Thursday, June 3, 2010

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
   
Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menteri Austrlia yang baru menggantikan John Howard. Kemenangan Partai Buruh dan terpilihnya Kevin Ruud sebagai PM Australia sekaligus mengakhiri sebelas tahun dominasi kubu konservatif pimpinan Howard.
   
Selama masa pemerintahan John Howard dan Menteri Luar Negeri Alexander Downer, Hubungan Australia-Indonesia mengalami pasang surut yang amat bersejarah. Kemerdekaan Timor Timur berikut setumpuk antiklimaks residu masalah yang terus saja hidup dan membuat hubungan kadang terasa kurang nyaman. Kemajuan kerjasama di banyak bidang politik-pertahanan, ekonomi, dan pendidikan sekolah tenggelam di tengah pasang surut, episode-episode kasus pemberian visa bagi warga Papua, soal Abu Bakar Ba'asyr, Schapelle Corby, nelayan yang ditangkap, travel warning, dan sederet berita panas lainnya termasuk kasus Balibo Five yang bagi kita sudah selesai.

  
Pasang surut persoalan yang timbul mengganggu hubungan Canberra-Jakarta sesungguhnya terjadi ketika Pemerintah Australia tidak mampu mengelola kepentingannya sendiri. Ketika para petinggi Pemerintah Australia tidak mampu mengolah dan merumuskan kepentingan mayoritas masyarakat Australia menjadi kepentingan nasional Australia. "Australia telah kehilangan kompas moral di bawah Pemerintah Howard", demikian kritik pedas mantan Perdana Menteri Australia Paul Keating (The Age, 22/11/2007).
   
Dengan terpilihnya Perdana Menteri Australia yang baru, ada sebuah harapan akan terbukanya lembaran baru bagi hubungan RI-Australia sekalipun disadari bahwa di sana-sini kita banyak perbedaan. Perbedaan yang tidak harus memisahkan dan menjauhkan kesamaan pandangan, kepentingan bersama, dan kenyataan geografis bahwa keduanya harus bertetangga baik. Dalam kaitan itu, menarik kiranya untuk mengkaji lebih jauh perihal hubungan Indonesia-Australia pascakemenangan Kevin Rudd.

B. Sekilas Hubungan Internasional Australia di Masa Lalu
   
Letak geografis Australia yang jauh dari tanah leluhur serta luasnya wilayah yang tidak berimbang dengan jumlah penduduk telah membuat Australia cenderung terisolasi dari dinamika regional. Faktor budaya dan tradisi yang lebih dekat dengan Eropa secara tidak langsung turut andil dalam menciptakan hambatan bagi Australia untuk menjalin komunikasi intensif dengan negara-negara Asia. Padahal, di mata Inggris negeri kanguru tersebut tidak lagi menjadi bagian dari keluarga inti bangsa Eropa.
   
Inilah dilema besar bagi Australia dalam menjalin hubungan dengan negara-negara tetangga di sekitarnya, tak terkecuali Indonesia. Hubungan yang selama ini terjalin pun lebih banyak dilandasi oleh pendekatan politik dan keamanan. Relasi Australia-Indonesia mengalami pasang surut. Bahkan, tak jarang mencapai titik terendah. Kasus Timor Timur (1999) dan pemberian visa sementara oleh pemerintah Australia kepada empat puluh dua warga Papua yang meminta suaka (2006) merupakan contoh nyata dari pasang-surutnya hubungan Indonesia-Australia.
   
Secara historis, Australia adalah negara persemakmuran (British Commonwealth) yang paling lama bergantung pada Inggris. Ketika negara-negara persemakmuran lainnya telah mulai melepaskan diri dari bayang-bayang Inggris, Australia dalam jangka waktu yang cukup lama belum juga dapat lepas dari pengaruh Inggris, khususnya dalam kebijakan politik luar negeri.
   
Pada Perang Dunia (PD) I, misalnya, Australia terjun dalam medan perang untuk kepentingan Inggris. Baru kemudian setelah Amerika Serikat (AS) muncul sebagai kekuatan baru pada PD II, Australia di bawah PM John Curtin menjadikan AS sebagai "pelindung" barunya. Konsekuensinya Australia pun harus "mengabdi" kepada negeri Paman Sam. Keterlibatan Australia dalam Perang Vietnam menjadi awal dari pengabdian tersebut.
   
Memasuki era 1980-an, Australia mulai menyadari pentingnya menjalin hubungan dengan Asia. Dalam hal relasi dengan Asia, kepentingan utama Australia adalah persoalan keamanan (security). Instabilitas yang terjadi di Asia mutlak turut berdampak pada kondisi Australia. Australia tidak ingin terkena imbas negatif dari negara-negara tetangganya di benua Asia. Dalam konteks Indonesia, misalnya, stabilitas Indonesia secara sosial, politik, dan ekonomi menjadi penting artinya bagi Australia. Karena itu, pada masa-masa ini Australia merasa sangat berkepentingan untuk lebih merapat ke Asia ketimbang Barat.
   
Setelah Paul Keating, Australia berada di bawah kepemimpinan John Howard yang berasal dari kubu konservatif. Pada era ini, relasi Indonesia-Australia lebih banyak diwarnai oleh ketegangan-ketegangan diplomatik. Berbagai kebijakan pemerintahan John Howard dinilai kurang simpatik terhadap Indonesia dan Asia pada umumnya. Sedari awal pemerintahan John Howard memang langsung mengubah haluan politik luar negeri Australia secara signifikan. Paul Keating dinilai telah menjadikan Australia terlalu condong ke Asia, sehingga menomorduakan hubungan kultural dengan dunia Barat.
   
Meskipun Asia tetap ditempatkan sebagai bagian terpenting dalam kebijakan politik luar negeri Australia, tetapi prioritas utama dari pemerintahan Howard adalah melayani kepentingan Inggris dan AS. Kebijakan luar negeri pemerintahan Howard merupakan refleksi dari menguatnya kekuatan kubu konservatif di Australia. Secara tradisi, kubu konservatif memang lebih menyukai menjaga hubungan tradisional dengan Inggris dan AS ketimbang menjalin hubungan erat dengan negara-negara tetangga.
   
Dalam konteks itu, terpilihnya Kevin Rudd sebagai PM Australia yang baru sangat mungkin akan menjadi awal bagi sebuah era baru relasi Indonesia-Australia yang selama satu dekade ini kerap diwarnai berbagai ketegangan diplomatik. Kemenangan Rudd segera membangkitkan kembali memori kolektif bangsa Indonesia pada era kepemimpinan Paul Keating. Yakni ketika Australia memberi prioritas hubungan diplomatiknya dengan Asia lebih tinggi ketimbang dengan Inggris dan AS.

BAB II PROSPEK HUBUNGAN INDONESIA-AUSTRALIA DI ERA KEVIN RUDD

A. Perdana Menteri Baru Australia
   
Pemilihan umum di Australia pada 24 November telah menghakhiri masa kepemimpinan John Howard dari koalisi Partai Liberal dan Nasional. Hasil Pemilu telah menunjukkan kemenangan mutlak Partai Buruh di bawah pimpinan Kevin Rudd dengan perolehan 83 kursi dari 150 kursi parlemen yang diperebutkan. Ironisnya, bagi Howard yang sering disebut oleh media massa dan pengamat politik Australia sebagai sheriffnya Amerika Serikat di Pasifik, kursinya di parlemen yang telah didudukinya selama 33 tahun lepas dengan kekalahannya di daerah pemilihan Sydney. Kini Australia memasuki babak baru dengan pemerintahan yang dipimpin oleh Partai Buruh, khususnya dalam hal kebijakan-kebijakan utama politik dan hubungan luar negeri.
   
Politisi berusia 50 tahun dan telah meniti karir politik di ALP selama 25 tahun itu sekaligus mampu membuktikan tekad kuat yang disampaikannya di awal kampanye Pemilu 14 Oktober lalu bahwa "untuk menang, kita harus membuat sejarah".
   
Dengan kemenangan besar itu, Rudd tidak hanya telah mengukir sejarah bagi dirinya dan partainya karena berhasil menumbangkan supremasi Howard yang telah menguasai pemerintahan federal sejak 11 Maret 1996.
   
Kemenangan tersebut juga telah membuktikan bahwa mayoritas rakyat Australia menginginkan sebuah kepemimpinan baru yang kaya akan ide-ide segar dan visi jauh ke depan. Selama enam minggu masa kampanye, Rudd dan ALP memang menawarkan kepemimpinan baru yang membawa misi dan ide segar bagi Australia yang lebih baik.
   
Howard dan kubu koalisi Partai Liberal-Nasional berupaya mengimbangi geliat ALP itu dengan mengusung tema kampanye "kepemimpinan yang tepat". Howard bahkan mengawali kampanyenya dengan satu ucapan: "cintai saya atau benci saya".
   
Namun kali ini mayoritas rakyat menginginkan pemimpin baru. Kemenangan Rudd bersama ALP ini telah diramalkan berbagai lembaga survei seperti ACNielsen dan Galaxy, jauh sebelum Howard menetapkan tanggal pelaksanaan Pemilu Federal 24 November 2007.
   
Analis Pemilu ABC, Antony Green, bahkan memperkirakan ALP mampu mengantongi 85 kursi di parlemen. Dengan kelebihan 20 kursi di parlemen, ALP dipastikan mengakhiri 11 tahun pemerintahan kubu koalisi Partai Liberal Nasional. Bagi Howard, Pemilu Federal 2007 yang diikuti lebih dari 13,6 juta orang pemilih itu telah menempatkan karir politiknya berada di ujung tanduk. Betapa tidak, kursi daerah pemilihan Bennelong, Sydney, yang telah dipertahankannya selama lebih dari 11 tahun ikut terancam jatuh ke tangan calon anggota parlemen ALP, Maxine McKew walaupun McKew belum berani menyatakan kemenangan atas Howard karena belum seluruh kertas suara selesai dihitung.
   
Bagi politisi perempuan ALP yang pernah berkerja sebagai penyiar ABC itu, satu hal yang pasti bahwa kursi daerah pemilihan Bennelong tidak lagi pernah dengan mudahnya diambil Partai Liberal.
   
Mengenai isu-isu yang menjadi kunci kemenangan kubu ALP, Julia Gillard, wakil ketua ALP dan wakil perdana menteri dalam pemerintahan baru Kevin Rudd, mengatakan, kualitas kepemimpinan Rudd merupakan salah satu faktor penting bagi pemenangan ALP. Isu-isu krusial lainnya adalah kebijakan alternatif ALP terhadap isu hubungan industrial dan pilihan kerja, serta komitmen ALP pada perubahan iklim yang mengacu pada Protokol Kyoto.
   
Kegagalan pemerintahan Howard menjaga tetap rendahnya angka inflasi sehingga mengakibatkan naiknya tingkat suku bunga yang memengaruhi kehidupan masyarakat banyak juga memberikan kontribusi pada kemenangan ALP, kata Gillard.
   
Di tengah suka cita Rudd dan para pendukungnya menyambut kemenangan bersejarah ALP itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru mengukir sejarah lain dalam momen bahagia pemimpin baru Australia itu. Presiden Yudhoyono, seperti diakui Rudd, merupakan pemimpin negara sahabat pertama yang menelepon dirinya untuk memberikan ucapan selamat atas keberhasilannya sekaligus mengundangnya untuk ikut menghadiri konferensi PBB tentang perubahan iklim di Bali.
   
Ia menyambut positif undangan resmi Presiden Yudhoyono untuk menghadiri Konferensi ke-13 Negara Pihak dari Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (Conference of Parties of the United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) di Bali, 3-14 Desember 2007 itu.
   
"Saya merespons secara positif undangan Presiden Yudhoyono untuk hadir di Bali," katanya dalam konferensi pers yang disiarkan langsung stasiun televisi "Channel Nine" Minggu siang.
   
Selain bertemu Presiden Yudhoyono di Bali, ia pun berencana mengunjungi Indonesia kembali pada 2008 untuk memperkuat hubungan bilateral kedua negara. Sinyal positif yang diberikan Rudd pada penguatan hubungan Australia dengan Indonesia itu seakan memutar jarum sejarah kemesraan hubungan kedua negara semasa pemerintahan PM Paul Keating (1991-1996) dan memunculkan harapan baru bagi pendewasaan hubungan.
   
Di antara politik dan hubungan luar negeri Australia yang segera mendapat prioritas, menurut Kevin Rudd, adalah penarikan 500 personel militer Australia dari Irak, dan menandatangani Protokol Kyoto. Selain itu, sebagai tradisi dan kebijakan umum Partai Buruh yang menganut pendekatan geografis yaitu mengutamakan hubungan baik dengan negara-negara tetangga khususnya dan Asia pada umumnya, kemenangan akan mempengaruhi hubungan RI-Australia.
   
Tentu perubahan hubungan dengan Indonesia itu akan mencakup nuansa, cara, dan diharapkan secara substansial kembali mesra sebagaimana tercatat dalam sejarah, jika Australia dikuasai oleh Partai Buruh. Hal sebaliknya terjadi, kalau Australia dikuasai oleh koalisi Partai Liberal-Nasional yang menganut pendekatan kultural. Hubungan RI-Australia selalu saja ada masalah jika pemerintahan Australia dikuasai oleh koalisi Partai Lebral-Nasional. Pendekatan kultural itu lebih mengutamakan hubungan Australia dengan negara dan bangsa nenek moyang orang Australia di Eropa termasuk Amerika Serikat.

B. Sejarah dan Fakta Hubungan RI-Australia
   
Hubungan Indonesia-Australia berlangsung dengan mesra, penuh pengertian dan kerja sama sewaktu Australia dikuasai dan dipimpin oleh Partai Buruh dengan tokoh-tokohnya seperti Chifley dan Keating. Semasa Chifley, dukungan Australia kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia begitu besar, sehingga Australia ditunjuk Indonesia duduk dalam Komite Jasa-jasa Baik (Good Offices Committee) PBB. Komite itu dibentuk untuk mengakhiri penjajahan Belanda di Indonesia dan mengusahakan pengakauan atas kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agusuts 1945.
   
Begitu juga semasa Keating, Australia menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat Asia dan menjadikan Indonesia sebagai tetangga utama Australia. Tampaknya, bagi kedua tokoh itu dan kita harapkan juga mayoritas warga Australia menyadari bahwa sudah menjadi takdir (destiny) kedua negara, Indonesia dan Australia menjadi bertetangga. Pepatah mengungkapkan bahwa kita dapat memilih siapa-siapa yang menjadi teman kita tapi kita tak dapat memilih tetangga (we can choose our friends but we can't choose our neighbours). Bahkan, menurut tata pergaulan, kalau kita mempunyai tetangga yang ramah, penuh pengertian dan kerja sama itu lebih baik dari saudara dekat yang tinggal jauh dari kita.
   
Fakta lain menunjukkan, betapa hubungan RI-Australia saling membutuhkan dalam menjalankan roda ekonomi dan pendidikan. Di bidang perdagangan, nilai perdagangan bilateral, pada tahun 2006 telah mencapai 10, 4 miliar dolar Australia. Begitu juga di bidang investasi dan bisnis di mana Australia cukup banyak mendapat kesempatan berinvestasi di Indonesia dengan nilai investasi pada tahun 2006 sebesar 3 miliar dolar Australia yang dilakukan oleh sekitar 400 pengusaha Australia.
   
Di bidang sosial budaya, sekitar 15 ribu pelajar/mahasiswa Indonesia kini sedang menuntut ilmu di berbagai perguruan menengah dan tinggi, yang tentu saja memberikan kontribusi, baik secara ekonomi dan budaya kepada masyarakat Australia. Sebaliknya minat dan perhatian dari warga Australia terhadap masalah-masalah sosial, budaya, dan politik Indonesia cukup besar terlihat dari banyaknya kajian-kajian tentang Indonesia di berbagai akademi dan universitas di Australia. Begitu pun kajian-kajian tentang Australia cukup berkembang di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
   
Menurut Duta Besar Australia di Jakarta, HE Mr Bill Farmer, kini Australia sedang mensponsori pelatihan manajemen tentang pelestarian warisan budaya dan benda-benda pusaka bagi praktisi/pejabat pemerintahan dan LSM Indonesia melalui the Australian Council of National Trust. Di tingkat pemerintahan, hubungan antara kedua negara semasa pemerintah John Howard tidak selamanya berjalan mulus dikerenakan orientasi pemerintahan Partai Liberal-Nasional banyak berorientasi ke Amerika Serikat dan Eropa.
   
Namun demikian, Australia hendaknya terus mengingat bahwa Indonesia secara tulus dan terus-menerus mengikutsertakan Australia dalam berbagai kegiatan internasional yang ruang lingkupnya wilayah Asia dan Pasifik seperti pada Forum Tingkat Tinggi Asia Timur ( East Asia Summit) dan Mitra Wicara ASEAN (ASEAN Dialoog Partners). Dengan kembalinya Partai Buruh memimpin Australia, setelah Pemilu tanggal 24 November yang lalu, tentu hubungan antara kedua negara diharapkan mempunyai prospek yang lebih baik dari semasa koalisi Liberal- Nasional piminan John Howard.

C. Membaca prospek
   
Dengan memenangkan pemilu, Partai Buruh akan menguasai Pemeritahan Australia. Sudah barang tentu, kita berharap hubungan antara Indonesia dan Australia sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh pemerintahan Australia di bawah pimpinan Partai Buruh, masa lalu, akan bertambah mesra, penuh pengertian dan kerja sama.
   
Harapan itu makin menjadi dekat untuk mewujud dengan pernyataan Kevin Rudd yang telah menjadi Perdana Menteri Australia. Dalam wawancaranya dengan sebuah surat kabar ternama dia mengatakan, "Indonesia amat penting bagi Australia." Kita akan teringat era Perdana Menteri Paul Keating yang dianggap masa keemasan hubungan Indonesia-Australia.
    Atas kemenangan Partai Buruh, presiden kita, menurut surat kabar-surat kabar nasional, menjadi kepala negera pertama yang mengucapkan selamat kepada Kevin Rudd. Selain itu, kedua pemimpin sepakat untuk terus bekerja sama membangun hubungan RI-Australia secara konstruktif. Namun demikian, prospek hubungan kedua negara masih akan menemui beberapa ganjalan. Masalah tewasnya lima wartawan Australia sewaktu kerusuhan di Balibo Timor Timur dahulu (Balibo Five) yang mana pengadilan Glebe Coroners di negara bagian New South Wales menyalahkan tentara Indonesia penyebab kematian itu menjadi salah satu ganjalan itu.
   
Isu-isu tentang Papua yang sering dikemukakan oleh beberapa oknum Australia untuk kepentingan politik dan ekonominya serta kemungkinan eksekusi warga Australia yang terlibat jaringan narkoba di Bali, juga potensial mengganggu hubungan keduanya.

D. Tantangan dan Harapan
   
Di bawah pemerintahan Howard yang lalu, hubungan kedua negara mengalami pasang surut yang ekstrim akibat tidak terkelolanya secara baik masalah-masalah sensitif, seperti krisis Timor Timur dan separatis Papua. Kondisi ini diperburuk pula oleh persepsi publik di kedua negara yang belum proporsional dalam menilai diri masing-masing.
   
Dalam merespon dinamika hubungan itu, pemerintah dan parlemen Indonesia dan Australia berupaya mencari solusi bersama dan melahirkan perjanjian yang menjadi payung hukum bagi penguatan hubungan dalam jangka panjang. Perjanjian Keamanan Indonesia-Australia yang ditandatangani di Lombok 13 November 2006 dan telah pula diratifikasi parlemen kedua negara dipandang banyak kalangan sebagai tonggak sejarah baru dalam hubungan bilateral kedua negara.
   
Hanya saja, upaya memperkuat dan semakin mendewasakan hubungan bilateral itu tidak cukup hanya dilakukan di tingkat pemerintah tetapi juga sepatutnya secara simultan dilakukan di tingkat masyarakat. Yang terakhir ini justru menimbulkan kekhawatiran sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hasil survei akademis.
   
Hasil survei terbaru Universitas Sydney Oktober 2007 yang melibatkan 1.213 orang responden dari kalangan warga Australia misalnya mendapati lebih dari separuhnya masih memandang Indonesia sebagai negara yang tidak menarik.
   
Mayoritas responden belum melihat Indonesia sebagai mitra dekat keamanan Australia dalam lima atau sepuluh tahun mendatang. Hasil survei itu menunjukkan posisi Indonesia hanya berada setingkat di atas Korea Utara namun kalah jauh dibandingkan Cina, Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris.
Hasil survei Universitas Sydney tersebut belum menunjukkan adanya kemajuan setelah setahun Lembaga Pengajian Kebijakan Internasional "Lowy Institute" membuat survei tentang persepsi responden Australia dan Indonesia tentang hubungan kedua bangsa dan persepsi keduanya tentang persoalan keamanan dan kebijakan luar negeri serta persoalan-persoalan internasional lainnya.
   
Dalam survei yang berlangsung antara 19 Juni hingga 16 Juli 2006 itu, terungkap bahwa responden Australia tetap memandang Indonesia sebagai ancaman keamanan bagi negaranya, karena negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang secara geografis bertetangga langsung dengan Australia ini dipandang sebagai sumber terorisme dan negara yang masih dikontrol militer.
   
Bagi responden Indonesia, Australia dianggap sebagai negara yang suka ikut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia dan tetap berkeinginan untuk memisahkan Provinsi Papua dari Negara Kesatuan RI.
Kondisi ini merupakan tantangan yang menuntut keseriusan bersama untuk menjawabnya supaya Indonesia dan Australia keluar dari bayang-bayang yang disebut banyak akademisi Australia sebagai "the strange neighbors" dan "an arranged marriage" (Sulaiman, Sofyan, dan Smith 1998).
   
Mantan Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans telah mengingatkan sejak awal keunikan dan perbedaan dari kedua bangsa yang bertetangga dekat ini. Evants mengatakan, "tidak ada dua tetangga di belahan dunia manapun yang berbeda sejarah, budaya, penduduk, bahasa, serta tradisi politik dan sosialnya seperti Australia dan Indonesia" (Ball & Wilson 1991:1-4).
   
Di tengah kondisi riil ini, naiknya Kevin Rudd ke tampuk kekuasaan memunculkan harapan baru akan kembalinya kemesraan hubungan Indonesia dan Australia khususnya serta hubungan Australia dan Asia pada umumnya mengingat kecenderungan ALP yang pro-Asia. Kecenderungan ALP untuk lebih merangkul Asia itu setidaknya terlihat jelas dari pernyataan yang pernah dilontarkan Menlu bayangan Partai Buruh, Robert McClelland.
   
McClelland menegaskan bahwa Australia tidak dapat mengambil resiko dengan mengalienasi China karena tidak ada jaminan bahwa Amerika Serikat (AS) akan terus menjadi kekuatan dominan di Asia.
   
Sinyal itu memberikan harapan pada Australia yang semakin dekat dengan negara-negaranya di Asia kendati kebijakan luar negeri selama pemerintahan Howard yang memperkuat hubungan Australia dengan AS, Jepang, China, dan Indonesia juga diyakini Menlu Alexander Downer justru akan "menambah bobot Australia di tingkat global".
   
Bagi Indonesia, perbedaan pandangan terhadap masalah-masalah tertentu bisa jadi sulit terhindari dalam hubungan kedua negara dan bangsa namun hal ini tidak menutup kedua pihak untuk membangun kerja sama bagi kepentingan bersama dan dunia.
   
Peluang kerja sama itu begitu terbukanya di berbagai sektor. Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di KBRI Canberra, Agus Sartono, melihat kerja sama di bidang pendidikan sebagai salah satu yang diharapkan semakin berkembang.
   
Ia mengharapkan pemerintahan baru Australia dapat memberikan lebih banyak beasiswa lagi kepada putri-putri terbaik Indonesia untuk dapat melanjutkan studi mereka.
   
"Selain itu, akan lebih bagus lagi kalau ada juga beasiswa bagi para mahasiswa Australia untuk belajar di universitas-universitas di Indonesia, karena mereka akan menjadi duta bagi penguatan hubungan kedua negara dan bangsa," kata Agus Sartono.
   
Para mahasiswa Australia yang pernah mengikuti program ACICIS (Australian Consortium for Indonesian In Country Study) terbukti memberikan kontribusi positif bagi penguatan hubungan kedua bangsa karena mereka memiliki pandangan yang lebih proporsional tentang Indonesia.
   
Di tangan Perdana Menteri Kevin Rudd, harapan baru akan terus membaik, meluas dan dewasanya hubungan Indonesia-Australia maupun hubungan Australia dengan Asia itu kini berada. Mampukah pemimpin kedua negara memanfaatkan momentum sekarang ini dan mengatasi masalah-masalah yang telah ada untuk peningkatan dan perluasan kerja sama yang saling menguntungkan? Waktu jualah yang menjawabnya.

BAB III

KESIMPULAN

1.Kemenangan Partai Buruh dalam pemilu di Australia menjadi angin segar bagi Indonesia.
2.Sejarah telah menggambarkan bahwa saat Partai Buruh memimpin pemerintahan, hubungan RI-Australia berjalan sangat 'mesra'.
3.Setelah menang pemilu, pimpinan Partai Buruh, Kevin Rudd, menjadikan penarikan personel dari Irak dan penandatanganan Protokol Kyoto sebagai program prioritas.
4.Kasus Balibo, Papua, dan terpidana narkoba asal Australia di Bali bisa menjadi ganjalan bagi hubungan RI-Australia.

DAFTAR PUSTAKA

PLE Priatna. 2007. PM Kevin Rudd, Australia, dan Indonesia. Harian Kompas ed. 14/12/2007.

Bawono Kumoro. 2007. Menakar Relasi Indonesia-Australia. Suara Karya Online, available at http://www.suarakarya-online.com, diakses tanggal 5/01/2008.

Aiyub Mohsin. 2007. Prospek Hubungan RI-Australia. Republika Online, available at http://republika.co.id, diakses tanggal 5/01/2008.

Rahmad Nasution. 2007. Rudd Harapan Baru Indonesia. INN Channels, available at http://www.innchannels.com, diakses tanggal 5/01/2008.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...