Thursday, February 11, 2010

Tanda-tanda dan gejala-gejala penyakit temporomandibular dan parafungsi mulut pada remaja perkotaan di Arab Saudi : sebuah laporan penelitian

Abstrak

Latar belakang: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi prevalensi tanda-tanda dan gejala-gejala penyakit temporomandibular (TMD) dan kebiasaan parafungsi mulut diantara para remaja Arab Saudi yang sedang dalam tahap pertumbuhan gigi geligi permanen.

Metode: Sebanyak 385 (230 perempuan dan 155 laki-laki) anak-anak sekolah berusia 12 – 16 tahun, mengisi sebuah kuisioner dan diperiksa secara klinis. Sebuah tehnik seleksi bertingkat digunakan untuk alokasi sekolah-sekolah.

Hasil: Hasil menunjukkan bahwa 21,3% subjek menunjukkan sekurang-kurangnya satu tanda TMD dan wanita lebih sering terkena dibanding pria. Bunyi sendi merupakan tanda yang paling prevalen (13,5%) diikuti dengan pembukaan mulut yang terbatas (4,7%) dan penyimpangan pembukaan (3,9%). Amplitudo pembukaan mulut, yang merupakan overbite yang dipertimbangkan, masing-masing adalah 46,5 mm dan 50,2 mm untuk wanita dan pria. Nyeri TMJ dan kehalusan otot jarang terjadi (0,5%). Gejala-gejala yang dilaporkan adalah 33%, sakit kepala merupakan gejala yang paling sering (22%), diikuti dengan nyeri selama mengunyah (14%) dan bunyi TMJ (8,7%). Kesulitan selama membuka rahang dan mengunci rahang cukup jarang terjadi. Mengigit bibir/pipi merupakan kebiasaan parafungsi yang paling umum (41%) dimana wanita lebih sering mengalami ketimbang pria, diikuti dengan menggigit kuku (29%). Bruxisme dan menghisap ibu jari masing-masing hanya 7,4% dan 7,8%.

Kesimpulan: Prevalensi tanda-tanda TMD adalah 21,3% dimana bunyi sendi merupakan tanda yang paling prevalen. Sedangkan gejala-gejala TMD ditemukan sebesar 33%, dengan sakit kepala yang paling prevalen. Diantara parafungsi mulut, mengigit bibir/pipi merupakan yang paling prevalen (41%) diikuti dengan menggigit kuku (29%).



Latar Belakang
   
Penyakit-penyakit temporomandibular telah dikenal sebagai kondisi nyeri orofacial yang umum. ADA pada tahun 1983 telah menyarankan agar istilah temporomandibular disorders (TMD) digunakan untuk menunjuk pada sekelompok penyakit yang ditandai dengan: nyeri pada sendi temporomandibular (TMJ), daerah periauricular, atau otot-otot pengunyahan; bunyi TMJ selama fungsi mandibular; dan penyimpangan atau keterbatasan gerakan mandibular.
   
Beberapa penelitian epidemiologi terhadap prevalensi TMD pada anak-anak dan remaja telah dipublikasikan dari berbagai populasi, dimana prevalensi TMD bervariasi mulai dari 9,8 sampai 80 persen (Tabel 1). Kurangnya standar-standar internasional, jenis dan kualitas metode pemeriksaan yang berbeda-beda memegang peranan bagi perbedaan estimasi dan perbedaan laporan tentang TMD.

Beberapa penelitian telah dilakukan tentang prevalensi TMD di Saudi Arabia pada anak-anak normal selama pertumbuhan gigi geligi primer, geligi bercampur dan geligi permanen dan pada dewasa. Laporan-laporan dari Saudi lainnya juga telah dipublikasikan tentang tanda-tanda dan gejala-gejala TMD pada pasien tertentu dan subjek non-pasien seperti mahasiwa militer, pasien wanita yang melakukan perawatan ortodontik dan mahasiswa kedokteran gigi.
   
Prevalensi TMD masih belum diketahui dengan baik dan lebih banyak penelitian dan perbandingan-perbandingan yang diperlukan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang aspek-aspek patologi serta untuk menghasilkan tindakan-tindakan preventif dan terapeutik yang efektif.
   
Tujuan dari penelitian ini adalah menggunakan penelitian epidemiologi cross sectional untuk mengamati prevalensi tanda-tanda dan gejala-gejala TMD pada anak-anak sekolah yang sudah remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan gigi geligi permanen, laki-laki dan perempuan, melalui pemeriksaan klinis dan kuisioner yang dilaporkan sendiri.
Metode
   
Sampel terdiri dari 430 anak sekolah, 255 perempuan dan 175 laki-laki, yang berada di kelas 7, kelas 8, dan kelas 9. Usia mereka berkisar antara 12 hingga 16 tahun. Untuk memastikan pemilihan acak dari sekolah, dengan menggunakan tehnik seleksi bertingkat, maka enam sekolah negeri dipilih pada beberapa lokasi di kota Jeddah, di bagian barat Saudi Arabia.
   
Semua siswa yang hadir pada hari pemeriksaan dimasukkan dalam penelitian. Kriteria inklusi adalah: semua tahap gigi geligi permanen (tanpa ada gigi sulung), tidak ada riwayat perawatan ortodontik, tidak ada kelainan kraniofacial dan semua siswa adalah kebangsaan Arab Saudi. Orang tua dan anak-anak diberitahukan tentang tujuan penelitian dan formulir izin diperoleh. Sebanyak 45 siswa yang tidak memenuhi kriteria inklusi dikeluarkan, dan jumlah terakhir adalah 385 siswa (230 perempuan dan 155 laki-laki).
Pemeriksaan klinis
   
Pemeriksaan dilakukan oleh dua pemeriksa dari departemen Preventive Oral Science, seorang Ortodontist dan seorang dokter gigi anak. Pencocokan intra- dan antar-pengamat dan standardisasi dilakukan sebelum penelitian dilakukan. Dengan menggunakan statistik Kappa Cohen, uji reliabilitas masing-masing adalah 0,90 dan 0,94. Pemeriksaan terhadap siswa dilakukan dalam sekolah dengan pencahayaan yang baik dan semua siswa didudukkan dalam posisi lurus pada saat pemeriksaan.
Pemeriksaan TMD

1. Bunyi TMJ
   
Palpasi digital pada TMJ dilakukan menggunakan jari tengah dan jari telunjuk dan dengan mendengarkan suara selama membuka dan menutup mulut dan dengan palpasi, tidak ada stetoskop yang digunakan. Mendengarkan bunyi TMJ dilakukan dengan telinga pemeriksa dalam jarak 5 cm dari TMJ sebagaimana yang disebutkan oleh Goho dan Jones. Pemeriksa memasang jari tengah dan telunjuk pada daerah TMJ di keduai sisi kepala dan siswa diminta untuk membuka dan menutup mulut beberapa kali. Setiap ketidakteraturan pada saat menutup dan membuka mulut dicatat. Ini kembali diulangi dengan menggunakan anak jari yang ditekankan secara anterior pada meati telinga eksternal, yaitu terhadap aspek posterior dari sendi.

2. Penyakit otot
   
Palpasi digital pada TMJ dan otot-otot terkait dilakukan untuk mendeteksi kehalusan otot dengan menggunakan jari telunjuk, jari tengah dan jari ketiga. Otot Masseter, Temporalis dan Sternocleidomastoid dipalpasi secara bilateral untuk mengetahui kehalusan menurut metode Vanderas. Otot-otot intraoral tidak diperiksa. Kehalusan TMJ juga dinilai selama pergerakan mandibular menurut metode Dworkin. Nyeri ditulis “ada” atau “tidak ada”.

3. Cakupan gerakan mandibular
   
Amplitudo MVO (pembukaan vertikal maksimum) dicatat dengan menggunakan sebuah pengukur Boyle menurut metode Okeson. Pengukur ini diletakkan pada ujung incisor mandibular yang berdekatan dengan garis-tengah. Anak diminta untuk membuka mulut selebar mungkin dan ukuran jarak inter-insisal dicatat. Proses ini diulangi dua kali, dan rata-ratanya diperoleh. Nilai overbite ditambahkan ke pengukuran untuk memperoleh MVO. Untuk kasus openbite, jarak inter-insisal dikurangi untuk memperoleh MVO yang sebenarnya. Batas bawah untuk pembukaan mulut normal ditentukan 40 cm menurut Okeson. Penyimpangan pembukaan didefinisikan sebagai pergeseran rahang bawah sekurang-kurangnya 2 mm ke arah kanan atau kiri garis vertikal imajiner ketika rahang-bawah telah mencapai setengah pembukaan vertikalnya. Pasien diminta untuk membuka mulut secara perlahan dan ini diulangi beberapa kali untuk konfirmasi.

Kuisioner
   
Subjek dan kedua orangtuanya diminta untuk menjawab sebuah kuisioner yang mencakup riwayat sakit kepala, penguncian rahang, bunyi TMJ yang terdengar, kesulitan membuka mulut dan nyeri akut pada daerah periauricular selama mengunyah. Pertanyaan-pertanyaan lain tentang kebiasaan parafungsional seperti menggigit kuku/pipi, bruxisme, menghisap jari dan ibu jari juga dimasukkan dalam kuisioner.

Analisis data
   
Untuk analisis data digunakan SPSS ver. 10. Frekuensi dan bentuk-bentuk kenampakan tanda dan gejala TMD dianalisa dengan memperhitungkan jumlah total subjek, untuk perempuan dan laki-laki secara terpisah. Perbandingan kemudian dilakukan dengan menggunakan uji chi-square Pearson. Tingkat signifikansi ditentukan pada P < 0,05.
Hasil
   
Prevalensi tanda-tanda TMD dan perbedaan jenis-kelamin ditunjukkan pada Tabel 2. Pada seluruh sampel, 21,3% memiliki sekurang-kurangnya satu tanda TMD. Tanda yang paling tidak sering muncul adalah kehalusan otot (0,5%) sedangkan tanda yang paling sering adalah bunyi TMJ (13,5%).

Pembukaan mulut yang terbatas, penyimpangan pembukaan dan sekurang-kurangnya satu tanda TMD secara signifikan lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki. Penyimpangan pembukaan adalah 6,1% dan 0,6% untuk perempuan dan laki-laki masing-masing. Amplitudo pembukaan mulut, overbite yang dipertimbangkan adalah 46,5 mm dan 50,2 mm masing-masing untuk perempuan (6,5%) dan laki-laki (4,7 mm). Tabel 3 menunjukkan persentase distribusi gejala-gejala TMD menurut jenis kelamin. Sebanyak 33 persen dari seluruh sampel melaporkan sekurang-kurangnya satu gejala dimana wanita melaporkan lebih banyak dibanding laki-laki. Gejala TMD yang paling sering adalah sakit kepala (22%) sedangkan penguncian rahang merupakan tanda yang paling jarang (2,1%). Pada umumnya, prevalensi gejala lebih besar pada perempuan dibandig pada laki-laki, akan tetapi hanya nyeri selama mengunyah yang menunjukkan perbedaan signifikan. Berdasarkan kuisioner, persentase distribusi beberapa kebiasaan parafungsi ditunjukkan pada Tabel 4. Mengigit bibir/pipi merupakan kebiasaan yang paling sering (41%) dan perempuan (54,8%) secara signifikan lebih besar dibanding laki-laki (29%) tanpa adanya perbedaan jender. Disamping itu, tidak ada perbedaan statistik yang ditemukan pada bruxisme (7,4%) atau menghisap ibu jari (7,8%) antara laki-laki dan perempuan.


Pembahasan
   
Beberapa penelitian tentang prevalensi TMD pada anak-anak dan remaja telah dipublikasikan dari berbagai wilayah di dunia, (Tabel 1).
   
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi prevalensi tanda-tanda dan gejala-gejala TMD pada anak-anak sekolah remaja melalui pemeriksaan klinis dan data subjektif diperoleh dari kuisioner dan membandingkan hasil dengan penelitian nasional dan internasional lainnya.
   
Penelitian kali ini menunjukkan bahwa prevalensi tanda-tanda dan gejala-gejala klinis masing-masing adalah 21,3% dan 33%, dimana perempuan secara statistik lebih tinggi dibanding laki-laki. Hasil-hasil ini sesuai dengan hasil serupa yang dilaporkan oleh Farsi, Nourallah, Thilander, Dibbet dan Abdulhamik. Juga, hasil kali ini lebih rendah dibanding beberapa penelitian yang dilaporkan sebelumnya meskipun sedikit lebih tinggi dibanding yang lainnya. Rentang frekuensi yang luas untuk tanda-tanda dan gejala-gejala TMD yang sebelumnya disebutkan dalam review-review dan meta-analisis didasarkan pada sampel-sampel yang sangat berbeda (misalnya acak vs. non acak, pasien vs. non pasien, usia yang berbeda, range usia, ukuran sampel, rasio distribusi jender) dan metode-metode pemeriksaan yang berbeda (misalnya jenis variabel, metode pengumpulan data). Menarik untuk diyakini bahwa banyaknya perbedaan prevalensi TMD yang ada diakibatkan oleh faktor ras, seperti yang dilaporkan dari populasi Jepang dan China, dan laporan-laporan serupa dari populasi Swedia dan Finlandia. Akan tetapi, laporan-laporan lain tidak mendukung teori ini dan perbedaan prevalensi TMD terjadi tidak hanya antara berbagai populasi tapi juga dalam sampel populasi yang sama dan usia yang sama.
   
Bunyi TMJ seringkali merupakan indikasi dari adanya gangguan mekanik pada sendi. Pada penelitian kali ini, tanda TMD yang paling prevalen adalah bunyi TMJ (13,5%), tanpa perbedaan jender yang jelas. Ini sesuai dengan laporan Egermark-Erikson, Ogura dan Widmalm. Demikian juga, Farsi pada sebuah sampel perempuan hanya melaporkan bahwa 15% dalam kelompok remaja mengalami bunyi TMJ, dan pada penelitia lain, dia melaporkan bahwa remaja laki-laki dan perempuan yang  sedang dalam masa pertumbuhan gigi geligi permanen mengalami 12,8% bunyi TMJ. Beberapa penelitian melaporkan kejadia bunyi TMJ yang jauh lebih tinggi, tapi ini diakibatkan oleh pemakaian stetoskop pada pemeriksaan klinis. Walaupun bunyi TMJ telah diketahui lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki, namun ini tidak terbukti pada penelitian kali ini tidak juga pada laporan-laporan sebelumnya.
   
Cukup menarik bahwa penelitian-penelitian klinis telah melaporkan prevalensi bunyi TMJ antara 8% hingga 33%. Metode-metode dan kriteria untuk merekam bunyi sendi berbeda pada berbagai laporan, sehingga, jika dikombinasikan dengan fluktuasi alami, maka bisa menjadi alasan mungkin bagi banyaknya perbedaan bunyi sendi.
   
Prevalensi keterbatasan pembukaan mandibular cukup rendah (4,7%), meski demikian, terdapat perbedaan signifikan antara laki-laki (1,9%) dan perempuan (6,5%). Pada penelitian kali ini, pembukaan mulut yang kurang dari 40 mm dianggap sebagai pembukaan yang terbatas sebagaimana dilaporkan oleh Okeson. Amplitudo pembukaan mulut, overbite yang diperhitungkan, mencapai 46,5 mm dan 50,2 mm untuk perempuan dan laki-laki, masing-masing. Hasil ini menunjukkan bahwa pembukaan mulut rata-rata lebih besar pada laki-laki dibanding wanita. Hasil ini sesuai dengan data rata-rata yang dipublikasikan oleh Farsi, Grosfeld dkk., Solberg dkk., Mezitis dkk., dan Cox dkk. Baru-baru ini, Gallgher dkk., melaporkan hasil yang hampir sama yaitu 42,6 dan 44,6 masing-masing untuk perempuan dan laki-laki. Pada penelitian ini, terlihat bahwa pembukaan mulut yang terbatas (4,7%) bisa terjadi tanpa adanya tanda kehalusan otot yang hanya 0,5% atau nyeri TMJ yang hanya 2,6%. Beberapa individu mungkin mengalami pembatasan pembukaan mulut tanpa adanya nyeri atau kehalusan otot. Ini didukung oleh penelitian-penelitian pada subjek-subjek yang bebas gejala TMJ dimana range pembukaan maksimum mencapai 33,7-60,4 pada salah satu penelitian dan 38,7 – 67 pada penelitian lain. Gallagher dkk., lebih lanjut menambahkan bahwa tidak ada perbedaan pembukaan maksimum antara subjek normal dengan subjek abnormal (abnormal didefinisikan sebagai bunyi clicking atau mendatangi dokter karena masalah pada sendiri rahang).
   
Penyimpangan pembukaan mulut disamping rendah kejadiannya (3,9%) juga ditemukan secara signifikan lebih banyak pada perempuan (6,1%) dibanding pada laki-laki (0,6%). Terlihat bahwa gerakan penyimpangan pembukaan pada orang-orang dari kelompok usia yang diamati dalam penelitian ini dan penelitian lainnya terlihat jarang dalam penelitian-penelitian epidemiologi. Dengan demikian, range gerakan penyimpangan bisa dianggap sebagai tanda atau gejala yang penting dalam diagnosa dan perawatan TMD.
   
Nyeri TMJ (2,6%) dan kehalusan otot (0,5%) terlihat sangat rendah pada penelitian kali ini, hasil serupa telah dilaporkan oleh Farsi, Ogura dan Kristinelli. Akan tetapi, prevalensi yang lebih tinggi dilaporkan oleh peneliti lain.
   
Tanda-tanda klinik dari TMJ pada penelitian ini selain bunyi yang cukup rendah kejadiannya, mirip dengan laporan dari beberapa populasi yang berbeda.
   
Gejala-gejala yang dilaporkan dari kuisioner menunjukkan bahwa 33% subjek memiliki sekurang-kurangnya satu gejala TMD. Hasil yang serupa juga dilaporkan oleh Farsi, Thilander, Nilner dan Abdel-Hakim dkk. Pada penelitian kali ini, sakit kepala merupakan gejala yang paling prevalens (22%). Ini sesuai dengan laporan lain oleh Farsi, Nilner, dan Widmalm dkk., akan tetapi Abdel-hakim dkk. melaporkan persentase remaja Saudi yang lebih tinggi untuk yang menderita sakit kepala (345). sakit kelapa dlaporkan secara signifikan lebih banyak pada perempuan, yang juga ditemukan pada peelitian kali ini, akan tetapi perbedaannya tidak signifikan. Karena dalam penelitian ini pembukaan yang terbatas cukup rendah kejadiannya, maka kehalusan otot dan nyeri terkait serta kehalusan pada TMJ dianggap jarang, sakit kepala tidak boleh hanya dikaitkan dengan gejala-gejala TMD. Sakit kepala cukup umum diantara anak-anak dan remaja khususnya sakit kepala pra-menstruasi, migrain, stress dan sakit kepala tipe-tensi dan sakit kepala akibat tekanan darah tinggi. Dengan demikian, sakit kepala yag dilaporkan bisa memiliki penyebab lain selain overload otot-otot TMD. Liljestrom M-R dkk meneliti hubungan TMD dengan sakit kepala, diantara masalah-masalah lain, pada sebuah kelompok remaja spesifik yang menderita sakit kepala primer. Mereka menyimpulkan bahwa TMD harus selalu dipertimbangkan ketika sakit kepala terkait dengan penyakit-telinga, kesulitan dalam membuka mulut, letih atau kekakuan rahang dan kehalusan otot-otot pengunyahan. Faktor-faktor lain yang memberikan kontribusi bagi sakit kepala bisa jadi berupa faktor-faktor psikologis seperti rasa cemas dan depresi. Bonjardim dkk meneliti prevalensi kecemasan dan depresi pada remaja non-pasien dan hubungannya dengan tanda dan gejala TMD. Mereka melaporkan bahwa kecemasan (16,5%) dan depresi (26,7%) walaupun memiliki intensitas ringan, namun umum pada remaja. Temuan mereka ini juga menunjukkan hubungan antara kecemasan dan depresi dan gejala-gejala subjektif.
   
Nyeri ketika mengunyah (14%) merupakan gejala paling umum selanjutnya dan ditemukan lebih umum secara signifikan pada perempuan (15,6%) dibanding laki-laki (3,1%). Gejala-gejala lain seperti mendengar bunyi TMJ, sulit membuka mulut dan rahang terkunci juga jarang.
   
Kebiasaan-kebiasaan para fungsional yang dilaporkan tidak umum pada penelitian ini kecuali untuk kebiasaan menggigit bibir/pipi (41%) dan menggigit kuku (29%). Laporan-laporan dalam literatur tidak ada yang tetap, khususnya pada populasi Arab Saudi; Abdel-Hakim melaporkan 33% mengigit bibir/pipi dan hanya 16% menggigit kuku, sedangkan Farsi melaporkan 38% dan 33% masing-masing. Menggigit pipi secara signifikan lebih umum pada perempuan (45%) dibanding pada laki-laki (15,6%), dan hasil-hasil ini sebanding dengan temuan Egermark-Erikkson dkk yang melaporkan kebiasaan menggigit kuku dan pipi gabungan sebesar 48% pada kelompok penelitian mereka. Metode mereka cukup mirip dengan penelitian kali ini dimana anak-anak dibantu dalam menjawab kuisioner. Hasil yang lebih tinggi untuk kebiasaan menggigit kuku atau pipi (55%) dilaporkan oleh Nilner dan Kopp, menghisap jari cukup rendah kejadiannya, hanya pada perempuan (9%) dan bruxisme 7,4% pada seluruh kelompok.
   
Meskipun beberapa laporan tidak menemukan adanya perbedaan prevalensi TMD menurut jenis kelamin, ini tidak berlaku bagi beberapa tanda dan gejala dalam peneltian ini. Pada umumnya, perempuan memiliki lebih banyak tanda dan gejala dibanding laki-laki. Ini sesuai dengan laporan-laporan lain dalam literatur. Telah dinyatakan bahwa perbedaan jenis-kelamin ini kemungkinan bisa dijelaskan dengan faktor-faktor mental yaitu perempuan muda terlihat memiliki ambang-batas nyeri lebih rendah. Faktor-faktor lain seperti stress juga telah dikenal dari penelitian-penelitan TMD pada dewasa bahwa para wanita lebih banyak terkena dibanding pria. Perbedaan jenis-kelamin juga bisa dijelaskan dengan beberapa perubahan psikologis yang terlihat pada masa pubertas, seperti pada penelitian kali ini. Pola onset TMD setelah pubertas dan tingkat prevalensi yang berkurang pada masa-masa postmenopausal menunjukkan bahwa hormon-hormon reproduksi wanita bisa memegang sebuah peranan etiologi dalam gangguan-gangguan temporomandibular. Ini juga didukung oleh data longitudinal yang dilaporkan oleh Magnusson dkk. Mereka menemukan bahwa perbedaan tanda dan gejala berdasarkan jender cukup kecil pada anak-anak, tapi untuk remaja tahap akhir, perempuan melaporkan lebih banyak gejala dan menunjukkan lebih banyak tanda-tanda klinis dibanding pria.
   
Sebuah poin signifikan yang akan dipelajari adalah diperlukannya diagnosa menyeluruh dan kesadaran ortodontik tentang TMD yang potensial sebelum dilakukan perawatan. Dengan demikian, memasukkan sebuah evaluasi TMJ, otot dan fungsi mandibular terkait pada pemeriksaan gigi secara rutin pada remaja terlihat dapat dpertimbangkan, untuk mengidentifikasi mereka yang berisiko potensial untuk mengalami TMD, khususnya sebelum memulai perawatan ortodontik. Laporan-laporan tambahan diharapkan dapat mengamati dan menilai korelasi TMD dengan karakteristik oklusal.

Kesimpulan
   
Laporan ini merupakan sebuah deskripsi tanda dan gejala klinis dari TMD dan parafungsi mulut pada remaja dengan referensi khusus terhadap perbedaan jender. Prevalensi tanda-tanda TMD adalah 21,3% dimana bunyi sendi merupakan tanda yang paling prevalen. Sedangkan gejala ditemukan sebesar 33%, dimana sakit kepala merupakan gejala yang paling prevalen. Diantara parafungsi mulut, menggigit bibir/pipi merupakan kebiasaan paling prevalen (41%) diikuti menggigit kuku (29%).

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...