Tuesday, February 9, 2010

Regulasi Sintesis Protein oleh Ribosom

Disamping regulasi yang mengubah sintesis protein individual dengan cara merubah jumlah mRNA untuk protein tersebut, regulasi sintesis protein dan degradasinya juga terjadi pada tingkat jaringan melalui perubahan yang mempengaruhi semua protein dari jaringan atau organ tersebut. Sintesis protein pada tingkat jaringan diregulasi oleh beberapa ribosom dalam sel dan juga diregulasi oleh beberapa mekanisme yang dilakukan oleh masing-masing ribosom.
   
Sebuah contoh regulasi sintesis protein pada tingkat jaringan dapat dilihat dalam respon terhadap kelaparan, ketika terjadi kehilangan protein yang banyak dari otot rangka. Dalam beberapa jam tidak makan, terjadi penurunan laju sintesis per ribosom, diikuti dengan menurunnya jumlah total ribosom secara perlahan, yang mana menjadi faktor dominan pada saat kelaparan berlangsung. Juga ada beberapa perubahan degradasi protein pada saat kelaparan yang akan dibahas selanjutnya dalam bab ini.

   
Mekanisme pasti dimana metabolisme protein dikendalikan sebagai respon terhadap stimulus tertentu, tergantung pada jaringan khusus atau tipe sel tertentu. Masing-masing jaringan merespon dengan mekanisme yang ditentukan oleh kebutuhan tubuh secara keseluruhan. Sebagai contoh, penyakit bisa mengubah pola regulasi metabolisme protein dan menentukan prioritas.-prioritas. Ini diamati pada tikus yang membawa tumor, dimana sintesis protein pada otot berkurang sedangkan sintesis protein pada hati meningkat, yang mana diduga terjadi karena fungsi hati lebih penting untuk pertahanan dibanding perlindungan fungsi dalam otot rangka. Pada tikus yang menderita malaria, juga terbukti adanya prioritas diantara jaringan. Sebagai respon terhadap anemia yang menyertai infeksi dengan malaria, sintesis protein limpa dan jantung dapat dipertahankan, sedangkan pada jaringan seperti otot rangka, sintesis menurun.

Aspek-Aspek Molekuler dari Degradasi Protein
   
Jika protein telah terbentuk, protein tersebut akan langsung menjadi target untuk degradasi. Beberapa protein, seperti kolagen dan hemoglobin, relatif resisten terhadap degradasi sehingga pembaharuannya berlangsung lambat. Protein-protein lain, khususnya yang memiliki fungsi regulasi penting, atau yang rusak atau yang memiliki kesalahan pada rantai asam aminonya akibat kesalahan transkripsi, bisa didegradasi dengan mudah. Rincian basis molekuler dari degradasi protein belum diketahui sepenuhnya sebagai sistem untuk sintesis protein. Akan tetapi, seperti halnya sintesis, regulasi degradasi protein mencakup sebuah komponen yang mentargetkan protein-protein spesifik dan sebuah komponen yang meregulasi laju degradasi protein secara keseluruhan dalam kandungan protein. Proteolysis protein jaringan otot yang meningkat terjadi, misalnya, sebagai respon terhadap beberapa stress, termasuk lapar, acidosis, denervasi, kanker, dan injury thermal (Mitch dan Goldberg, 1996).
   
Degradasi protein melibatkan dua sistem yang berbeda, yaitu: lysosomal dan nonlysosomal. Regulasi dari kedua sistem ini sedikit berbeda, seperti spesifitasnya untuk protein individual dan distribusinya dalam jaringan. Secara umum, proteolysis lysosomal dimulai dengan pembentukan gelembung (Gbr. 10-7A). Gelembung-gelembung terbentuk ketika bagian-bagian membran sel menutup sebuah bagian dari matriks ekstraselular (proses ini disebut endocytosis) atau sebagai bagian matriks intraseluler (proses ini disebut autophagy). Gelembung-gelembung ini, atau vakuola-vakuola autofagi, kemudian bergabung dengan organel-organel (utamanya lisosom) dalam sel yang mengandung enzim-enzim pendegradasi (misalnya, cathepsin B, D, H dan L). Reseptor-reseptor terikat membran, misalnya, didegradasi oleh sistem lisosomal, dan proses ini meningkat ketika insulin terikat pada reseptor tersebut. Secara umum, sistem ini dianggap kurang selektif dibanding sistem nonlisosomal, karena bagian-bagian membran seluler atau matriks sel masuk ke dalam lisosom secara nonselektif. Banyak informasi tentang sistem lisosom yang diperoleh dari penelitian-penelitian pada hati tikus. Dalam hati, aktivitas sistem lisosomal merupakan sistem utama yang merespon terhadap variasi asupan gizi. Sistem ini diaktivasi oleh kelaparan dan ditekan dengan adanya asam amino (Lee dan Marzella, 1994).
   
Disamping degradasi lisosomal, juga ada beberapa sitosolik protease. Secara umum, enzim-enzim sitosolik terdegradasi dengan cepat, sehingga memperbaharui protein-protein dan protein-protein yang tidak normal. Mayoritas degradasi dianggap berlangsung melalui sebuah kompleks multi-enzim, yaitu sistem ubiquitin-proteasome yang tergantung-ATP. Kompleks ini mencakup aktivitas dari sistem yang memerlukan ATP dan sebuah sistem yang melibatkan ubiquitin. Ubiquitin merupakan sebuah peptida 76-asam amino yang sangat pokok, yang terikat pada residu lysyl di protein target dengan bantuan regulasi beberapa enzim. Jalur degradasi protein ini ditunjukkan pada Gambar 10-7B. Banyak molekul ubiquitin yang terikat pada protein untuk degradasi, dan kemudian kompleks ini didegradasi oleh lisosom atau oleh kompleks protease multikatalitik yang besar yang dikenal sebagai proteasom. Pada sistem yang tergantung ubiquitin ini, terdapat jauh lebih banyak spesifitas dibanding dalam sistem lisosomal. Protein-protein spesifik ditargetkan untuk degradasi dengan penambahan molekul-molekul ubiquitin. Banyak protein-protein abnormal dan protein regulasi yang didegradasi oleh sistem ini, termasuk protein yang harus diperbaharui secara cepat, seperti yang mengendalikan perbaikan DNA dan perkembangan siklus sel. Penelitian-penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa percepatan degradasi otot yang ditemukan pada saat lapar, sepsis, dan kanker cachexia diakibatkan oleh aktivasi sistem ubiquitin-proteasom (Mitch dan Goldberg, 1996). Sistem ini juga memegang sebuah peranan penting dalam peningkatan katabolisme otot pada beberapa kondisi penyakit manusia. Penelitian-penelitian pada pasien trauma kepala telah menguatkan adanya peningkatan aktivitas ubiquitin-proteasom pada individu-individu ini (Mansoor dkk., 1996), sehingga menunjukkan bahwa sistem ini mungkin penting dalam degradasi protein terakselerasi yang menyertai berbagai kondisi katabolik.
   
Juga ada beberapa protease yang memiliki fungsi khusus, seperti calpain yang tergantung-kalsium. Protease-protease ini bertanggungjawab untuk pemrosesan protein dalam sel sebelum protein disekresikan. Walaupun sangat penting secara fungsional, namun protease-protease ini tidak memberikan kontribusi besar bagi jumlah total protein tubuh yang terdegradasi.
   
Disamping degradasi umum dari protein-protein seluler, sistem-sistem proteolitik juga bisa memilih protein-protein individual, baik melalui faktor-faktor inaktivasi spesifik atau karena enzim-enzim lebih rentan terhadap degradasi tanpa adanya substrat atau koenzimnya. Sebagai contoh, penelitian-penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa memakan sebuah makanan dengan jumlah triptofan berlebihan dapat menyebabkan meningkatnya aktivitas triptofan deoksigenase, sebuah enzim yang terlibat dalam degradasi triptofan. Enzim ini distabilisasi oleh substratnya, sehingga kadar triptofan yang meningkat mengurangi degradasi enzim (Cihak, 1973).

REGULASI METABOLISME PROTEIN
   
Tahapan-tahapan dalam sintesis dan degradasi protein yang akan disebutkan berikut ini merupakan tempat-tempat potensial untuk regulasi. Beberapa dari proses ini dikendalikan melalui aksi mediator-mediator seperti hormon. Walaupun hormon-hormon tidak beraksi dalam isolasi, namun pemahaman tentang aksi individual dari hormon-hormon ini diperlukan untuk memahami regulasi terkoordinasi yang terlibat dalam respon-respon pembaharuan protein terhadap makanan, pertumbuhan, dan injury. Aspek-aspek regulasi ini sedang diteliti, tapi beberapa contoh tentang cara-cara pengendalian metabolisme protein akan disajikan pada bagian berikut ini.

Hormon dan Sitokin

Hormon-hormon anabolisme. Hormon pertumbuhan dan insulin keduanya dianggap sebagai hormon anabolisme karena berkurangnya kadar hormon-hormon ini yang bersirkulasi terkait dengan hilangnya protein tubuh atau berkurangnya pertumbuhan. Biasanya, konsentrasi insulin dalam darah akan meningkat pada saat makan dan berkurang pada saat lapar, yang mana terkait dengan respon siklik dari metabolisme karbohdrat, lemak, dan protein antara anabolisme dan katabolisme. Ketidakmampuan untuk memberikan respon anabolik terhadap masuknya gizi, disertai dengan berkurangnya protein tubuh, dan individu-individu yang kekurangan insulin karena diabetes akan kehilangan protein tubuh. Pengukuran-pengukuran pada model hewan menunjukkan bahwa insulin dapat menstimulasi sintesis protein, walaupun beberapa penelitian pada manusia menunjukkan bahwa hal ini memerlukan agar asam amino juga tersedia. Temuan yang paling konsisten pada penelitian manusia adalah bahwa degradasi protein dihambat oleh insulin baik pada seluruh tubuh maupun pada otot rangka (long dan Lowry, 1990).
   
Mekanisme untuk aksi akut dari insulin untuk menghambat sintesis protein terjadi pada tingkat inisiasi translasi mRNA dengan fosforilasi faktor-faktor inisiasi (misalnya eIF-2) yang sebelumnya terdapat dalam sel. Mekanisme pasti dimana insulin menghambat degradasi protein belum diketahui, tapi depresi degradasi protein, khususnya dalam hati, bisa dianggap ditimbulkan oleh konsentrasi-konsentrasi asam amino yang meningkat yang menghambat degradasi lisosomal (lee dan Marzella, 1994).
   
Hormon pertumbuhan terkait dengan regulasi pertumbuhan jangka-panjang. Kadar hormon pertumbuhan lebih tinggi pada anak-anak, khususnya selama masa-masa aktif pertumbuhan, dan anak-anak menjadi kerdil apabila tidak ada hormon pertumbuhan. Efek hormon pertumbuhan sebagiannya dimediasi oleh faktor-faktor pertumbuhan mirip insulin seperti IGF-I dan IGF-II, yang merupakan peptida-peptida yang dihasilkan oleh hati sebagai respon terhadap hormon pertumbuhan yang bersirkulasi. Produksi lokal dari hormon-hormon ini pada tempat aksinya dalam jaringan juga penting dalam meregulasi metabolisme protein. Sintesis protein otot pada orang dewasa distimulasi dengan adanya hormon pertumbuhan atau IGF, sedangkan belum ada stimulasi yang dapat diamati dari sintesis protein di seluruh tubuh. Degradasi otot juga ditingkatkan dengan hormon pertumbuhan, sebagaimana terbukti dengan peningkatan ekskresi 3-metilhistidin. Respon ini bisa sebagai konsekuensi penting dari pemodelan-ulang yang dperlukan untuk pertumbuhan otot, tapi rincian pasti tentang bagaimana hormon-hormon ini meregulasi metabolisme protein masih belum dipahami dengan baik. Akan tetapi, hormon-hormon pertumbuhan telah digunakan dalam eksperimen-eksperimen klinis untuk menstimulasi sebuah respon anabolik dalam metabolisme protein pada pasien yang menderita penyakit parah (Garlick dan Wernerman, 1997).
   
Disamping hormon pertumbuhan dan insulin, hormon kelamin laki-laki testosteron juga dapat mempromosikan sintesis protein, khsususnya pada otot. Senyawa-senyawa sintetik yang mirip testosteron, yang dikelompok sebagai steroid anabolik, juga mampu mempromosikan retensi protein tubuh. Ini telah digunakan pada produksi hewan tapi tidak rutin digunakan secara klinis.
Hormon-Hormon Katabolik. Ketiga hormon ini, kortisol, glukagon, dan epinefrin secara bersama-sama sering disebut sebagai hormon stress, karena konsentrasinya dalam plasma meningkat setelah injury atau selama infeksi. Infusi dari hormon-hormon ini secara bersama-sama menyerupai stress, yang menyebabkan hilangnya protein tubuh dan menghambat sintesis protein otot. Glukagon dapat mempromosikan glukoneogenesis dari asam-asam amino dan dari laktat. Rasio glukagon terhadap kadar insulin juga merupakan sebuah faktor penting baik pada regulasi akut (seperti setelah makan) maupun pada saat kelaparan yang lama. Pada kadar fisiologis, glukagon tidak menimbulkan efek langsung terhadap jaringan dan sintesis protein tubuh, tapi glukagon yang meningkat mengganggu kemampuan insulin untuk menghambat degradasi protein (Long dan Lowry, 1990).
   
Kortisol, dari korteks adrenal, memiliki sebuah efek katabolik yang mirip dengan efek glukagon. Disamping itu, kortisol dapat mengurangi sintesis protein dan meningkatkan degradasi protein pada otot. Sintesis beberapa protein hati akan meningkat, termasuk sintesis enzim yang terlibat dalam oksidasi asam amino, yang mempermudah konversi asam-asam amino menjadi senyawa-senyawa penghasil energi atau prekursor-prekursor glukoneogenik.
   
Beberapa penelitian telah dilakukan dengan epinefrin, tapi ditemukan bahwa pada kadar hormon sedang, metabolisme perotein tidak dipengaruhi, sedangkan pada kadar epinefrin yang lebih tinggi, degradasi protein pada seluruh tubuh dan pada otot bisa berkurang (Matthews dkk., 1990). Aksi anabolik dari epinefrin bisa membatasi kehilangan protein tubuh akibat kortisol dan glukagon yang meningkat.

Sitokin. Sitokin adalah peptida-peptida yang dihasilkan oleh sel-sel sistem imun (makrofage) sebagai respon terhadap injury atau inflamasi. Kadar sitokin bersirkulasi yang tinggi, khususnya interleukin-1ß (IL-1ß), interleukin-6 (IL-6), dan faktor nekrosis tumor-α (TNF-α), terkait dengan katabolisme protein tubuh. Aksi langsung dari sitokin-sitokin ini terhadap otot secara in vitro belum bisa dibuktikan. Akan tetapi, jika diberikan secara in vivo pada tikus-tikus yang sedang tumbuh, IL-1ß dan TNF-α dapat menstimulasi sintesis protein pada hati dan menekan sintesis protein pada otot. Degradasi protein dihambat pada hati dan distimulasi pada otot oleh TNF-α, dan efek-efek ini dipotensiasi oleh perlakuan dengan IL-1ß. Efek-efek ini terhadap sintesis dan degradasi protein otot menyerupai yang diamati pada injury atau pada inflamasi. Bukti lebih lanjut tentang keterlibatan sitokin dalam respon katabolik terhadap infeksi telah ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang memperlihatkan berkurangnya kondisi katabolik pada hewan septik yang diperlakukan dengan antibodi TNF-α dan antagonist reseptor IL-1ß (Garlick dan Wernerman, 1997).

Respon-Respon Metabolisme Protein terhadap Suplai Gizi

Respon anabolik terhadap makan. Salah satu respon anabolik yang paling penting adalah respon yang diamati setelah menelan makanan. Substrat-substrat dalam bentuk asam-asam amino dan zat-zat penghasil energi tersedia dengan masuknya gizi ke dalam tubuh. Respon-respon hormon antara lain peningkatan kadar insulin yang bersirkulasi dan berkurangnya kadar hormon katabolik seperti glukogen, laju degradasi protein berkurang di seluruh tubuh, dan laju sintesis disamping itu bisa terstimulasi. Walaupun oksidasi asam-asam amino meningkat dalam periode postprandial langsung, namun ada keseimbangan dari protein.
   
Penelitian-penelitian pada hewan menunjukkan bahwa, pada tingkat jaringan, sintesis protein dalam hati distimulasi dan degradasi protein dihambat dengan masuknya sebuah makanan. Massa protein hati meningkat, dan sintesis protein hepatik juga meningkat. Sintesis yang meningkat juga diamati untuk protein-protein seperti albumin yang terbentuk dalam hati dan kemudian diekspor ke dalam sirkulasi. Sintesis protein otot pada hewan-hewan yang sedang tumbuh bisa distimulasi secara akut dengan intake makanan, dan efek ini tergantung pada peningkatan kadar insulin yang bersirkulasi. Akan tetapi, tidak hanya timbul masalah pada saat mengekstrapolasi hasil penelitian pada hewan ke manusia, tapi seringkali ada komplikasi pada penelitian-penelitian hewan tersebut antara lain penelitian sering dilakukan pada hewan yang masih muda, hewan yang sedang berkembang, sedangkan penelitian pada manusia paling sering dilakukan pada orang dewasa. Sensitifitas terhadap efek pakan terhadap sintesis protein otot bevariasi pada tikus-tikus yang berusia berbeda, dimana respon dalam sintesis protein berkurang pada tikus-tikus dewasa, sehingga menunjukkan bahwa perbedaan kematangan dan laju pertumbuhan mereka penentu penting dalam respon terhadap makan (Garlick dkk., 1992).
   
Disamping peranan insulin dalam respon makan, penelitian-penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa konsentrasi-konsentrasi asam amino, yang meningkat setelah makan, dapat meregulasi sintesis protein melalui peningkatan aktivasi faktor pemicu. Stimulasi sintesis protein dengan asam-asam amino pada manusia secara in vivo juga telah ditunjukkan. Asam-asam amino juga bisa mengubah sensitifitas jaringan terhadap hormon, seperti insulin. Akan tetapi, peranan pasti dari insulin dan konsentrasi asam amino dalam memediasi efek-efek yang diamati pada metabolisme protein masih belum pasti.
Katabolisme Terkait dengan Puasa Singkat. Pada saat tubuh berpindah dari periode absorptif setelah makan (yang juga dikenal sebagai postprandial) ke periode pasca-absorptif sebelum konsumsi makanan berikutnya, keseimbangan protein berubah dari akumulasi bersih menjadi kehilangan bersih. Pada tingkat seluruh-tubuh, perubahan-perubahan utamanya adalah peningkatan degradasi protein. Asam-asam amino dimobilisasi dari jaringan-jaringan seperti otot dan dialihkan untuk mempertahankan sistem dalam jaringan seperti hati, serta untuk menyediakan substrat bagi glukoneogenesis, yang mempertahankan kadar glukosa darah. Perubahan-perubahan hormonal yang terkait dengan berpuasa antara lain berkurkangnya kadar insulin yang bersirkulas bersama dengan kadar glukagon yang meningkat.

Kelaparan. Jika berpuasan berlangsung lama dan simpanan glikogen tubuh dalam hati menipis, maka tubuh akan beradaptasi untuk menggunakan protein otot agar memenuhi kebanyakan dari kebutuhan akan glukosanya. Walaupun lemak tubuh dimobilisasi untuk memenuhi kebanyakan kebutuhan energi pada saat berpuasan berlangsung, mobilisasi ini hanya menghasilkan energi terbatas untuk otak dan meminjam dari jaringan glikolytik seperti sel-sel darah merah dan medulla ginjal. Otak memerlukan glukosa, karena asam-asam lemak yang dimobilisasi selama kelaparan bukanlah sebuah sumber energi bagi otak. Hanya sedikit komponen gliserol dari lemak, yang dirubah menjadi glukosa, yang bisa digunakan oleh otak. Selama kelaparan, kebutuhan otak akan glukosa dipenuhi dengan mobilisasi asam-asam amino dari protein, dengan glukoneogenesis selanjutnya oleh hati. Mobilisasi protein tubuh untuk produksi glukosa dibuktikan dengan ekskresi nitrogen pada urin yang relatif tinggi.
   
Akan tetapi, jika glukoneogensis terus meningkat, maka otot rangka akan menjadi lelah. Sebuah adaptasi pada metabolisme lemak terjadi pada kelaparan jangka-panjang, sehingga badan-badan keton (asetoasetat, beta-hidroksibutirat) akan terbentuk. Badan-badan keton bisa melintasi batas darah-otak dan memberikan energi bagi otak sehingga menghemat protein tubuh. Perubahan-perubahan ini melibatkan adaptasi-adaptasi lebih lanjut, dengan berkurangnya sintesis protein dan degradasi serta berkurangnya oksidasi asam-asam amino. Adaptasi-adaptasi ini membantu menjaga energi dan asam amino dan direfleksikan pada output nitrogen, yang berkurang sekitar 3 g nitrogen per hari pada beberapa pekan kelaparan (Cahill, 1976). Jika simpanan lemak tubuh menipis, maka protein tubuh kembali dimobilisasi untuk energi dengan cara peningkatan degradasi protein otot. Peningkatan degradasi protein tubuh yang terakhir ini tidak bisa dipertahankan lama, dan jika tidak makan, maka kematian bisa terjadi.
   
Perubahan-perubahan hormonal yang menyebabkan perubahan metabolisme protein dalam kelaparan utamanya adalah penguatan respon terhadap puasa satu malam, dengan reduksi insulin lebih lanjut dan peningkatan glukagon. Disampign itu, kadar hormon tiroid berkurang, sehingga mengurangi pengeluaran energi dasar, dan pengeluaran energi akibat turnover protein. Kadar hormon tiroid yang berkurang menyebabkan berkurangnya proteolisis melalui jalur lysosomal dan ubiquitin-protease (mitch dan Goldberg, 1996).

Malnutrisi. Kondisi kekurangan energi dan protein yang berlangsung lama memiliki banyak karakteristik yang sama seperti kelaparan. Adipat, yang mengalami kontaminasi konvensional dengan alfa-ketoglutarat untuk mentransfer gugus amino dari lysin ke gltamin dengan pembentukan alfa-ketoadipat, yang merupakan sebuah homolog alfa-ketoglutarat yang elbih tinggi, dioksidasi menjadi glutaryl CoA dan pada akhirnya menjadi asetoasetil CoA (Yannicelli dkk., 1994); tahap-tahap akhir dair katabolisme lysin ini mirip dengan yang terlibat pada tahap-tahap akhir dari katabolisme tryptofan.
   
Pembentukan dan dehidrogenasi saccharopine dikatalisis oleh protein yang sama, dan kesalahan bawaan dari metabolisme dimana aktivitas lisin-alfa-ketoglutarat reduktase dan saccharopine dehidrogenase tidak mencukupi, dapat menyebabkan hyperlysinemia dan ekskresi lusin dan sedikit saccharopine dalam urin (Divry dkk., 1991). Jalur saccharophine diregulasi oleh perubahan-perubahan aktivitas lysin-alfa-ketoglutarat reduktase/saccharopine dehidrogenase, yang meningkat pada hewan yang memakan det yang tinggi kadar lysin atau proteinnnya (protein enzim meningkat) dan pada tikus yang diperlakukan dengan glukagon (aktivitas spesifik meningkat) (Scislowski dkk., 1994).
   
Walaupun tidak cukup untuk mengkompensasi kekurangan dalam jalur saccharopine, namun jalur-jalur lain dari degradasi lysin bisa memegang sebuah peranan, khususnya pada jaringan-jaringan non-hepatik (Broquist, 1990). Gugus alfa-amino dari reaksi lysin alfa-oksidase dengan pembentukan sebuah turunan siklik, piperideine-2-karboksilat, yang direduksi menjadi bentuk pipecolate, seubah asam amino siklik. Pipecolate dioksidasi oleh pipecolate peroksidase, yang ditemukan dalam peroksisom hati, otak dan ginjal manusia (dan mungkin dalam mitokondria otak). Pipecolate terakumulasi pada individu-individu yang memiliki gangguan-gangguan peroksimal. Oksidasi pipecolate  dengan pipecolate peroksidase menghasilkan hidrogen peroksida dan piperideine-6-karboksilat, yang dihidrolisis secara spontan menjadi alfa-semialdehid, sebuah intermediet awal dari jalur saccharopine dari katabolisme lysin. Dengan demikian, kedua jalur bertemu, dan proses katabolisme lysin berlangsun dengan urutan fungsi yang sama.

Pembentukan Carnitin dari Lysin. Residu-residu gugus-gugus asam amino dari residu lysil pada berbagai protein dimetilasi menjadi residu mono-, di-, atau trimetillysil oleh sebuah N-metil-transferase yang menggunakan S-adenosylmethionin sebagai donor metil. Trimetillysin dilepaskan ketika protein-protein ini mengalami proteolysis, dan trimetyllysin ini berfungsi sebagai prekursor dari carnitin (Rebouche, 1988). Sintesis carnitin dibahas dalam Bab 23 (Gbr. 23-8). Peranan carnitine dalam transport asam-asam lemak rantai panjang ke dalam mitokondria dibahas pada Bab 13 dan 22.
Leusin, Isoleusin, dan Valin

Katabolisme Asam Amino Rantai-Bercabang. Asam-asam amino rantai-bercabang (leusin, isoleusin, dan valin) menjadi bagian penting dari diet (20% hingga 30% dari semua asam amino). Berbeda dengan asam-asam amino yang lain, asam-asam amno ini tidak dimetabolisasi secara substransial oleh usus manusia atau oleh hati, keduanya memiliki kadar aktivitas asam-amino rantai-bercabang transaminse yang rendah dan kadar kompleks asam keto rantai-bercabang dehidrogenase yang sangat rendah (Taniguchi dkk., 1996). Walaupun beberapa transaminasi asam-asam amino rantai-bercabang bisa terjadi dalam organ-organ splanchnic, namun transaminasi kemungkinan bersifat reversibel akibat pemindahan asam-asam keto  rantai-bercabang secara perlahan. Dengan demikian, konsentrasi asam-asam amino rantai-bercabang dalam jumlah berlebih yang diperlukan untuk sintesis protein dikatabolisasi dalam jaringan perifer seperti otot rangka, jantung, jaringan adipose, dan ginjal. Katabolisme dimulai dengan transaminasi asam-asam amino dengan alfa-ketoglutarat untuk membentuk asam-asam alfa-keto rantai-bercabang yang sesuai seperti ditunjukkan pada Gbr 11-28. Bentuk-bentuk mitokondria dan sitosolik dari amino-transferase rantai-bercabang  juga ada, dan bentuk mitokondria banyak pada jaringan manusia (Suryawan dkk., 1996). Kedua isoenzim ini mampu menggunakan ketiga asam keto atau amino rantai-bercabang sebagai substrat.
   
Asam-asam keto rantai-bercabang yang terbentuk sebagai hasil dari transaminasi dioksidasi melalui kompleks dehidrogeenase asam keto rantai-bercabang mitokondrial, yang mirip dengan kompleks asam keto rantai-bercabang dehidrogenase, menjadi CO2, NADH, dan CoAs asil rantai-bercabang. (Lihat Bab 20 dan 22 untuk peranan koenzim dalam katabolisme asam-asam keto rantai-bercabang). Pada tikus, banyak asam keto rantai-bercabang yang terentuk dalam otot dilepaskan ke dalam sirkulasi untuk dimetabolisasi lebih lanjut dalam hati, tapi dekarboksilasi oksidatif dari asam-asam keto rantai-bercabang pada manusia sebagian besar ditemukan dalam jaringan-jaringan perifer, dan bukan pada hati. Kompleks asam keto rantai-bercabang dehidrogenase mengalami regulasi feedback oleh rasio NADH/NAD+ dan asil CoA/CoA dan juga diregulasi melalui fosforilasi. Kondisi aktif dari kompleks asam keto rantai-bercabang dehidrogenase diregulasi oleh kondisi fosforilasi dari residu-residu seryl spesifik dari komponen E1 dari kompleks, yang pada gilirannya direglasi dengan aktivitas-aktivitas relatif dari kinase dan fosfatase spesifik (harris dkk., 1994, 1995). Kompleks ini tidak aktif pada kondisi terfosforilasi. Pada hewan, adaptasi ke diet protein yang lebih tinggi dalam hubungan dari sedikit kinase dengan kompleks asam keto rantai-bercabang dehidrogenase, yang mendukung kondisi aktif yang terdeposforilasi. Regulasi jangka-pandang dari kompleks ini dicapai dengan penghambatan asam keto-rantai bercabang dehidrogenase kinase (misalnya, alfa-ketoisocaproat), yang merupakan substrat untuk kompleks dehidrogenase rantai-bercabang.
   
Sebuah kelainan metabolisme asam amino rantai-bercabang sejak-lahir, yang disebut penyakit maple syrup urine karena bau dari urin tersebut, diakibatkan oleh gangguan sintesis asam keto rantai-bercabang dehidrogenase. Kadar asam-asam amino ranta-bercabang dan asam-asam ketonya dalam plasma dan urin meningkat. Sedikit jumlah asam alfa-hidroksi rantai-bercabang (yang terbentuk oleh reduksi asam alfa-keto) juga ditemukan pada urin pasien yang menderita kelainan ini (Parsons dkk., 1990).
   
Acyl CoA rantai-bercabang dioksidasi lebih lanjut dengan acyl COA dehidrogenase rantai-bercabang utnuk membentuk senyawa-senyawa α,β-tidak-jenuh (Taniguchi dkk., 1996). Katabolisme valin dan isoleusin kemudian berlanjut melalui beberapa tahapan untuk menghasilkan propionil CoA dari valin dan propionyl CoA dan asetil CoA dari isoleusin. Pelepasan β-hidroksibutirat dari otot dan jantung telah diamati pada hewan; katabolit valin ini bisa dirubah menjadi glukosa dalam hati atau ginjal. Acyl CoA rantai-bercabang terbentuk dari leusin, isovaleryl CoA, dikatabolisasi  untuk menghasilkan β-hidroksi-β-metilglutaril CoA (HMG CoA). Sebuah tahap karboksilasi yang tergantung biotin  diperlukan untuk konversi β-metilcrotonyl CoA menjadi β-metilglutaconyl CoA sebelum pembentukan HMG CoA dalam jalur katabolik leusin. HMG CoA bisa dikatabolisasilebih lanjut untuk menghasilkan asetoasetat dan asetil CoA. Seperti yang dibahas sebelumnya, banyak dari nitrogen asam amino rantai-bercabang yang dilakukan pada otot sebagai alanin dan glutamin (Darmaun dan Dechelotte, 1991). Kelainan-kelainan metabolisme asam amino rantai-bercabang yang mempengaruhi beberapa dari tahap perantara ini telah diidentifikasi pada pasien manusia (Gibson dkk., 1994).

EKSKRESI NITROGEN
   
Produk akhir utama dari katabolisme asam amino pada manusia adalah CO2, H2O, dan urea, dengan sedikit amonia. Karena energi diperlukan untuk sintesis urea dan urea memiliki panas pembakaran 151,6 kcal/mol, maka bahan-bakar fisiologis bersih yang diperoleh mamalia dari protein makanan lebih kecil yang diprediksikan berdasarkan oksidasi protein lengkap. Pada orang dewasa dalam keseimbangan nitrogen, ekskresi nitrogen sebagai urea mendekati intake nitrogen harian dari protein. Urine juga mengandung sedikit produk akhir mengandung-nitrogen yang terbentuk dari katabolisme asam-asma amino atau dari senyawa-senyawa non-protein yang terbentuk dari asam-asam amino (Tabel 11-2). Walaupun kebanyakan kehilangan nitrogen tubuh terjadi melalui urin, namun nitrogen juga hilang melalui feces (termasuk kehilangan sisa/bekas dari penceranaan makanan dan protein endogenous dalam saluran gastrointestinal dan senyawa bernitrogen endogenous yang diekskresikan oleh hati dalam kantung empedu) dan melalui hilangnya protein dan senyawa-senyawa bernitrogen lainnya dalam rambut, kuku,

Penggabungan Nitrogen Dengan Urea Melalui Siklus Urea  di dalam Hati

Siklus urea pertama kali ditemukan oleh Krebs dan Henseleit pada tahun 1932, yang didasarkan pada percobaan dimana mereka menemukan bahwa ornitin menstimulasi sintesis urea dalam hati tikus tanpa melibatkan ornitin itu sendiri dalam proses. Pada mamalia, sebuah siklus urea yang komplit hanya terjadi di dalam hati, tempat sintesis urea yang paling besar. (Beberapa enzim dalam siklus urea ditampakkan pada intestin, ginjal, dan jaringan-jaringan lainnya, dimana mereka berperan dalam sistesis citrulin, arginin, dan ornitin, sebagaimana yang dijelaskan pada bagian awal bab ini). Siklus urea ditunjukkan pada gambar 11-10 dan 11-17. Prosesnya dimulai dengan fiksasi amonia dan karbondioksida menjadi carbamoylfosfat dengan bantuan enzim carbamoyl fosfat sintetase I yang ada dalam mitokondria. Carbamoyl fosfat kemudian bergabubg dengan ornithin untuk membentuk citrullin yang keluar dari mitokondria pada saat terjadi pertukaran ornithin (Indeveri dkk., 1992). Pada sitosol, argininosuccinate sintetase dan  argininosuccinate lyase secara efektif menambahkan nitrogen lainnya, mulai dari aspartat sampai citrulin untuk memproduksi arginin. Kemudian arginin dihidrolisis oleh arginase yang melepaskan urea dan ornitin; ornitin masuk kembali ke dalam mitokondria untuk memulai lagi siklus.

Siklus urea mengalami regulasi jangka panjang dan pendek. Tahap pertama, dikatalisis oleh  carbamoyl fosfat sintetase I, yang mengalami aktivasi oleh N-acetylglutamate. Sebuah perubahan yang relatif kecil pada aktivitas carbamoyl fosfat sintetase I dapat mengakibatkan perubahan yang besar pada siklus urea yang terjaid secara terus-menerus. Tahap pertama pada siklus urea juga diregulasi oleh adanya substrat; tingkat penyerapan asam amino yang tinggi dan katabolisme yang tinggi pada hati menyebabkan meningktnya kadar N-acetylglutamate dan amonia. Dengan peningkatan  carbamoyl fosfat sintetase, aliran pada daerah yang tidak mengalami siklus urea juga meningkat karena semua enzim berikutnya memiliki nilai Km yang dibawah atau mendekati konsentrasi fisiologis dari substrat-substratnya.

Regulasi jangka panjang disebabkan oleh perubahan adaptif pada jumlah enzim-enzim siklus urea. Kondisi-kondisi yang menghasilkan laju sintesis urea tinggi (diet berprotein-tinggi, kondisi hyperkatabolik) disertai dengan peningkatan aktivitas dari semua enzim siklus urea, sedangkan kondisi-kondisi yang menghasilkan laju sintesis urea reandah (diet berprotein-rendah) menyebabkan berkurangnya aktivitas enzim siklus urea. Walaupun enzim-enzim siklus urea nampaknya diregulasi secara terkoordinir, mekanisme-mekanisme ini terlibat dalam regulasi perubahan enzim yang berbeda. Regulasi terjadi baik oleh perubahan-perubahan pada jumlah degradasi protein maupun oleh perubahan jumlah sintesis enzim, yang berubah pada sintesis protein utamanya diakibatkan oleh perubahan jumlah genetranskripsi (Takiguchi dan Mori, 1995).
Pada keadaan postabsorbsi, sumber nitrogen extrahepatic yang pokok yang digunakan untuk ureagenesis adalah glutamin dan alanin yang dilepaskan oleh otot dan amonia dari darah portal. Glutamin dalam jumlah yang besar diserap oleh usus, dan glutamin nitrogen dilepaskan kembali ke dalam darah portal dalam bentuk citrulin, alanin, prolin, dan amonia. Amonia yang dibawa oleh darah portal utamanya berasal dari katabolisme glutamin ini yang terjadi pada sel-sel usus kecil (enterosit) dan dari pembentukan urea oleh metabolisme bakteri pada lumen usus besar; diperkirakan bahwa sekitar 25% urea yang disintesis oleh hati, selama satu hari penuh diurai kembali menjadi amonia pada usus besar dan dikembalikan ke hati dalam bentuk amonia untuk digabungkan kembali menjadi urea. Alanin dan amonia secara siap dipindahkan oleh hati. Pada waktu makan, sebagian besar asam amino yang sampai ke hati dapat berperan sebagai prekursor untuk ureagenesis.  Untuk setiap molekul urea, satu atom nitrogen diambil dari amonia melalui reaksi carbamoyl fosfat sintetase I; atom nitrogen kedua diberikan untuk siklus urea dari α-amino nitrogen aspartat, dengan ikatan karbon aspartat yang dilepaskan dalam bentuk fumarat. Sumber amonia hepatic langsung yang disalurkan ke dalam siklus urea telah diperkirakan mencakup amonia dari darah portal (33%), deamidasi glutamin (6% sampai 13%), melepaskan α-amino nitrogen dari glutamat melalui reaksi yang dikatalisasi oleh glutamate dehydrogenase, dengan kelompok amino dari berbagai macam asam-asam amino yang ditransfer ke glutamat melalui transmisi (20%) dan katabolisme langsung dari asam-asam amino tertentu seperti glisin untuk melepaskan asam amino (33% sampai 44%) (Meijer dkk.., 1990). Berbagai macam asam amino, khususnya alanin dapat memberikan kontribusi gugs-gugus amino kepada aspartat (melalui aktivitas-aktivitas alanin amino transferase atau yang lainnya dan aspartat amino transferase), dimana glutamat menjadi donor langsung gugus amino terhadap oksaloasetat untuk membentuk aspartat. Gugus α-amino ini disalurkan ke dalam siklus urea untuk menyediakan atom nitrogen kedua untuk sintesis urea.
Ekskresi Amonia oleh Ginjal
   
Ekskresi amonia biasanya rendah, karena sebagian besar amonia bergabung menjadi urea. Akan tetapi, pada metabolik asidosis, (yang dihasilkan dari ketosis diabetes, asidosis laktat, atau katabolisme kelebihan protein) output amonia pada urinari ditingkatkan. Produksi dan ekskresi asam kuat (seperti asam asetoasetat, asam β-hidroxybutirat, asam laktat, dan asam sulfurat) membutuhkan ko-ekskresi berupa kation. Ekskresi amonium (NH4+) dalam bentuk kation memungkinkan tubuh untuk mengkonversi kation-kation seperti Na+, K+, Ca2+ ; memfasilitasi ekskresi H+ yang berlebihan; dan memiliki efek jaring dalam menghemat ion bikarbonat, dan berfungsi sebagai buffer yang penting. Amonia yang diekskresikan oleh ginjal yang utamanya dihasilkan dalam ginjal melalui proses deamidasi dari glutamin oleh glutaminase, yang diikuti dengan deaminasi glutamat oleh glutamat dehidrogenase. Proses ekskresi amonium yang ditingkatkan oleh asidosis juga difasilitasi oleh jaring glutamin yang diproduksi oleh hati dan meningkatkan pengeluaran glutamin dari otot rangka selama asidosis. Sebuah proporsi yang kecil dari ammoniagenesis dalam ginjal disempurnakan oleh metabolisme glykin.
Produk akhir yang mengandung nitrogen dari katabolisme purin dan pirimidin

Purin memiliki jumlah yang relatif besar dalam tubuh karena purin berada dalam asam-asam nukleat dan dalam bentuk nukleotida-nikleotida adenin dan guanin yang bebas (ATP, ADP, AMP, GTP, NAD, FAD, dsb). Degradasi purin lebih menghasilkan bentuk asam urat daripada urea. Degradasi purin melibatkan deaminasi dari AMP atau adenosin untuk melepaskan amonia dan bentuk inosin. Inosin dan guanosin mengalami phosforilisis oleh purin nukleosid phosforilase untuk menghasilkan hypoxantin (dari inosin) dan guanin (dari guanosin). Guanin didiaminasi untuk menghasilkan xantin, dan hypoxantin dioksidasi menjadi xantin. Akhirnya, xantin dikonversi menjadi asam urat oleh xantin oxidase. Oleh karena itu, baik amonia maupun asam urat dihasilkan dari katabolisme purin. Asam urat tidak begitu larut dalam air, dan endapan dari urat dalam persendian menyebabkan encok. Encok biasanya diobati dengan obat allopurinol, yang menghambat oksidasi xantin menjadi asam urat dan pada ekskresi dihasilkan metabolit-metabolit yang larut air (hypoxantin, xantin, dan guanin).

Degradasi dari pirimidin-pirimidin mengakibatan pelepasan asam-asam  β-amino dan amonia. Cytidin monofosfat (CMP) kehilangan amonia pada degradasinya dan menjadi uridine monofosfat (UMP) atau uridin. Degradasi basa pirimidin, urasil mengakibatkan pelepasan amonia dan pembentukan β-alanin. Degradasi basa dTMP, thymin, mengakibatkan pelepasan amonia dan pembentukan β-aminoisobutyrat. Asam-asam β-amino dapat disekresikan melalui urin, walaupun selanjutnya terjadi metabolisme, dan nitrogen yang berasal dari degradasi pirimidin dianggap dapat disekresikan dalam jumlah yang besar sebagai urea. β-Aminoisobutyrat merupakan produk spesifik dari katabolisme thymin, dan kadar dari β-Aminoisobutyrat pada urin meningkat pada penderita kanker yang menjalani kemoterapi atau terapi radiasi disebabkan karena meningkatnya jumlah sel yang mati dan degradasi DNA.  β-Alanin ditemukan pada urin, tapi alanin tersebut bukanlah produk spesifik dari metabolisme pirimidin karena alanin tersebut juga dibentuk dari asam pantotenat, carnosin, dan peptida-peptida lainnya. Dibandingkan dengan degradasi purin, degradasi pirimidin memberikan kontribusi yang lebih kecil terhadap nitrogen urinari karena kejadian pirimidin yang lebih terbatas dalam tubuh (utamanya pada asam-asam nukleat).

Ekskresi Kreatinin

Kreatin fosfat berada dalam sel-sel otot pada konsentrasi yang lebih tinggi sekitar 25 mmol/kg. Baik kreatin maupun kreatin fosfat mengalami kehilangan air yang terjadi secara spontan dan mengalami siklus menjadi kreatinin, dan kreatinin ini diekskresikan oleh tubuh melaui urin. Sekitar 1.7% (~12 mmol) dari total kreatin dalam tubuh digantikan setiap hari melaui sintesis dari glisin, arginin, dan  S-adenosylmetionin. Laju pembentukan kreatinin menggambarkan jumlah dari kreatin / kreatin fosfat yang ada dalam massa otot dan konstan secara relatif dari hari ke hari pada orang dewasa yang tidak kehilangan atau bertambah massa ototnya. Dengan adanya hubungan ini, ekskresi kreatinin (pada orang yang diet bebas kreatin) telah digunakan untuk memperkirakan sempurnanya pengumpulan urin dalam 24 jam, sebagai sebuah dasar untuk konsentrasi urinari yang normal dari berbagai macam metabolit dan untuk memperkirakan berat badan kering dari seseorang. Karena tubulus ginjal tidak mereabsobsi kreatinin, ekskresi kreatinin juga dapat digunakan untuk menghitung volume dari palsma yang disaring oleh ginjal, yang digunakan sebagai sebuah ukuran untuk pembersihan dan fungsi ginjal.
Reabsorpsi Asam-Asam Amino dari Filtrat Ginjal
   
Asam-asam amino direabsorpsi secara efektif dari filtrat ginjal, dan hanya sedikit yang keluar bersama urin. Beberapa miligram nitrogen per hari ditemukan melalui ekskresi turunan-turunan asam-asam amino seperti N3-metil-histidin dan hidroksiprolin. Jumlah yang sangat sedikit dari berbagai varietas senyawa lain juga merupakan konstituen normal dari urin. Ini mencakup jumlah runut dari albumin dan protein-protein lain, δ-aminolevulinat, porfobilinogen, metabolit-metabolit triptofan, dan katabolit-katabolit catecholamin. Semua ini, asam amino, protein dan berbagai metabolit bernitrogen membentuk sekitar 0,3 sampai 1,0 g nitrogen urin per hari.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...