menerima 15% dari output jantung dan mewakili 15% sampai 20% konsumsi oksigen total. Bagian-bagian otak tertentu, seperti cerebellum, ganglia basal, lapisa hippocampus CA-1, zona-zona batas arterial antara cabang-cabang utama dari pembuluh-pembuluh intrakranial, terlihat rentan secara selektif terhadap injury ischemia.

Friday, February 5, 2010

Cheilitis Glandularis

PENDAHULUAN

Latar Belakang :

Cheilitis glandularis (CG) adalah sebuah diagnosa klinis yang menunjuk pada penyakit inflammatory lunak yang esensial, tidak umum dan belum dipahami dengan baik pada kelenjar-kelenjar sub-mukosa di bibir bawah. Kondisi ini ditandai dengan pembesaran dan penonjolan mukosa labial bawah yang menyebabkan tidak jelasnya batas antara mukosa dan vermilion (bagian bibir yang berwarna merah). Dengan adanya pengaruh eksternal dan paparan kronis, membran mucus bawah yang lembut akan mengalami perubahan akibat pengaruh lingkungan, mengakibatkan erosi, pembisulan, pengerasan kulit, dan terkadang infeksi. Yang paling penting, kerentanan terhadap injury akibat radiasi akan meningkat. Dengan demikian, CG bisa dianggap sebagai faktor predisposisi yang potensial untuk terjadinya cheilitis actinic dan squamous cell carcinoma.

Secara historis, penyakit ini dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: suppuratif (pernanahan) sederhana, suppuratif dangkal, dan suppuratif dalam. Tipe pernanahan (suppurative) dalam juga biasa disebut sebagai myxadenitis labialis atau cheilitis paostematosa, dan tipe pernanahan (suppuratif) dangkal disebut sebagai penyakit Baelz. Banyak yang meyakini bahwa jenis-jenis di atas merupakan sebuah rangkaian penyakit dimana tipe yang sederhana, jika tidak diobati, bisa menjadi terinfeksi dan berkembang menjadi tipe pernanahan (suppurative) dangkal dan akhirnya menjadi tipe pernanahan yang dalam.

Patofisiologi:

Pada tahun 1870, von Volkman memperkenalkan istilah cheilitis glandularis. Dia menemukan sebuah kondisi inflammatory kronis bernanah yang dalam pada bibir bawah yang ditandai dengan keluarnya cairan (exudates) nanah dari lubang-lubang saluran kelenjar saliva kecil bibir. Pada tahun 1914, Sutton mengusulkan bahwa pembengkakan bibir karakteristik diakibatkan oleh pembesaran adenomatous congenital kelenjar-kelenjar saliva labial. Hipotesis ini terus dipedomani sampai tahun 1984 ketika Swerlick dan Cooper melaporkan 5 kasus baru dan sebuah analisis retrospektif terhadap semua kasus CG dilaporkan sampai pada waktu itu. Penelitian-penelitian mereka menunjukkan tidak adanya bukti untuk mendukung pendapat yang menyebutkan bahwa hyperplasia acinar kelenjar saliva bertanggungjawab untuk CG atau merupakan ciri khas dari CG.

Sejak itu, beberapa peneliti lain telah membenarkan pendapat ini dan telah beberapa kali melaporkan tentang ectasia saluran saliva, hyperplasia, dan squamous metaplasia. Stoopler dkk., (2003) melaporkan sebuah pola pertumbuhan ductal mirip cystadenoma pada seorang pasien yang menderita CG. Inflamasi kronis periductal (dochitis), scarring, dan sialadenitis sclerosis kronis pada kelenjar-kelenjar saliva kecil yang umum juga telah ditemukan. Musa dan rekan-rekannya (2005) melaporkan sebuah kasus dengan kenampakan CG yang lebih umum, yang mereka sebut sebagai suppurative stomatitis glandularis. Pada kasus ini, keterlibatan kelenjar salive kecil labial meluas sampai ke mukosa buccal. Reichart dan rekan-rekannya (2002) melaporkan sebuah kista retensi di bibir atas seorang pasien tua yang mengalami CG “simplex”; mereka menginterpretasikan kista retensi tersebut sebagai konsekuensi dari CG. Akan tetapi, ini hanya merupakan asumsi para peneliti.

Thursday, February 4, 2010

Evolusi dan Genetika Populasi Molekuler

Selama bertahun-tahun, para ahli biokimia dan ahli biologi molekuler telah menganggap kajian evolusioner sebagai spekulasi liar, asumsi-asumsi yang tidak beralasan, dan metdologi yang tidak disiplin. Meskipun anggapan ini tidak akurat, diperkenalkannya metode-metode molekuler tidak diragukan lagi telah mengubah evolusi menjadi sebuah sains “keras” dimana parameter-parameter yang relevan bisa diukur, dihitung, atau diolah dari data empiris, dan teori-teori bisa diuji terhadap realitas. Dugaan-dugaan dalam kajian-kajian evolusioner saat ini memiliki tujuan yang sama seperti dalam ilmu fisika: kajian-kajian ini bersifat hipotesis kuantitatif untuk mendukung penelitian eksperimental sehingga teori bisa diverifikasi, disaring, atau disangkal... kajian-kajian evolusioner telah mencapai apa yang disebutkan oleh sir William Herschel di tahun 1831 sebagai tujuan sebenarnya dari semua ilmu alam: yaitu merangkai komponen dasar “dengan jelas dan umum, tetapi dengan ketepatan yang mungkin dalam tempat, bobot, dan ukuran.”
Wen-Hsiung Li dan Dan Graur (1991)

Wednesday, February 3, 2010

Penguasaan IT dan Implementasinya

14.1 Gambaran Umum dan Struktur Penguasaan Aplikasi IT
   
Dalam bab ini kita akan berfokus pada penguasaan sistem informasi. Isu tentang penguasaan (akuisisi) ini cukup kompleks karena beberapa hal diantaranya ada banyak jenis aplikasi IT, dan aplikasi ini selalu berubah dari waktu ke waktu, serta melibatkan beberapa partner bisnis. Disamping itu, tidak ada satu cara tunggal yang bisa ditempuh untuk menguasai aplikasi-aplikasi IT. Keragaman aplikasi IT memerlukan sebuah jenis pendekatan pengembangan.

Proses Penguasaan (Akuisisi)
   
Proses penguasaan sebuah aplikasi IT sederhana memiliki lima tahapan utama seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14.1. Tahap-tahap dalam proses penguasaan aplikasi ini akan dibahas sebagai berikut.

Tahap 1: Mengidentifikasi, Menjustifikasi, Dan Merencanakan Sistem Informasi

Tuesday, February 2, 2010

Acanthosis nigricans remaja

Acanthosis nigricans merupakan sebuah penebalan epidermis menyerupai beludru yang utamanya mengenai axillae, lipatan leher posterior, permukaan kulit flexor, dan umbilicus, serta terkadang melibatkan permukaan-permukaan mukosal. Acanthosis nigricans banyak ditemukan pada anak-anak dan remaja yang gemuk, dan bisa berfungsi sebagai penanda resistensi insulin dan tumor ganas. Walaupun acanthosis nigricans yang terkait tumor-ganas jarang ditemukan pada populasi anak, namun hubungannya dengan sindrom-sindrom anak tertentu perlu dipertimbangkan. Yang lebih penting, resistensi insulin itu sendiri juga bisa menimbulkan ancaman terhadap jiwa. Disini kami mereview penyakit yang penting ini. (J Am Acad Dermatol 2007;57;502-8).

Monday, February 1, 2010

Pelepasan Ion-Ion Nikel dari Tiga Alloy Casting Gigi Yang Berbeda

Ringkasan

Maksud dari penelitian kali ini adalah untuk mengamati pelepasan ion-ion Ni dari tiga alloy casting gigi berikut ini : alloy Au-Pt mulia dan alloy Ni-Cr non-mulia (logam dasar) dan alloy Co-Cr-Mo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah larutan yang kedalamnya dicelupkan sebuah alloy  serta kadar pH dan waktu paparan-nya memiliki pengaruh terhadap jumlah ion Ni yang dilepaskan dari tiga alloy yang disebutkan di atas.
   
Tiga alloy komersial digunakan dalam eksperimen ini: dua alloy logam dasar, Ni-Cr (Wiron 99, Bego, Germany) dan alloy Co-Cr-Mo (Wironit, Bego, Germany) dan satu alloy mulia Au-Pt (Noble Metals Refinery, Zagreb Croatia). Sampel-sampel alloy Ni-Cr dan sampel-sampel alloy Co-Cr-Mo, rol berdimensi sama degan diameter 8 mm dan tinggi 15,8 mm digunakan dan dibuat oleh pabrik. Sampel-sampel alloy Au-Pt adalah plat-plat dengan dimensi 8 mm dan tinggi 1 mm, yang juga dibuat oleh pabrik.
   
Semua sampel dicelupkan dalam tiga larutan berbeda selama periode waktu tertentu. Larutan dengan penyangga posfat pada pH = 6, mewakili saliva manusia, sedangkan asam laktat, yang ditambahkan dengan sejumlah asam formiat dan asam asetat tertentu, pH = 3,5 (0,1 M asam laktat, 0,1 M NaCl, 1% asam asetat dan 1% asam formiat) untuk mewakili kondisi yang terbentuk dibawah plak dentobakteri.
   
Larutan dengan penyangga posfat (pH = 3,5), yang disusun menurut standar-standar farmakopeical yang telah ditentukan, digunakan untuk perbandingan, karena kondisi-kondisi asam yang ekstrim seperti ini tidak terdapat dalam lingkungan rongga mulut.
   
Enam sampel digunakan untuk masing-masing alloy gigi yang dites (n = 6), untuk masing-masing larutan secara terpisah dan untuk masing-masing interval waktu yang diuji, sehingga ada 180 sampel yang digunakan atau 540 sampel secara keseluruhan.
   
Pelepasan ion dari alloy-alloy gigi yang diuji dalam larutan-larutan yang disebutkan di atas diukur pada selama 10 interval waktu, yaitu setelah 1, 2, 3, 4, 6, 7, 14, 21 hari dan 30 hari masing-masing.
   
Larutan-larutan dianalisis dengan spektrometer serapan atom dengan inductively coupled plasma (ICP – AES) JY 50, Perancis.
   
Hasil dari analisis ini menghasilkan kesimpulan berikut :

1.Pada alloy-alloy gigi berikut (Ni-Cr, Au-Pt, Co-Cr-Mo), perusahaan yang memproduksi menyatakan bahwa dalam alloy Ni-Cr hanya terdapat Ni. Hasil menunjukkan bahwa alloy Ni-Cr dan Co-Cr-Mo melepaskan ion-ion Ni, tapi alloy Au-Pt tidak, bahkan pada kadar pH rendah.
2.Selama periode awal paparan, ion-ion Ni dilepaskan dari alloy Co-Cr-Mo dalam jumlah kecil (10 μg/L) sedangkan peningkatan pelepasan ion diamati pada hari keenam dalam larutan-garam dengan buffer posfat pada pH 3,5. Pelepasan ion Ni secara signifikan juga terjadi pada hari ke-21 dan ke-30 masing-masing dalam larutan dengan buffer posfat pada pH 6 (saliva buatan) serta pada asam laktat pada pH 3,5 (plak dentobakterial) apabila jumlah pelepasan ion Ni melebihi asupan makanan harian dari oligo-elemen ini.
3.Alloy Ni-Cr melepaskan banyak ion Ni pada ketiga larutan sehingga pada haru pertama pengukuran, jumlah ini melebihi asupan diet harian yang dibolehkan untuk unsur ini. Secara perlahan, jumlah ion-ion Ni yang dilepaskan meningkat dengan variabilitas tinggi pada semua larutan. Akan tetapi, peningkatan pelepasan Ni yang tertinggi ditemukan dalam larutan-garam dengan buffer posfat, pada pH 6 (saliva buatan) dimana melebihi asupan diet harian yang dibolehkan untuk unsur ini. Dengan demikian, alloy ini harus digunakan secara eksklusif untuk pembuatan alat-alat logam-keramik dan harus ditutupi seluruhnya dengna keramik.

Kata kunci : Pelepasan, nikel, alloy gigi.

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...