Friday, February 26, 2010

Pengaruh Ekstraksi Pra-molar dan Molar Pertama Tambahan (AFMEs) Terhadap Jaringan Lunak

Abstrak

Tujuan : Untuk menentukan pengaruh ekstraksi pra-molar dan molar pertama tambahan (AFMEs) terhadap perubahan jaringan lunak setelah dilakukan empat ekstraksi pra-molar pada pasien-pasien high Angle Class II division 1.

Bahan dan Metode: Sebanyak 33 pasien AFME, 24 diantaranya hanya mengalami AFME maxillary dan 9 mengalami AFME lengkap, diteliti dengan analisis cephalometri dan dibandingkan dengan 43 pasien yang dirawat dengan empat ekstraksi pra-molar (PRME) sebagai sebuah kelompok kontrol. Cephalogram lateral yang dilakukan pada empat titik waktu (pra-perawatan, sebelum AFME, pasca-perawatan, dan retensi)  digunakan untuk analisis statistik dengan uji-t Student.

Hasil : AFME secara signifikan dapat memberikan kontribusi bagi retraksi incisor maxillary dan perubahan jaringan halus selanjutnya sebagaimana diukur dengan sudut-Z dan garis E bibir bawah. Disamping itu, analisis korelasi bivariat menunjukkan bahwa perubahan-perubahan jaringan lunak lebih berkorelasi dengan retraksi incisor maxillary dibanding dengan retraksi incisor mandibular baik pada kelompok AFME maupun pada kelompok PRME. Hasil ini menunjukkan bahwa, pada pasien Kelas II, posisi bibir bawah paling dipengaruhi oleh reduksi proklinasi incisor maxillary.

Kesimpulan: Pendekatan AFME bermanfaat untuk meningkatkan profil-profil pada pasien Kelas II divisi 1 yang merupakan batas antara perawatan PRME dan ekstraksi pra-molar plus pendekatan bedah ortognatik.

Kata kunci: Ekstraksi molar pertama tambahan, high angle, Kelas II divisi 1, sudut-Z.


PENDAHULUAN
   
Ekstraksi pra-molar efektif dalam mengubah profil jaringan lunak untuk pasien-pasien Kelas II divisi 1. Akan tetapi, pada beberapa pasien Kelas II, dokter terkadang harus menemui masalah-masalah yang sulit, seperti pasien yang tidak normal perkembangannya dan memiliki ANB yang lebar atau diskrepansi yang parah. Ekstraksi pra-molar sendiri tidak menghasilkan cukup banyak ruang untuk koreksi overjet yang berlebihan, hubungan molar Kelas II, dan sebuah profil protrusive karena ruang yang diperoleh seluruhnya dipakai oleh koreksi diskrepansi ruang.
   
Pada tahun 1975, Anderson menyurvei kasus-kasus dimana banyak ekstraksi dilakukan pada pasien yang mengalami diskrepansi yang parah dan mengusulkan molar pertama sebagai salah satu pilihan untuk ekstraksi tambahan setelah ekstraksi molar pra-molar pertama dilakukan. Merrifield menyarankan bahwa pada pasien Kelas II yang memiliki defisit anterior lebih besar dari 16 mm dan perbedaan ANB yang lebih besar dari 9o, molar pertama bisa dicabut setelah empat ekstraksi pra-molar. Gramling membuat sebuah Indeks Probabilitas untuk membantu dalam mengidentifikasi maloklusi-maloklusi Kelas II yang sulit dan mungkin memerlukan metode-metode perawatan yang lain, seperti ekstraksi molar pertama atau kedua maxillary disamping ekstraksi-ekstraksi pra-molar. Banyak dokter lain yang telah melaporkan bahwa ekstraksi molar tambahan bisa menjadi efektif untuk perawatan pasien-pasien yang memerlukan lebih dari ekstraksi pra-molar dan tidak ingin mengalami bedah ortognatik. Akan tetapi, ekstraksi molar pertama tambahan (AFMEs) hampir tidak pernah menjadi pilihan karena molar pertama dianggap sebagai “sebuah bagian penting dari oklusi”.  Sebagai akibatnya, belum ada penelitian yang dilakukan dengan ukuran sampel yang cukup besar untuk membuktikan efektifitas AFMEs.
   
Disini kami melaporkan sebuah penelitian cephalometri retrospektif terhadap 33 pasien yang menjalani AFMEs untuk mengoreksi overjet residual dan hubungan-hubungan molar Kelas II setelah empat ekstraksi pra-molar. Pada semua kasus, molar ketiga diluruskan untuk mengimbangi kelonggaran pada molar pertama. Alasan mengapa dipilih untuk mencabut molar pertama bukan molar kedua atau ketiga ada dua. Pertama, menggerakkan molar pertama secara distal cukup sulit dan pasien harus mengenakan headgear. Ini tidak praktis, khususnya untuk pasien dewasa. Sebagai akibatnya, jika molar ketiga atau kedua diekstraksi, maka ruang total yang tersedia untuk retraksi anterior akan jauh lebih kecil. Kedua, menggerakkan molar pertama secara distal akan menghasilkan sebuah “efek peruncingan” dan memperburuk kecenderungan high-angle dan open-bite.

BAHAN DAN METODE

Sampel

Subjek penelitian ini adalah semua pasien Kelas II divisi 1 yang berkebangsaan Jepang dan telah dirawat dengan AFME (n = 33) atau ekstraksi pra-milar saja (PRME) (n = 43) dalam ruang praktek kami (Tabel 1). Kelompok AFME terdiri dari 24 pasien AFME maxillary-saja (U-AFME) dan 9 pasien AFME lengkap (UL-AFNE). Lima pasien dalam kelompok AFME dan enam pasien dalam kelompok PRME lebih mudah dari 14 tahun pada awal perawatan aktif. Keputusan diagnostik yang berkenaan dengan ekstraksi dibuat menurut protokol-protokol diagnostik deferensial Tweed-Merrifield.
   
Rencana perawatan AFME disarankan pada tahap pra-perawatan kepada pasien yang menunjukkan diskrepansi anterior (>16mm, ANB > 8o dan FMA > 30o). Setelah penutupan ruang pra-molar, pasien yang masih menunjukkan hubungan gigi Kelas II dan baik profil overjet signifikan (>4,5 mm) atau profil protrusive (garis E bibir bawah [LLip-E] > 3,0 mm) disarankan untuk menjalani perawatan AFME. Selama lebih dari 20 tahun, kami telah mencoba merawat 44 pasien dengan AFME (4,1% dari semua pasien Kelas II divisi 1 dapat dirawat); akan tetapi, hanya kasus-kasus yang dilengkapi saja yang akan dimasukkan dalam penelitian ini. Ke 43 sampel PRME diseleksi secara acak untuk menyesuaikan usia pasien AFME ke sebuah kelompok pasien yang mencapai hubungan gigi Kelas I setelah empat ekstraksi pra-molar. Pada kebanyakan kasus PRME ini, overjet pasca-pengobatannya dan LLip-E lebih kecil dari yang ada pada orang-orang Jepang (overjet = 3,5 mm dan LLip-E = 1,1 mm). Semua sampel dirawat dengan menggunakan alat-alat standar 0,022 inch dan dengan sistem gaya direksional.

Analisis Cephalometri
   
Cephalogram lateral dilakukan pada empat titik waktu: pra-perawatan (TA), setelah penutupan ruang pra-molar (perkembangan sebelum AFME) (TP), pada akhir perawatan aktif (TB), dan setelah retensi sekurang-kurangnya 1 tahun (TC). Interval-interval dari TA sampai TP, TP sampai TB, dan TB sampai TC dirancang sebagai pra-molar, AFME, dan tahap-tahap retensi. Pada sampel-sampel PRME, nilai TP selalu sama dengan nilai TB. Cephalogram-cephalogram ditelusuri dan didigitalisasi dengan menggunakan sebuah prosedur software pendigitalisasi (Dentofacial Planner Plus, Dentofacial Software Inc, Toronto, Ontario, Canada).
   
Batas-batas yang disarankan oleh Ricketts dkk., ditempatkan secara manual pada setiap penelusuran. Sebanyak 22 parameter diukur dan dianalisis secara statistik (Gambar 1, Tabel 2). Disamping itu, Indeks Tinggi Wajah (FHI) dihitung sebagai PFH dibagi AFH. Displacement linear pada bibir dan incisor selama perawatan diperiksa dengan menggunakan empat parameter berikut: garis E bibir atas, LLip-E, U1 sampai APo (dalam millimeter), dan L1 sampai APo (dalam millimeter).
Reliabilitas Pengukuran
   
Setiap tanda/batas (landmark) diidentifikasi dan diperiksa akurasinya dengan mengulangi pemilihan tanda/batas (landmark) pada 10 radiograf cephalometri yang dipilih secara acak. Kesalahan pengukuran dan penelusuran gabungan ini tidak signifikan (P < 0,05) jika dibandingkan dengan menggunakan uji-t two-tailed berpasangan.

Analisis Statistik
   
Analisis statistik dilakukan dengan software SPSS 10.0J (SPSS Japan, Tokyo, Japan). Nilai mean, standar deviasi mean, dan standar error dari nilai mean masing-masing nilai Cephalometri dihitung dan dibandingkan baik dengan menggunakan uji-t Student independen atau berpasangan. Semua data baku yang dihasilkan dari analisis Cephalometri setelah perawatan AFME ditunjukkan pada tabel S1. Untuk menelusuri hubungan potensial antara perubahan profil jaringan lunak dari bibir dan incisor, maka analisis korelasi bivariat dilakukan dan koefisien korelasi Pearson dihitung.

HASIL

Perbandingan karakteristik-karakteristik pra-perawatan antara kelompok AFME dan kelompok PRME

Untuk diagnosa dan perencanaan perawatan, keempat indeks berikut ini (Tabel 1) dihitung pada TA : diskrepansi anterior, diskrepansi panjang lengkung total, Indeks Kesulitan Craniofacial (Indeks Probabilitas yang diusulkan Gramling, yang dihitung dengan FMA, ANB, sudut-Z, bidang oklusal, SNB dan FHI), dan Indeks Kesulitan Total. Tidak ada perbedaan signifikan dari segi usia sampel pada TA (18 tahun 6 bulan). Akan tetapi, jumlah diskrepansi anterior (19,53 mm, P < 0,01) dan parameter-parameter cephalometri mencerminkan kesulitan-kesulitan skeletal seperti Indeks Kesulitan Craniofacial, Indeks Kesulitan Total, ANB, dan FMA pada TA secara signifikan lebih besar pada kelompok AFME dibanding pada kelompok PRME. Disamping itu, FMIA, sudut-Z, dan FHI dari kelompok AFME secara signifikan lebih kecil dibanding pada kelompok PRME p;ada TA (lihat Gambar 3 dan 4), sebagaimana dijelaskan berikut. Statistik-statistik ini menunjukkan secara retrospektif bahwa kelompok AFME terdiri dari pasien-pasien yang memiliki maloklusi yang lebih sulit secara skeletal dengan FMA yang secara signifikan lebih tinggi (37,09o) dan sebuah kencerungan open-bite (Tabel 1).

Perubahan-Perubahan Skeletal
   
Tidak ada perbedaan signifikan yang diamati pada kebanyakan parameter Cephalometri yang mencerminkan indeks skeletal seperti FMA (Gambar 2B), SNA, SNB, PFH, dan FHI (Tabel 2) dalam tahap pra-molar atau dalam tahap AFME. Hanya ANB (Gambar 2A) dan Ao-BO (yaitu, Wits Appraisal) yang menunjukkan penurunan kecil, sehingga menunjukkan adanya kecenderungan terhadap retraksi titik A (SNA berubah dari 8,0o menjadi 7,5o, P < 0,05; dan Ao-BO berubah dari 5,4 mm sampai 3,3 mm, P < 0,001).

Perubahan-Perubahan Gigi
   
U1 sampai APo (Gambar 3) dan U1-FH (Gambar 3B), indeks U1 dengan nilai mean jarak dan sudut, masing-masing, menunjukkan peningkatan ukuran secara signifikan selama tahap pra-molar dan AFME. L1 sampai APo (Gambar 3C) dan FMIA (Gambar 3D), indeks L1, juga berubah secara konsisten dan meningkat signifikan pada semua kelompok selama tahap pra-molar tapi lebih meningkat lagi selama tahap AFME hanya pada kelompok UL-AFME (Gambar 3C, D, garis-garis putih). Pada ATB, FMIA dari kelompok UL-AFME mencapai nilai PRME dengan melebihi rata-rata FMIA Jepang yaitu 57o setelah AFME, walaupun tidak mencapai rata-rata pada ras Kaukasoid yaitu 65o. Sebuah penurunan overjet yang signifikan terjadi selama tahap AFME (dari 6,49 mm menjadi 2,78 mm, P < 0,001) tapi tidak pada tahap PRME (Tabel 2).

Perubahan-Perubahan Jaringan Lunak
   
Pada kelompok PRME, sudut-Z meningkat signifikan selama tahap pra-molar (Gambar 4A, garis hitam). Pada kelompok AFME, sudut-Z menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam hal pengukuran selama tahap pra-molar tapi cukup meningkat setelah AFME (meningkat dari 53,08o pada TA menjadi 55,03o pada TP dan terakhir menjadi 63,25o pada TB). Penambahannya sebesar 1,95o (20,2%, P < 0,05) selama tahap pra-molar dan 7,22o (79,98%, P < 0,001) selama tahap AFME (Tabel 2). UL-AFME memberikan kontribusi yang lebih banyak bagi perbaikan profil dibanding U-AFME.
   
LLip-E menunjukkan perbedaan yang signifikan hanya selama tahap AFME pada semua sub-kelompok AFME, seperti juga sudut-Z (berubah dari 5,05 mm sampai 4,64 mm dan kemudian menjadi 1,14 mm). Sudut nasolabial meningkat signifikan pada saat incisor-incisor maxillary mengalami retraksi, dan menunjukkan peningkatan selama tahap pra-molar dan AFME (Tabel 2).

Hubungan antara Bibir dan Incisor
   
Untuk menentukan parameter jaringan keras mana yang paling memberikan kontribusi bagi profil jaringan lunak, maka analisis korelasi bivariat dilakukan terhadap data Cephalometri progress total (antara TA dan TB) dari semua pasien (76 pasien). Seperti yang diharapkan, sudut-Z menunjukkan korelasi terkuat dengan LLip-E (P < 0,001, Pearson R = -0,829). Sudut-Z dan LLip-E, yang merupakan dua penentu paling penting untuk profil facial, tidak berkorelasi dengan parameter-parameter yang mencerminkan posisi incisor bawah (yaitu L1 ke APo atau FMIA); akan tetapi, sangat berkorelasi dengan parameter-parameter yang mencerminkan posisi incisor atas (yaitu, U1 sampai APo dan U1 sampai FH (Tabel 3).
   
Korelasi antara U1 sampai APo dengan LLip-E ditunjukkan sebagai plot tersebar pada 76 pasien (Gambar 5A) dan pada 33 pasien AFME (Gambar 5B). Koefisien korelasi (r) dan slope regresi linear lebih besar pada kelompok AFME. Rasio terhitung untuk LLip-E terhadap U1 sampai APo dalam kelompok AFME adalah 64,4%.

Stabilitas Pendekatan AFME
   
Nilai-nilai Cephalometri menunjukkan tidak adanya perbedaan pengukuran yang signifikan antara pasca-perawatan (TB) dan setelah retensi selama lebih dari 1 tahun (TC) (Tabel 2). Satu-satunya perubahan yang signifikan secara statistik yang dideteksi selama periode ini adalah untuk overbite, yang meningkat dari 3,29 mm (P < 0,001) karena adanya recoveru gigi-tiruan.

Contoh-contoh Kasus AFME
   
Gambar 6A menunjukkan perubahan profil aktual pada salah satu pasien UL-AFME. Sudut-Z berubah dari 48,7o (pada TA) menjadi 63,7o (TB). Setelah retensi (pada TC), sudut-Z adalah 66,9o. Gambar 6B menunjukkan superimposisi dari penelusuran Cephalometri pada Gambar 6A.

PEMBAHASAN
   
Analisis Cephalometri pada setiap perawatan menunjukkan bahwa, secara umum, esktraksi pra-molar seluruhnya digunakan oleh koreksi diskrepansi Kelas II dan tidak bisa digunakan untuk retraksi incisor. Efek ini dapat dilihat pada profil jaringan lunak sebagaimana ditunjukkan dengan sudut-Z dan LLip-E, yang secara signifikan hanya meningkat setelah AFME (Gambar 4).
   
Analisis korelasi bivariat menunjukkan bahwa profil jaringan lunak (sudut-Z) berkorelasi paling kuat dengan posisi bibir bawah (LLip-E), dan retraksibibir bawah berkorelasi paling kuat dengan pergerakan incisor atas tapi tidak dengan pergerakan incisor bawah (Tabel 3, Gambar 5). Temuan ini menunjukkan bahwa, untuk peningkatan profil pada pasien Kelas II, kita harus menggerakkan incisor maxillary secara distal sebanyak mungkin untuk melepaskan “lekukan luar” dari bibir bawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan profil jaringan lunak masih kontroversi saat ini. Akan tetapi, temuan ini, bersama dengan laporan-laporan sebelumnya oleh Rains dan Nanda serta lainnya, memberikan bukti yang kuat kepada anjuran Angle dan gagasan Merrifield bahwa bibir-bibir bawah ditekan keluar pada pasien kelas II dengan incisor maxillary protrusive.
   
Disini harus diperhatikan bahwa hampir semua pasien dalam kelompok PRME memerlukan pencabutan molar ketiga selama atau setelah perawatan aktif untuk mekanik kelas II atau diskrepansi posterior, masing-masing. Disisi lain, mekanik perawatan dari AFME mencakup pelurusan molar ketiga selanjutnya. Setelah ruang ekstraksi pra-molar tertutup, maka molar pertama maxillary (dan mandibular, pada beberapa kasus) akan dicabut. Gaya-gaya timbal-balik dari rantai elastis inter-maxillary dan gaya-gaya headgear J-hook kemudian diaplikasikan untuk pergerakan distal canine maxillary dan incisor. Molar kedua digerakkan secara mesial dan molar ketiga erupsi pada posisi sebelumnya dari molar kedua. Akar-akar molar ketiga seringkali terbentuk dan mirip dengan akar-akar molar kedua. Pada oklusi akhir, pra-molar kedua ditopang pada molar kedua pada sebuah hubungan gigi Kelas I. Dengan demikian, jumlah total gigi yang tersisa akan sama pada kelompok AFME dan kelompok PRME.
   
Risiko resorpsi akar dalam kelompok AFME terlihat mirip dengan kelompok PRME. Jaringan gingival terlihat sehat, dan tidak ada masalah patologis yang terlihat pada kelompok AFME.
   
AFME dikontraindikasikan untuk (1) pasien yang lebih mudah dari 15 tahun dan (2) pasien dengan maloklusi Kelas II yang parah dan mandible yang sangat pendek. Kelompok UL-AFME  mencakup dua kelompok pasien yang prifil-profilnya masih burukl setelah AFME. Pasien-pasien seperti ini harus dirujuk ke bedah ortognatik, karena AFME tidak bisa merubah pola skeletal yang bersangkutan.
   
Dengan pemilihan kasus yang baik dan penatalaksanaan yang cermat selama perawatan, lebih banyak pasien Kelas II yang parah yang bisa mencapai profil jaringan lunak yang wajar tanpa harus menjalani bedah ortognatik. Para orthodontist harus hati-hati dan berupaya untuk tidak melakukan pencabutan molar ketiga terlalu dini pada tipe-tipe maloklusi ini sebelum mempertimbangkan rencana perawatan ortodontik yang mungkin dengan AFME pada pasien yang terhambat pertumbuhannya.

KESIMPULAN

AFME secara signifikan memberikan kontribusi bagi retraksi incisor maxillary dan sebuah perubahan jaringan lunak yang mendukung selanjutnya sebagaimana dihitung dengan sudut-Z dan LLip-E.

Perubahan jaringan lunak berkorelasi lebih besar dengan retraksi incisor maxillary dibanding retraksi incisory mandibular baik pada kelompok AFME maupun pada kelompok PRME.

Menggerakkan incisor maxillary secara distal sebisa mungkin, yang dipermudah dengan AFME, merupakan salah satu faktor penting untuk memperbaiki jaringan lunak.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...