Thursday, February 4, 2010

Evolusi dan Genetika Populasi Molekuler

Selama bertahun-tahun, para ahli biokimia dan ahli biologi molekuler telah menganggap kajian evolusioner sebagai spekulasi liar, asumsi-asumsi yang tidak beralasan, dan metdologi yang tidak disiplin. Meskipun anggapan ini tidak akurat, diperkenalkannya metode-metode molekuler tidak diragukan lagi telah mengubah evolusi menjadi sebuah sains “keras” dimana parameter-parameter yang relevan bisa diukur, dihitung, atau diolah dari data empiris, dan teori-teori bisa diuji terhadap realitas. Dugaan-dugaan dalam kajian-kajian evolusioner saat ini memiliki tujuan yang sama seperti dalam ilmu fisika: kajian-kajian ini bersifat hipotesis kuantitatif untuk mendukung penelitian eksperimental sehingga teori bisa diverifikasi, disaring, atau disangkal... kajian-kajian evolusioner telah mencapai apa yang disebutkan oleh sir William Herschel di tahun 1831 sebagai tujuan sebenarnya dari semua ilmu alam: yaitu merangkai komponen dasar “dengan jelas dan umum, tetapi dengan ketepatan yang mungkin dalam tempat, bobot, dan ukuran.”
Wen-Hsiung Li dan Dan Graur (1991)


Teori-teori utama tentang evolusi molekuler – model netral Kimura, model Ohta, dan model seleksi episodik dan penyeimbang Gillespie – masing-masing konsisten dengan sekurang-kurangnya beberapa aspek dari data allozim dan DNA. Akan tetapi, tak satupun dari model ini bisa bisa mewakili semua pengamatan empiris yang ada. Pemahaman tentang bukti akan memerlukan sebuah teori komprehensif yang menekanan tekanan kuat dan lemah yang bekerja secara simultan di bawah hambatan-hambatan ikatan genetik dan ukuran populasi. Martin Kreitman dan Hiroshi Akashi (1995)

Variasi-variasi genetika molekuler, seperti variasi alel dan variasi rantai nukleotida, menjadi penjelasan dasar bagi variasi genetik yang terdapat pada sebuah organisme. Hal-hal yang mempengaruhi jumlah dan pola variasi molekuler – seleksi, perkawinan, penyimpangan genetik, aliran gen, mutasi, dan rekombinasi – sama dengan yang mempengaruhi variasi genetika lainnya, walaupun pengaruhnya mungkin berbeda. Olehnya itu dalam buku ini kita menggunakan contoh-contoh varian molekuler untuk mengilustrasikan imbas dari faktor-faktor ini terhadap variasi genetik. Karena adanya perkembangan dalam bidang genetika molekuler selama sepuluh tahun terakhir, khususnya dalam penentuan rantai nukleotida, maka banyak informasi yang bisa diperoleh, dan tentu lebih banyak lagi di masa mendatang. Analisis data ini dari perspektif evolusioner telah menyebabkan berkembangnya bidang filogenetik molekuler dengan pesat, yang fokus utamanya adalah rekonstruksi hubungan-hubungan evolusioner untuk gen dan spesies. Disini kita akan membahas pengantar, tetapi untuk informasi yang lebih rinci, Li (1997) dan Nei dan Kumar (2000) telah memberikan pembahasan yang lebih lengkap. Fokus utama dari penelitian evolusi molekuler adalah evolusi genom. Kami tidak akan membahas aspek penting dari evolusi molekuler ini, tetapi kami menganjurkan pembahasan rinci yang diberikan oleh Li (1997) tentang duplikasi gen, famili multigen, evolusi dengan transposisi, organisasi genom, dan topik-topik terkait.
   
Tolak-ukur ril yang utama untuk besarnya variasi molekuler dalam populasi diberikan oleh survei-survei allozim yang dilakukan oleh Harris (1966) pada manusia dan Lewontin dan Hubby (1966) pada P. pseudovscura, keduanya menemukan variasi genetik yang besar. Pada tahun 1970an dan 1980an, ratusan penelitian menyusul, yang mendokumentasikan jumlah variasi allozim pada berbagai organisme. Tingginya jumlah variasi genetik yang ditemukan tidak konsisten dengan pandangan klasik tentang variasi genetik, yang memprediksikan bahwa hanya  sedikit gen yang bisa bervariasi. Untuk menjelaskan besarnya variasi genetik ini, Kimura (1968) mengembangkan teori kenetralan (neutrality), dimana variasi genetik dianggap sebagian besar dipengaruhi oleh variasi yang ditimbulkan mutasi dan penyimpangan genetik yang menghilangkannya, dan tidak ada seleksi banding. Teori yang elegan ini telah menjadi sentral dalam memahami evolusi molekuler dan telah memberikan hipotesis null untuk meneliti jumlah dan pola variasi genetika molekuler. Dalam bab ini, kita akan meninjau prediksi-prediksi teori kenetralan (neutrality), uji-uji seleksi untuk data molekuler, diagram-diagram pohon filogenetik, dan analisis paternitas (kebapakan) dan identitas individual.

I. KENETRALAN DAN PREDIKSI TENTANG VARIASI MOLEKULER
   
Ditemukannya banyak variasi genetik untuk loci yang menentukan jenis protein telah menimbulkan silang pendapat mengenai faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap variasi ini. Pendapat terdahulu bisa dikelompokkan menjadi dua pendapat utama yaitu: teori yang menyatakan bahwa kebanyakan varian dipertahankan oleh beberapa bentuk seleksi penyeimbang, dan kenetralan, yang menyatakan bahwa kebanyakan varian molekuler tersebut cocok sau sama lain. Pada dua dekade berikutnya, telah menjadi jelas bahwa pengamatan-pengamatan ini pada umumnya sejalan dengan prediksi-prediksi dari teori kenetralan, yang menunjukkan bahwa seleksi alam yang luas tidak mungkin terjadi. Tetapi sebelum kita membahas teori kenetralan, mari kita merangkum pembahasan seputar seleksi penyeimbang dan pertahanan variasi molekuler.

a. Seleksi penyeimbang
   
Ketika Lewontin dan Hubby (1966) menemukan banyak variasi genetik dalam populasi, mereka berpendapat bahwa variasi ini kemungkinan disebabkan oleh seleksi penyeimbang, sebuah pandangan yang mencerminkan gagasan-gagasan Dobzhnasky (1995). Seleksi penyeimbang bisa memiliki banyak bentuk, dan karena penemuan variasi molekuler, hampir semua bentuk seleksi ini telah dianggap oleh beberapa peneliti sebagai faktor yang memberikan kontribusi bagi terjaganya varian molekuler lewat seleksi. Kita membahas di Bab 3 dan 4 tentang beberapa model seleksi yang bisa menghasilkan terjaganya variasi genetik dan bisa mempengaruhi jumlah variasi molekuler, semuanya bisa disebut sebagai bentuk-bentuk dari seleksi penyeimbang. Penjelasan paling sederhana untuk proses dari berbagai variasi molekuler adalah bahwa varian dipertahankan oleh adanya manfaat heterozigot pada masing-masing loci polimorfis. Akan tetapi, Lewontin dan Hubby (1966) menunjukkan bahwa model manfaat heterozigot dengan kesesuaian multifkatif terhadap loci mengarah pada rendahnya tingkat kecocokan bagi kebanyakan populasi, yang menunjukkan bahwa model yang sederhana seperti ini bukanlah sebuah hipotesis yang layak.
   
Untuk menguji argumen ini, mari kita mengasumsikan bahwa kecocokan rata-rata pada kondisi kesetimbangan untuk lokus bialel ke-i dengan manfaat heterozigot adalah

wi = 1 – s1p2 – s2q2

dimana s1 dan s2 adalah kerugian selektif dari kedua homozigot. Jika ada ketidaktergantungan terhadap sebuah skala multiplikatif, dan jika ada sebanyak m loci ini, maka kecocokan rata-rata dari semua loci menjadi
w = wim

masing-masing wi kurang dari satu, sehingga jika jumlah loci ini lebih besar, maka produk kecocokan dari loci masing-masing dengan cepat mendekati nol. Sebagai contoh, jika s1 = s2 = s, menghasilkan sebuah kesetimbangan pc = qc = 0,5 dan wi = 1 -1/2s, maka persamaan 9.1 menjadi

w = (1 - (1/2)s)m

Jika ada 100 loci ini dan s = 0,02, maka w akan menjadi sekitar 0,00004, kecocokan yang sangat rendah. Dengan mengasumsikan bahwa seleksi terjadi semasa pra-dewasa, maka nilai kecocokan ini menunjukkan bahwa hanya 1 dari 25.000 zigot yang akan bertahan sampai dewasa.
   
Setelah Lewontin dan Hubby mempublikasikan kesimpulan-kesimpulan ini, King (1967), Sved dkk., (1967), dan Milkman (1967) secara serempak menyarankan bahwa alternatif-alternatif dengan epistasis (dan bentuk-bentuk seleksi dari kecil ke besar) mungkin bisa menjadi penting. Dengan kata lain, kecocokan pada loci yang berbeda tidak bisa bergabung secara multiplikatif, sebuah situasi yang didefinisikan sebagai epistasis dalam konteks seleksi kelangsungan hidup. Dengan model ini, kecocokan populasi yang sangat rendah untuk berbagai individu homozigot bisa dihindari.
   
Tentu saja, pertimbangan-pertimbangan ini adalah untuk loci bialel, dan banyak loci yang memiliki lebih dari dua alel. Seperti yang kita lihat di halaman 123, kondisi-kondisi untuk mempertahankan lebih dari dua alel melalui manfaat heterozigot memerlukan agar nilai-nilai kecocokan relatif sedikit seimbang. Pada kenyataannya, Lewontin dkk. (1978) menunjukkan bahwa hanya sedikit nilai kecocokan yang diperoleh secara acak dengan banyak alel yang memenuhi kondisi-kondisi untuk penjagaan semua alel. Sebagai contoh, bahkan dengan sederet “heterosis lengkap”, dimana semua heterozigot harus lebih cocok dibanding semua homozigot, hanya 10% dari kecocokan yang dapat memberikan pertahanan jika ada lima alel. Spencer dan Marks (1988, 1991) menggunakan sebuah pendekatan yang secara berurutan memasukkan alel-alel mutan ke dalam sederet alel yang stabil dan menemukan bahwa jumlah alel yang bisa dipertahankan sedikit lebih tinggi dari yang ditemukan oleh Lewontin dkk, tetapi distribusi alel-alel ini pada kebanyakan kasus tidak berbeda dari yang diharapkan pada kondisi kenetralan.
   
Asumsi lain dalam perhitungan nilai kecocokan oleh Lewontin dan Hubby (1966) adalah bahwa alel pada masing-masing lokus tidak tergantung satu sama lain; sehingga tidak ada ketidaksetimbangan gamet. Akan teapi, seperti yang telah ditunjukkan oleh Franklin dan Lewontin, ketika loci yang terkait memiliki manfaat heterozigot, maka hubungan kuat antara alel-alel bisa terjadi bahkan tanpa epistasis. Hubungan-hubungan ini pada kondisi ekstrim bisa mengarah pada situasi dimana hanya dua tipe gamet pelengkap yang memiliki frekuensi tinggi. Akibatnya, jika terdapat perbandingan Hardy-Weinberg dari kedua gamet multilokus ini, maka setengah dari populasi akan menjadi heterozigot pada semua loci dan memiliki kecocokan relatif yang tinggi. Bahkan dengan beberapa penguraian menjadi beberapa gamet multilokus komplementer, hubungan-hubungan ini masih bisa mempertahankan kecocokan yang tinggi.
   
Beberapa tipe seleksi penyeimbang lainnya selain manfaat heterozigot telah diusulkan memiliki potensi yang cukup tinggi dalam mempertahankan variasi molekuler. Sebagai contoh, seleksi yang tergantung-frekuensi diusulkan sebagai sebuah mekanisme yang bertanggungjawab untuk mempertahankan varian-varian allozim (Kojima, 1971). Salah satu daya tarik dari metode ini adalah bahwa semua genotip bis memiliki kecocokan yang relatif sama pada kondisi kesetimbangan – yaitu, tidak ada muatan genetik. Mungkin hipotesis seleksi-penyeimbang yang paling didukung adalah hipotesis yang menyatakan bahwa seleksi yang berbeda-beda dalam waktu dan/atau ruang bertanggungjawab untuk mempertahankan varian-varian allozim (Gilliespie, 1978; 1991). Pada situasi ini, kondisi-kondisi teoritis untuk polimorfisme lebih luas dibanding untuk manfaat heterozigot, dan jika aliran gen atau seleksi habitat terbatas, maka kedua kondisi menjadi kurang terbatas. Akan tetapi, pada model ini dan lainnya, ketika efek-efek selektif per lokus cukup kecil, penjagaan polimorfismen menjadi lebih sulit.
   
Beberapa pendekatan eksperimental telah digunakan untuk meneliti sejauh mana peranan seleksi dalam mempertahankan variasi genetik, khususnya variasi allozim. Sebagai contoh, salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah pemeriksaan produk-produk gen (allozim) untuk sifat-sifat biokimia tertentu yang mungkin konsisten dengan seleksi penyeimbang. Pada penelitian-penelitian ini, ekstrak-ekstrak allozim pada umumnya diukur aktivitas in vitro nya dibawah kondisi-kondisi lingkungan yang berbeda seperti suhu, salinitas, konsentrasi substrat, dan sebagainya (Eanes, 1999). Pada kenyataannya, banyak allozim yang berbeda pada sifat-sifat kimianya secara in vitro, tetapi pentingnya perbedaan ini dalam seleksi pada populasi alam seringkali tetap tidak jelas.
   
Salah satu pendapat yang diajukan adalah bahwa akan sulit untuk mendeteksi perbedaan-perbedaan selektif pada satu lokus dan seleksi tersebut hanya akan jelas jika beberapa loci diperiksa secara simultan. Lerner (1954) telah menyarankan bahwa seleksi alam mendukung individu-individu yang meningkat heterozigositasnya; semakin banyak loci heterozigot, semakin inggi kecocokan relatif. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk meneliti hubungan antara heterozigot dan kecocokan ini, dan David (1997) baru-baru ini meyimpulkan bahwa korelasi diantara keduanya tidak kuat. Untuk meneliti hubungan ini secara langsung, Mukai (1977) melakukan sebuah eksperimen skala besar yang mengukur kelangsungan hidup dan kesuburan spesies betina dalam sebuah populasi lalat buah D. melanogaster dimana lalat-lalat bersifat heterozigot untuk beberapa loci allozim. Dia tidak menemukan perbedaan signifikan baik pada kelangsungan hidup maupun pada kesuburan untuk kromosom kedua yang heterozigot untuk jumlah loci allozim yang berbeda, bahkan dengan kekuatan statistik untuk mendeteksi perbedaan-perbedaan yang hanya beberapa persen (Tabel 9.1).
   
Walaupun temuan variasi molekuler yang cukup besar mendorong dilakukannya banyak penelitian tentang analisis teoritis dari seleksi penyeimbang dan pemeriksaan seleksi secara eksperimental, secara keseluruhan tampak bahwa faktor-faktor selain seleksi penyeimbang paling penting dalam mempengaruhi dan mempertahankan variasi molekuler. Akibatnya, dalam mengembangkan konsep di sisa bab ini, kami pada umumnya berasumsi bahwa faktor-faktor yang menjadi dasar bagi teori netralitas (yaitu penyimpangan genetik dan mutasi) memegang peranan besar dalam mempengaruhi jumlah dan pola variasi genetik molekuler. Akan tetapi, selanjutnya dalam bab ini, kita akan membahas beberapa pendekatan statistik dan teoritis yang telah digunakan untuk mendokumentasikan sejauh mana peran seleksi dalam variasi molekuler.

b. Teori Kenetralan (Neutrality)
   
Teori kenetralan diperkenalkan oleh Kimura (1968) untuk menjelaskan variasi genetik molekuler, berdasar sebuah teori yang dikembangkan 10 tahun sebelumnya, yang merevolusi genetika populasi. Berbeda dengan kebanyakan pemikiran yang ada saat ini, Kimura berpendapat bahwa seleksi memegang peranan kecil dalam menentukan penjagaan varian molekuler dan mengusulkan bahwa genotip-genotip molekuler yang berbeda memiliki kecocokan relatif yang hampir identik; yaitu, netral satu sama lain. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa bentuk-bentuk alel yang berbeda tidak memiliki fungsi, tetapi justru, berarti bahwa bentuk-bentuk ini sama dari segi fungsi. Kimura berasumsi bahwa mayoritas varian molekuler yang menjadi polimofris dipengaruhi sebagian besar oleh interaksi mutasi, yang menghasilkan variasi baru, dan penyimpangan genetik, sehingga mengarah pada tetapnya varian-varian ini.
   
Definisi sesungguhnya dari kenetralan selektif tergantung pada apakah perubahan frekuensi alel sebagian besar ditentukan oleh penyimpangan genetik atau tidak. Dalam sebuah contoh sederhana, jika s adalah perbedaan selektif antara dua alel pada sebuah lokus, dan jika s < 1/(2N), maka alel dikatakan netral satu sama lain. Definisi ini menunjukkan bahwa varian-varian alel bisa menjadi netral secara efektif dalam sebuah populasi kecil dan tidak pada sebuah populasi besar. Teori kenetralan tidak mengklaim bahwa substitusi alel yang bertanggungjawab untuk sifat adaptasi revolusioner adalah netral. Tetapi justru mengatakan bahwa kebanyakan substitusi alel tidak memiliki manfatt selektif atas yang tergantikan, sehingga istilah evolusi non-Darwin terkadang digunakan untuk menjelaskan proses ini. Harus diperhatikan bahwa banyak mutasi-mutasi baru yang tidak pernah menjadi polimorfis karena dihilangkan dengan cepat dari populasi sebagai akibat dari efeknya yang berbahaya jika berkombinasi dengan penyimpangan genetik.
   
Seperti yang telah dibahas, ketika mutasi dan penyimpangan genetik merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi variasi genetik (tidak ada perbedaan seleksi diantara genotip), maka heterozigositas keseimbangan dalam populasi untuk model alel terbatas bisa dinyatakan sebagai berikut:

Hc = (4Ncu)/4Ncu+1 =  θ/( θ+1)

dimana θ = 4Neu (Kimura dan Crow, 1964). Karena terbentuknya mutan-mutan baru pada umumnya lambat dan ukuran populasi pada kebanyakan spesies relatif besar, sehingga membuat efek penyimpangan genetik menjadi kecil, maka dibutuhkan waktu yang lama untuk terbentuknya heterozigositas kesetimbangan ini. Tentu saja, ukuran populasi yang kecil di masa lalu akan mengurangi heterozigositas sampai di bawah kesetimbangan yang diharapkan dari sebuah ukuran populasi besar yang kontemporer.
   
Teori ini memprediksikan bahwa pada saat nilai 4Neu meningkat, jumlah heterozigositas juga meningkat, seperti ditunjukkan pada Gambar 8.9. Dengan demikian, kenetralan memprediksi bahwa peningkatan ukuran populasi efektif atau tingkat mutasi menghasilkan penignkatan heterozigositas. Survei-survei terbaru terhadap loci mikrosatelit, yang memiliki tingkat mutasi lebih tinggi dibanding allozim, menunjukkan bahwa mereka juga memiliki heterozigositas yang tinggi, sebuah pengamatan yang sejalan dengan prediksi-prediksi dari teori kenetralan. Pada hasil lain yang sejalan dengan prediksi ini, Nei dan Graur (1984) menemukan hubungan positif antara heterozigositas allozim dengan perkiraan umum ukuran populasi pada berbagai spesies. Akan tetapi, dalam hal ini, tingkat maksimum dari heterozigositas yang diamati lebih kecil dari 0,25, jauh di bawah nilai yang diprediksikan, karena ukuran populasi efektif dari spesies yang berbeda berkisar lebih dari lima tingkatan besarnya. Sebuah uji yang lebih spesifik tentang pengaruh ukurna populasi terhadap heterozigositas dilakukan dengan membandingkan variasi genetik dalam sebuah spesies untuk loci autosomal, loci yang terkait-Y, dan loci yang terkait-X. Dengan mengasumsikan bahwa tingkat mutasi sama untuk loci yang berbeda, ukuran populasi efektif yang lebih rendah utnuk loci yang terkait-X dan terkait-Y akan memberikan prediksi bahwa loci yang terkait-Y dan terkait-X akan memiliki heterozigositas yang lebih rendah dari loci autosomal. Nachman dkk., (1998) merangkum data manusia yang ada dan menemukan bahwa setelah membakukan data-data ini, nilai-nilai pada tipe perbedaan loci umumnya sesuai (Tabel 9.2). Akan tetapi, terdapat banyak variasi dalam data untuk tujuh intron yang terkait-X, yang dikorelasikan dengan jumlah rekombinasi dalam daerah tersebut. Contoh 9.1 memeriksa heterozigositas untuk berbagai loci mikrosatelit autosomal dan yang terkait-X pada manusia dan menunjukkan bahwa variasi ini sejalan dengan prediksi-prediksi kenetralan.
Contoh 9.1

Untuk gen-gen yang berkembang secara netral, jumlah variasi genetik pada kesetimbangan diduga sebagai fungsi lju mutasi dan ukuran populasi efektif. Seperti yang dibahas di halaman 247, ukuran populasi efektif untuk sebuah gen yang terkait-X atau sebuh gen dalam sebuah organisme haplo-diplo diduga sebesar ¾ dari ukuran populasi untuk gen ekivalen pada organisme diploid atau pata lous autosomal. Perbandingan-perbandingan antara organisme diploid dan haplo-diploid juga bisa mencakup perbedaan-perbedaan lain antara spesies (Hendrick dan Parker, 1997), tetapi perbandingan antara gen-gen autosomal dan yang terkait-X dalam organisme sama akan menghindari perbauran dengan faktor-faktor lain yang tidak diketahui.
   
Dib dkk (1996) memberikan heterozigositas untuk 5264 loci mikrosatelit pada manusia yang bisa digunakan sebagai penanda dalam genom manusia. Gambar 9.1 memberikn heterozigositas untuk 216 loci kromosom-X menurut lokasi dilaporkannya (Hedrick dan Parker, 1997). Walaupun terlibat seperti pengelompokan tingkat-tingkat heterozigositas di sepanjang kromosom, loci yang mendekati ujung tidak terlihat siginifkan mengurangi heterozigositas, seperti pada kromosom X Drosophila melanogaster. Ini tidak diharapkan, karena rekombinasi pada ujung kromosom X manusia tidak berkurang. Rentang heterozigositas pada 22 autosom adalah antara 0,69 hingga 0,73, dan nilai mean dari 5048 loci autosomal adalah 0,70, sebagaimana ditunjukkan oleh garis putus-putus dalam gambar. Nilai mean untuk 216 loci kromosom-X, 0,65, lebih rendah dibanding nilai mean untuk autosom-autosom.
   
Dengan mengasumsikan bahwa laju mutas untuk gen-gen autosomal dan yang terkait-X sama, maka berdasarkan perbedaan ukuran populasi efektif untuk loci X dna autosomal (A), rasio θX/θA harus bernilai sekitar 0,75. Untuk model alel tak terbatas, penyusunan ulang persamaan 8.8b menghasilkan

θ = (Hc)/(1-Hc)

Dengan menggunakan heterozigositas rata-rata, perkiraan θ untuk kromosom X dan autosom adalah 1,857 dan 2,333 dengan rasio 0,796. Untuk model mutas bertahap, penyusunan ulang persamaan 8.8c menghasilkan
θ = 1/2[(1/(1-Hc)2 -1)]

Dalam hal ini, perkiraan θ untuk kromosom X dan autosom adalah 3,58 dan 5,06 dengan rasio 0,708. Dengan kata lain, perkiraan rasio dari dya model mutasi cukup dekat satu sama lain dan mencakup rasio yang diharapkan berdsarkan populasi efektif. Ini mendukung hipotesis yang mengatakan bahwa variasi pada loci mikrosatelit sebagian besar dipertahankan oleh keseimbangan mutasi dan penyimpangan genetik dan menunjukkan bahwa mutas pada loci ini bisa berupa campuran dari model alel-tak terhingga dengan model mutasi-bertahap.

Seperti yang dibahas di Bab 8, teori kenetralan memungkinkan beberapa prediksi sederhana dibuat tentang variasi genetik. Sebagai contoh, probabilitas yang diharapkan dari fiksasi dan waktu yang diharapkan untuk fiksasi mutan netral yang baru adalah 1/(2N) dan 4N, masing-masing (persamaan 8.7a dan 8.7b). Kimura (1968) juga menunjukkan bahwa teori netral sejalan dengan jam molekuler; yaitu, terdapat laju konstan dari substitusi untuk varian-varian molekuler.

Sebagai ilustrasi, mari kita mengasumsikan bahwa penyimpangan genetik dan mutasi adalah penentu perubahan frekuensi varian-varian molekuler, sehingga tingkat substitusi alel bisa dipahami dengan cara berikut. Anggap laju mutasi ke sebuah alel baru adalah u sehingga pada sebuah populasi dengan ukuran 2N, terdapat 2Nu mutan baru per generasi. Karena probabilitas fiksasi mutan baru adalah 1/(2N), dan mengasumsikan sebuah situasi kesetimbangan, laju substitusi alel adalah produk jumlah mutan yang dihasilkan per generasi dan probabilitas fiksasi, atau

k = 2Nu (1/2N) (9.2a)
k = u  

Dengan kata lain, tingkat substitusi alel pada model sederhana berlangsung konstan dan sama dengan tingkat mutasi pada lokus. Perhatikan bahwa tingkat substitusi tidak tergantung pada ukuran populasi efektif, sebuah fakta pada awalnya mungkin berlawanan dengan akal sehat. Ketidktergantungan terjadi karena pada populasi yang lebih kecil terdapat lebih sedikit mutan; yaitu, 2Nu lebih kecil, tetapi frekuensi awal dari mutan-mutan ini lebih tinggi, yang meningkatkan probabilitas fiksasi, 1/2N, dengan besar yang sama dengan mana jumlah mutan direduksi.
   
Untuk jenis model mutasi manapun, jika laju substitusi diasumsikan sama dengan laju mutasi u, maka waktu yang diharapkan antara substitusi-substitusi netral adalah 1/u. Dengan kata lain, waktu antara substitusi adalah hanya sebuah fungsi dari laju mutasi dan tidak tergantung pada ukuran populasi, tepat seperti laju substitusi. Sebagai contoh, jika laju mutasi adalah u = 10-9 per nukleotida per generasi, maka waktu yang diharapkan antara substitusi-substitusi baru adalah 109 generasi.
   
Dengan enggunakan laju substitusi kenetralan ini, kita juga bisa memprediksi jumlah divergensi antara dua urutan nukleotida terhadap generasi t. Jumlah perbedaan yang diharapkan per empat adalah

k = 2ut          (9.2b)

dimana 2 diperlukan karena substitusi bisa terjadi dalam urutan-urutan untuk kedua garis keturunan (berikut ii, wktu seringkali dalam unit tahun, bukan generasi).
   
Probabilitas fiksasi sebuah mutan baru adalah sekitar 2s (persamaan 8.9a). Jika kiga menggunakan pendekatan seperti di atas, laju substitusi alel menjadi

k = 2Nu(2s) (9.2c)
= 4Nus

Jadi jelas, jika 4Ns >> 1, maka laju substitusi untuk mutan yang selektif akan jauh lebih tinggi dari mutan netral. Di sisi lain, model yang hampir netral dari Ohta (1973), dimana terdapat sedikit seleksi yang berbahaya terhadap alel, memprediksikan bahwa laju substitusi berkurang seiring dengan ukuran populasi yang meningkat. Ketergantungan ini terjadi karena varian-varian yang sedikit merusak bisa netral dalam populasi yang lebih kecil, s < 1/(2N), sedangkan pada populasi besar, varian tersebut tidak netral. Pada kenyataannya, efikasi seleksi untuk bias kodon terlihat tergantung pada sebagian ukuran populasi (Akashi, 1995:1999), ini konsisten dengan model Ohta. Salah satu motivasi awal dari model ini adalah untuk memberikan sebuah cara yang bertanggung jawab utnuk pengamatan bahwa laju-laju substitusi asam maino terlihat konstan per tahun dan bukan per generasi.

c. Jam molekuler
   
Pada akhir tahun 1960an, data dari urutan asam amino protein terlihat mengindikasikan bahwa mutasi-mutasi dalam evolusi protein terakumulasi pada laju konstan (King dan Jukes, 1969). Dengan mengasumsikan bahwa penggantian reguler seperti ini terjadi, perbedaan asam amino atau urutan nukleotida antara kedua spesies bisa berfungsi sebagai sebuah jam molekuler.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...