Wednesday, February 10, 2010

Kebutuhan perawatan ortodontik - kebutuhan normatif dan kebutuhan yang dirasakan sendiri – pada sebuah populasi Universitas Peru

Abstrak

Latar belakang: Penelitian-penelitian terdahulu tentang kebutuhan perawatan ortodontik pada remaja telah menunjukkan bahwa sampai 50% memiliki maloklusi yang memerlukan perawatan ortodontik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai kebutuhan perawatan ortodontik – kebutuhan normatif dan kebutuhan yang dirasakan sendiri – dengan menggunakan Indeks IOTN (Indeks Kebutuhan Perawatan Ortodontik) dan untuk menentukan apakah tingkat kebutuhan perawatan dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia dan status sosial ekonomi (SES) pada sebuah sampel remaja di Peru.

Metode: Sebanyak 281 mahasiswa tahun-pertama (157 laki-laki dan 124 perempuan) dengan usia rata-rata 18,1 ± 1,6 tahun dipilih secara acak dan dievaluasi dengan DHC (Komponen Kesehatan Gigi) dan AC (Komponen Estetik) dari IOTN. Wawancara terstruktur dan pemeriksaan klinis digunakan untuk memeriksa para mahasiswa. Uji statistik deskriptif dan uji Chi-square digunakan untuk analisis data dengan signifikansi pada pada P < 0,05.

Hasil: Kepercayaan intra-pemeriksa sebesar 0,89 diperoleh (Kappa tertimbang). Persentase mahasiswa menurut SES adalah 51,2%, 40,6% dan 8,2% masing-masing untuk SES rendah, sedang dan tinggi. Persentase mahasiswa dengan DHC kelas 4-5 adalah 29,9% sedangkan persentase mahasiswa dengan   AC kelas 8-10 adalah 18%. Tidak ada perbedaan signifikan dalam hal distribusi antara perawatan ortodontik normatif dengan perawatan ortodontik yang dirasa perlu berdasarkan jenis kelamin, usia dan perbandingan SES.

Kesimpulan: Kebutuhan perawatan ortodontik normatif tidak sama dengan kebutuhan perawatan yang dirasakan sendiri pada tingkatan yang mirip pada remaja. Jenis kelamin, usia dan SES tidak menjadi faktor signifikan yang terkait dengan tingkat kebutuhan perawatan.


Latar Belakang
   
Perencanaan perawatan ortodontik dalam sebuah sistem kesehatan masyarakat memerlukan informasi tentang kebutuhan perawatan ortodontik penduduk. Ini akan memungkinkan dilakukannya pemilihan kasus yang akan diobati berdasarkan tujuan finansial, politik atau administratif. Indeks-indeks ini mengkuantifikasi atau merangkum sekumpulan data klinis dan/atau radiologis untuk memperoleh skor kuantitatif akhir atau kategorisasi kualitatif. Pada intinya, tujuan utama dari sebuah indeks kebutuhan perawatan ortodontik adalah untuk mengidentifikasi orang-orang yang akan diuntungkan oleh perawatan ortodontik sehingga mereka akan diprioritaskan dalam perawatan.
   
Penilaian kebutuhan perawatan ortodontik, berdasarkan indeks IOTN (Indeks Kebutuhan Perawatan Ortodontik), telah disepakati secara internasional belakangan ini karena metode ini terbukti valid, dapat dipercaya dan mudah digunakan.
   
Secara ringkas, IOTN memiliki dua bagian, yaitu: komponen estetik (AC) dan komponen kesehatan gigi (DHC). AC menilai persepsi seseorang tentang ketertarikan terhadap gigi yang dimiliki melalui sebuah skala fotograf 10-poin yang menunjukkan tingkat-tingkat ketertarikan terhadap gigi yang berbeda, dimana foto 1 mewakili paling menarik dan foto 10 mewakili paling tidak menarik. Foto 1 sampai 4 mewakili “tidak ada kebutuhan akan perawatan ortodontik”; 5 sampai 7 mewakili “kebutuhan dasar untuk perawatan” dan 8 sampai 10 mewakili “kebutuhan pasti untuk perawatan ortodontik”. DHC menilai 10 sifat maloklusi: overjet, overjet terbalik, overbite, openbite, crossbite, crowding, erupsi terhalang, kerusakan palatal dan bibir cleft serta setiap kelainan kraniofasial, Kelas II dan okusi bukal Kelas II, dan hypodontia. DHC mengidentifikasi sifat oklusal terburuk yang berpotensi merusak bagi kesehatan gigi  dan masing-masing nilai/tingkat yang diberikan adalah sebuah refleksi dari tingkat kebutuhan perawatan ortodontik untuk menjadi dasar prioritas perawatan. Tigkat 1 dan 2 mewakili “tidak ada kebutuhan akan perawatan”; tingkat 3 mewakili “kebutuhan sedang/mendasar akan perawatan” dan tingkat 4 dan 5 “kebutuhan pasti akan perawatan ortodontik”.
   
Karena kesadaran tentang penampilan tubuh meningkat selama masa anak-anak dan mendekati remaja, maka masa remaja dianggap sebagai sebuah kelompok usia yang relevan untuk meneliti persepsi penampilan gigi pribadi. Penentuan kebutuhan perawatan ortodontik yang ada pada orang remaja cukup penting karena orang yang tinggi kebutuhannya akan perawatan bisa diidentifikasi dan diberi nasehat. Disamping itu, informasi tentang kebutuhan perawatan ortodontik pada remaja juga relevan untuk mengevaluasi kepuasan penampilan gigi pada orang-orang yang dirawat secara ortodontik dan pada orang-orang yang tidak dirawat. Meski demikian, maloklusi tidak diragukan lagi sebagai masalah  kesehatan masyarakat di setiap negara.
   
Tujuan dari penelitian kali ini adalah untuk menilai kebutuhan normatif dan kebutuhan yang dirasakan sendiri akan perawatan ortodontik pada sebuah sampel remaja Peru dengan menggunakan IOTN dan untuk membandingkan tingkat kebutuhan perawatan menurut jenis kelamin, usia dan status sosial ekonomi (SES) mahasiswa. Hasil dari penelitian ini akan menjadi sebuah titik awal untuk adaptasi atau pembuatan sebuah indeks baru untuk kebutuhan ortodontik bagi populasi Peru. Penggunaan indeks-indeks yang telah divalidasi harus dipertimbangkan secara cermat karena definisi kebutuhan populasi tidak bersifat universal. Ini khususnya berlaku bagi persepsi estetik dari kebutuhan.

Metode
   
Sampel penelitian terdiri dari 281 mahasiswa universitas tahun pertama yang dipilih secara acak dari sebuah populasi 780 mahasiswa di sebuah universitas swasta di Lima (Peru). Daftar registrasi mahasiswa untuk tahun akademik 2003 digunakan sebagai sebuah kerangka sampling untuk pemilihan sampel. Para mahasiswa yang memiliki riwayat perawatan ortodontik atau sedang menjalani perawatan ortodontik dikeluarkan dari penelitian. Ukuran sampel dihitung untuk memperkirakan kebutuhan perawatan ortodontik 24% pada populasi (dengan menggunakan DHC dari IOTN), pada tingkat 5% (α = 0,05) dan dengan kesalahan maksimum yang bisa ditolerir 5%.
   
Wawancara tatap-muka yang terstruktur dilakukan sebelum pemeriksaan klinis untuk masing-masing mahasiswa. Pertama, para mahasiswa diminta untuk memberikan data pribadi serta menyatakan skala biaya kuliah universitas sebagai sebuah tolak ukur SES yang tidak langsung. Pada universitas ini, para mahasiswa membayar uang kuliah yang berbeda tergantung pada evaluasi sosial-ekonomi yang disahkan oleh seorang pekerja sosial universitas. Sebuah skala biasa dengan tiga kategori disediakan (SES rendah, sedang dan tinggi). Tidak ada informasi tambahan tentang keinginan dan kebutuhan yang dirasa perlu yang diminta dari mahasiswa.
   
Setelah itu, para mahasiswa memberikan nilai untuk ketertarikan gigi yang mereka rasakan berdasarkan AC dari IOTN, sedangkan kebutuhan perawatan ortodontik normatif dinilai menurut DHC dari IOTN. Selama pemeriksaan klinis, hypodontia ditentukan sebagai tidak terdapatnya sekurang-kurangnya satu gigi pada kuadran manapun yang memiliki implikasi restoratif dan gigi terimpaksi ditentukan sebagai erupsi terhalang dari gigi manapun (kecuali molar ketiga) akibat penyebab oklusal atau patologis.
   
Pemeriksaan klinis dilakukan di Klinik Gigi Universitas oleh seorang pemeriksa yang berpengalaman dalam evaluasi epidemiologis untuk kebutuhan perawatan ortodontik. Untuk meminimalisir kesalahan sistematis dan pengacakan, kepercayaan intra-pemeriksa dinilai melalui penilaian berulang untuk 10 mahasiswa pada hari-hari yang berbeda (0,89 Kappa tertimbang).
   
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program Intercooled Stata 8.0 for Windows (Stata Corporation, Texas, USA). Kedua komponen IOTN ditentukan dalam persentase secara terpisah. Uji Chi-square digunakan untuk menentukan apakah ada perbedaan signifikan pada distribusi tingkat DHC dan AC menurut jenis kelamin, SES dan usia mahasiswa. Usia rata-rata digunakan untuk memisahkan mahasiswa menjadi dua kelompok usia, dimana salah satu kelompok < 18 tahun dan kelompok kedua ≥ 18 tahun. Tingkat signifikansi adalah 0,05.

Hasil
   
Sampel penelitian (n = 281) terdiri dari 157 laki-laki (55,9%) dan 124 perempuan (44,1%). Usia rata-rata dari mahasiswa yang dievaluasi adalah 18,1 ± 1,6 tahun, dengan 79,3% berkisar antara 17 hingga 19 tahun. Persentase distribusi mahasiswa menurut SES adalah 51,2%, 40,6% dan 8,2% masing-masing untuk SES rendah, sedang dan tinggi.
   
Distribusi DHC yang ditentukan secara objektif menunjukkan bahwa 29,9% mahasiswa berada pada tingkatan sangat memerlukan perawatan (tingkat 4 dan 5), 34.9% pada tingkatan sedang (tingkat 3), dan 35.2% pada tingkatan tidak atau sedikit memerlukan perawatan (tingkat 2 san 1). Crowding gigi, overjet yang enngkat dan hypodontia, secara berurutan, merupakan ciri oklusi yang paling umum memberikan kontribusi bagi tingkatan DHC (Tabel 1), dengan masing-masing 57,2%, 12,4% dan 6,4% dari maahasiswa yang dievaluasi memiliki ciri ini.

Pembahasan

Beberapa alasan sebelumnya telah dilaporkan untuk mendukung penilaian kebutuhan perawatan ortodontik pada remaja. Pada penelitian kali ini, para remaja ini dipilih karena dua alasan : pertama, kapabilitas mereka yang lebih tinggi untuk mengungkapkan opini-opini tentang penampilan gigi jika dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih muda, dan kedua karena keterjangkauan mereka, sebab para remaja secara konsisten datang ke kampus, dimana mereka bisa dievaluasi secara simultan.
   
Sampel penelitian mencakup para mahasiswa dari sebuah universitas swasta yang terletak di Lima, Peru. Universitas ini dipilih karena kenyamanan, dan para mahasiswa yang direkrut mewakili kelompok remaja yang sangat selektif. Meski demikian, hasil dari penelitian ini tidak akan sepenuhnya representatif bagi populasi remaja lainnya di Lima. Pembuat kebijakan dan kedokteran gigi kesmas harus menginterpretasi hasil-hasil ini dengan cermat sambil mempertimbangkan kekurangan ini. Penelitian-penelitian lebih lanjut akan diperlukan untuk memverifikasi atau melengkapi hasil dari penelitian ini.
   
Menurut penilaian DHC, hampir sepertiga sampel yang dievaluasi berada pada tingkat 4 dan 5, sehingga masing-masing menunjukkan kebutuhan perawatan ortodontik yang besar dan sangat besar. Penelitian-penelitan sebelumnya terhadap para remaja menunjukkan bahwa kebutuhan perawatan ortodontik normatif berkisar antara 1,4% hingga 71,6%; akan tetapi, indeks-indeks berbeda digunakan dalam penelitian-penelitian tersebut (Tabel 4). Beberapa dari penelitian ini bahkan memasukkan remaja yang sebelumnya pernah menjalani perawata ortodontik.
Tabel 4: Penelitian-penelitian terdahulu yang melaporkan frekuensi kebutuhan mutlak akan perawaan ortodontik pada remaja

Jika hanya penelitian yang menggunakan DHC saja yang dibandingkakn, maka frekuensi kebutuhan perawatan pada populasi dalam penelitian ini lebih tinggi dibanding yang dilaporkan untuk penduduk Finlandia dan Kuwait, tapi lebih kecil dari yang dilaporkan untuk penduduk Asia dan Arab laki-laki. (Tabel 4) Ukuran sampel yang berbeda dan range usia remaja yang dievaluasi mungkin telah menyebabkan perbedaan yang dilaporkan pada kebutuhan perawatan ortodontik normatif.
   
Di Peru, sebuah penelitian terdahulu dilakukan dengan populasi sama yaitu mahasiswa universitas tingkat-pertama dengan menggunakan indeks DAI (Indeks Estetik Gigi). Meskipun banyak perbedaan antara kedua indeks ini dalam kaitannya dengan sifat-sifat oklusal yang tercakup dalam penilaian, namun frekuensi mahasiswa yang memerlukan perawatan ortodontik sangat mirip pada kedua penelitian (32,6% berbanding 29,9% yang dilaporkan disini).
   
Crowding gigi, overjet yang meningkat dan hypodontia merupakan ciri oklusal yang paling sering disebutkan. Walaupun frekuensi menyeluruh mahasiswa yang memiliki crowding gigi adalah 57,2%, namun sebuah displacement gigi yang lebih besar dari 4 mm hanya ditemukan pada 11,7% sampel, sehingga menunjukkan diperlukannya perawatan ortodontik (tingkat 4). Dengan demikian, sisa mahasiswa hanya mengalami sedikit crowding (≤ 4 mm), yang diklasifikasikan tidak memiliki kebutuhan signifikan akan perawatan ortodontik. Demikian juga, hanya 6,0% mahasiswa yang menunjukan overjet meningkat lebih dari 6 mm, yang menunjukkan adanya kebutuhan perawatan pasti (tingkat 4 dan 5). Sisanya 6,4% mengalami sedikit overjet yang meningkat (> 3,5 mm tapi ≤ 6 mm). Jika dibandigkan dengan hasil-hasil yang disesuaikan ini, frekuensi mahasiswa penderita hypodontia yang memerlukan perawatan ortodontik pra-restoratif cukup tinggi (6,4%). Ini bisa berarti bahwa overjet yang meningkat adalah ciri oklusal ketiga paling umum untuk kebutuhan perawatan pasti.
   
Temuan kali ini sesuai dengan yang sebelumnya dilaporkan oleh Hassan, yang menemukan bahwa crowding gigi merupakan ciri oklusal yang menonjol pada penduduk Kuwait. Disamping itu, Bernabe dan Flores-Mir, yang menggunakan indeks DAI, menemukan bahwa pada populasi mahasiswa Peru yang sama, maloklusi ditandai dengan frekuensi gigi tanggal yang relatif tinggi, crowding gigi yang signifikan dan hubungan oklusal posterior yang tidak memadai. Sebaliknya, Kerosuo dkk. dan Soh dan Sandham telah melaporkan bahwa crossbite gigi dan crowding, secara berurutan, merupakan ciri oklusal paling umum untuk kebutuhan perawatan pasti pada remaja Finlandia dan Asia, masing-masing.
   
Apabila kebutuhan perawatan ortodontik yang dirasakan sendiri dievaluasi menggunakan AC dari IOTN, maka hanya beberapa mahasiswa tahun pertama (1,8%) yang menilai memiliki kebutuhan mutlak akan perawatan ortodontik (foto 8-10). Ini menguatkan keberadaan distribusi yang condong ke ujung atraktif dari skala sebagaimana yang telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya.
   
Ditemukan perbedaan nyata antara kebutuhan perawatan normatif (29,9%) dengan yang dirasakan sendiri (1,8%) pada populasi ini. Penjelasan yang mungkin mengapa kebutuhan perawatan ortodontik normatif tidak cocok dengan kebutuhan yang dirasakan sendiri adalah karena IOTN merupakan sebuah tolak-ukur normatif dari sesuatu yang ditentukan secara subjektif (estetik). Perbedaan seperti ini didukung oleh perbedaan konseptual antara kesehatan dan penyakit; meskipun indikator-indikator klinis dapat mengukur penyakit, yang murni merupakan konsep biologi, namun merupakan sebuah konsep yang lebih condong ke arah sosiologi dan psikologi.
   
Penyakit tidak selamanya mempengaruhi persepsi subjektif secara negatif tentang kenyamanan, dan meskipun demikian, dampaknya tetap tergantung pada ekspektasi, preferensi, material, sumberdaya sosial dan psikologis, dan yang lebih penting, nilai-nilai yang diperoleh secara sosial dan kultural. Apa yang dianggap menyenangkan secara estetik pada salah satu budaya seringkali tidak cocok dengan apa yang dianggap estetik di kebudayaan yang lain. Sehingga kurangnya kebutuhan yang dirasakan dalam populasi yang dievaluasi bisa diakibatkan oleh fakta bahwa para mahasiswa Peru kemungkinan tidak memiliki pendapat yang sama tentang kecantikan seperti pendapat teman-teman mereka dari Barat, dimana indeks ini dibuat.
   
Tingkat pendidikan juga bisa menjadi sebuah faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan permintaan perawatan. Hasil yang ada sekarang ini didasarkan pada orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang mungkin tidak representatif bagi populasi remaja secara umum. Penelitian-penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menilai persepsi maloklusi dan tingkat kesadaran ortodontik pada anak-anak, menjelang dewasa dan remaja disamping kebutuhan perawatan, untuk memberikan informasi yang lebih rinci bagi perencanaan tenaga-kerja untuk pemberian perawatan ortodontik.
   
Penjelasan yang mungkin lainnya bisa jadi adalah frekuensi perawatan ortodontik rendah yang diminta oleh populasi Peru. Di Peru, rasio antara ortodontis dengan populasi sangat rendah, sekitar 1/450.000 di Lima, dan sepenuhnya diberikan dengan modalitas yang gratis untuk pelayanan. Ketersediaan pelayanan ortodontik telah terbukti mempengaruhi kepuasan diri terhadap penampilan gigi dan keinginan akan perawatan pada remaja. Lebih daripada itu, Espeland dkk. telah melaporkan bahwa remaja yang tidak diobati yang hidup di daerah-daerah yang memiliki frekuensi perawatan ortodontik rendah pada umumnya kurang sadar akan sifat-sifat oklusal anterior mereka sebagaimana jika dibandingkan dengan para remaja di daerah yang memiliki frekuensi perawatan yang lebih tinggi. Kemungkinan, ada norma-norma berbeda untuk penanganan gigi di kedua daerah.
   
Pada penelitian kali ini, jenis kelamin, usia dan status sosial-ekonomi para mahasiswa universitas tingkat-satu Peru tidak mempengaruhi kebutuhan perawatan ortodontik normatif dan yang dirasakan sendiri (self-perceived). Menurut review literatur yang kami lakukan, peranan faktor-faktor ini dalam kebutuhan perawatan cukup bervariasi. Walaupun jenis kelamin terlihat sebagai kovariabel yang paling sering dikaji, namun temuan-temuan yang ada masih bertentangan. Pada sebuah penelitian terdahulu, para pria dinilai memiliki kebutuhan untuk perawatan yang secara signifikan lebih sering dibanding wanita, berdasarkan pekerjaan, tapi peneliti lain tidak mendukung perbedaan ini. Dan juga, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa wanita lebih selektif dalam persepsi dibanding pria, pada umumnya menilai penampilan gigi lebih tinggi dibanding pria.
   
Stenvik dkk. menemukan bahwa ketidakpuasan dengan penampilan gigi dan keinginan untuk melakukan perawatan ortodontik berkurang seiring dengan bertambahnya usia, tapi lebih banyak penelitian yang diperlukan untuk menilai perubahan-perubahan terkait usia, yang harus dilakukan secara longitudinal. Tidak adanya perbedaan distribusi antara kebutuhan normatif dan kebutuhan yang dirasa perlu (self-perceived) untuk perawatan ortodontik menurut status sosial-ekonomi sesuai dengan yang dilaporkan oleh beberapa peneliti; akan tetapi, beberapa penelitian lain telah melaporkan perbedaan antara status-status sosial-ekonomi yang berbeda. Ada kemungkinan bahwa sebuah standardisasi kriteria yang digunakan untuk menentukan golongan sosial akan diperlukan sebelum sebuah ringkasan tentang temuan-temuan yang berbeda bisa dibuat.
   
Menurut hasil penelitian ini, sepertiga remaja universitas tahun-pertama Peru harus menerima perawatan ortodontik untuk menghindari risiko-risiko kesehatan terkait yang ditimbulkan oleh maloklusi, sayangnya tidak banyak diantara mereka yang dapat menjangkau perawatan ortodontik. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah karena pertimbangan ortodontik masih diberikan prioritas yang rendah dalam sistem perawatan kesehatan mulut di Peru. Walaupun ada sebuah sistem kesehatan masyarakat, namun kurangnya sumber-daya menjadikan dana yang tersedia untuk kedokteran gigi menjadi langka. Sehingga, pelayanan ortodontik tidak bisa diperoleh dengan mudah dan tidak terjangkau bagi populasi umum.
   
Dalam konteks tersebut, temuan kali ini bisa digunakan untuk merencanakan pelayanan ortodotik bagi populasi universitas spesifik, dimana terdapat sebuah program asuransi kesehatan yang mencakup perawatan restorasi dasar. Meski demikian, analisis biaya-manfaat dan analisis biaya-efektifitas harus dilakukan pertama-tama untuk menilai kecocokan pelayanan seperti ini.
   
Sebagai ringkasan, penelitian-penelitian tambahan diperlukan untuk meningkatkan pemahaman kita tentang kebutuhan normatif dan kebutuhan yang dirasa perlu (self-perceived) akan perawatan ortodontik, khususnya di negara-negara berkembang dimana frekuensi perawatan ortodotik yang rendah yang dimasukkan ke hampir 100% pemberian perawatan ortodontik swasta memiliki pengaruh signifikan. Dengan demikian, faktor-faktor selain yang dilaporkan di Amerika Utara dan negara-negara Eropa dapat mempengaruhi permintaan dan pemberian pelayanan perawatan ortodontik. Mungkin juga diperlukan untuk menggunakanlebih dari satu indeks dalam sebuah penelitian epidemiologi untuk mengumpulkan semua informasi yang diperlukan.

Kesimpulan

Sekitar sepertiga mahasiswa universitas tingkat-satu di Peru yang dievaluasi menunjukkan kebutuhan pasti yang normatif.
Hanya 1,8% yang merasakan sendiri perlunya kebutuhan akan perawatan ortodontik.
Crowding gigi yang lebih besar dari 4 mm, hypodontia, dan overjet yang meningkat lebih besar dari 6 mm merupakan alasan utama untuk menentukan kebutuhan perawatan ortodontik.
Jender, usia dan status sosial ekonomi para mahasiswa tidak mempengaruhi distribusi frekuesi kebutuhan perawatan normatif dan yang dirasakan sendiri.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...