Saturday, February 6, 2010

Pemantauan Sirkulasi Serebral

Pada pasien yang menderita penyakit saraf akut, resusitasi cairan akan mempertahankan atau memperbaiki perfusi serebral. Walaupun pengalaman klinis menunjukkan bahwa morbiditas dan mortalitas bisa berubah dengan perubahan terapeutik dari CBF dan metabolisme cerebral pada beberapa pasien yang injury saraf, namun belum ada data yang menguatkan manfaat klinis dari pemantauan neurologis. Tiga pertanyaan berikut menjadi pertanyaan pokok untuk pemanfaatan pemantauan variabel-variabel serebral:

1.Pada kondisi yang bagaimanakah tekanan darah, PaCO2, PaO2, dan suhu tubuh memberikan informasi yang tidak cukup tentang kelayakan CDO2 (CDO2 = CBF x CaO2)?
2.Pada kondisi yang bagaimanakah informasi yang lebih rinci tentang kelayakan CDO2 memungkinkan intervensi-intervensi terapeutik yang dapat meningkatkan hasil?
3.Proporsi pasien yang bagaimana dalam sebuah kategori diagnostik yang akan mengalami injury yang terhindari yang cukup besar untuk menjustifikasi pengaplikasian ekstensif (dan berpotensi mahal) dari alat-alat pemantauan neurologis?
Masih sedikit data yang tersedia tentang hubungan antara variabel-variabel cerebrovaskular terpantau dengan risiko injury saraf yang dapat dihindari. Hampir semua pemantau neurologis dimaksudkan untuk mendeteksi ischemia cerebral yang aktual atau yang mungkin. Ischemia cerebral, yang didefinisikan sebagai CDO2 tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik, bisa diakibatkan oleh pengurangan setiap dari komponen CDO2, termasuk CBF, konsentrasi Hgb, dan kejenuhan Hgb arterial (SaO2). Otak hanya membentuk 2% dari berat tubuh, tapi menerima 15% dari output jantung dan mewakili 15% sampai 20% konsumsi oksigen total. Bagian-bagian otak tertentu, seperti cerebellum, ganglia basal, lapisa hippocampus CA-1, zona-zona batas arterial antara cabang-cabang utama dari pembuluh-pembuluh intrakranial, terlihat rentan secara selektif terhadap injury ischemia.


Pemakaian pemantau otak secara praktis memerlukan penentuan ambang-batas kritis pada mana intervensi-intervensi terapeutik harus dilakukan. Ambang batas CBF yang berkorelasi dengan berbagai hasil klinis, perubahan fisiologis, dan perubahan variabel-variabel terpantau telah ditentukan berdasarkan eksperimen-eksperimen pada hewan, dan juga beberapa didasarkan pada data klinis. Jika sebuah pemantau fungsi otak mendeteksi ischemia cerebral, maka keparahannya yang sebenarnya tidak diketahui. Yang diketahui hanyalah bahwa oksigenasi cerebral pada sebuah bagian otak yang memberikan kontribusi bagi fungsi tersebut telah berkurang dibawah ambang batas kritis. Pengurangan ini bisa kecil atau besar. Karena ischemia yang lebih parah akan menghasilkan injury neurologis pada waktu lebih singkat, maka kita tidak mungkin memprediksikan secara pasti apakah perubahan-perubahan fungsi akan diikuti dengan infarksi cerebral. Disamping itu, jika ischemia regional melibatkan struktur yang tidak berpartisipasi dalam fungsi terpantau, maka infarksi bisa berekmbang tampa peringatan. Hubungan yang dapat diprediksi ini menjelaskan kegagalan pemantau untuk mendeteksi ischemia cerebral pada pasien yang selanjutnya mengalami bukti klinis dari infarksi otak, serta laporan-laporan berbagai perubahan pada variabel-variabel terpantau yang tidak dikuti oleh perubahan yang jelas dalam kondisi klinis. Kompleksitas dan heterogeneitas jaringan otak biasanya menghalangi perkembangan pemantau otak predktif yang tunggal dan sempurna.

Pada kebanyakan pasien, kecepatan aliran arterial bisa diukur dengan mudah pada pembuluh-pembuluh intrakranial, khususnya arteri cerebral tengah (MCA) dengan menggunakan ultrasonografi TCD (transkranial Doppler). Kecepatan aliran Doppler menggunakan pergeseran frekuensi, sebanding dengan kecepatan, yang diamati apabila gelombang-gelombang suara direfleksikan dengan menggerakkan sel-sel darah merah. Darah yang bergerak menuju ke transducer akan menggeser frekuensi yang ditransmisikan ke frekuensi yang lebih tinggi; datah menyebar, ke frekuensi yang lebih rendah. Aliran darah merupakan sbeuah fungsi dari kecepatan dan diameter pembuluh. Jika diameter tetap konstan, perubahan kecepatan sebanding dengan perubahan CBF; akan tetapi, perbedaan antar-subjek dalam hal kecepatan aliran berkorelasi buruk dengan perbedaan CBF antar-subjek.karena tidak invasif, maka pengukuran-pengukuran TCD bisa diulangi dengan interval sering atau bahkan diaplikasikan secara terus menerus.
   
TCD telah digunakan untuk memanaje ekspansi volume setelah perdarahan subarachnoid (SAH) dan pada pasien yang menderita trauma kepala.
   
Pengukuran-pengukuran oksigenasi gelembung jugular venous menunjukkan kelayakan CBF, sebagaimana oksigenasi “venous bercampur” sistemik mencerminkan kelayakan output jantung. CBF, tingkat metabolisme cerebral untuk oksigen (CMRO2), CaO2, dan kandungan oksigen jugular venous (CjvO2) terkait menurut persamaan berikut :

CMRO2  = CBF(CaCO2 – CjvO2).
   
Darah cerebral venous bercampur, seperti darah sistemik bercampur, merupakan sebuah rata-rata global  dan mungkin tidak mencerminkan hypoperfusi regional yang signifikan. Dengan demikian, kejenuhan jugular venous yang tidak normal (rendah) menunjukkan kemungkinan ichemia cerebral; tapi kejenuhan jugular venous yang normal atau meningkat tidak menunjukkan adanya perfusi cerebral yang adekuat. Vena jugular internal bisa ditempatkan oleh landmark anatomi eksternal dan kateter diarahkan menuju proses mastoid, di atas mana terdapat gelembung jugular venous. Dalam pemakaiatelahn klinis, pengambilan sampel gas darah jugular venous atau pemantauan kontinyu dapat mendeteksi desaturasi cerebral yang tidak diharapkan. Kejenuhan jugular venous telah digunakan sebagai sebuah komponen dasar dari pemantauan otak pada pasien setelah TBI. Untuk respon terhadap desaturasi jugular venous, ekspansi volume merupakan salah satu tehnik potensial yang dapat meningkatkan perfusi cerebral.
   
Idealnya, oksigenasi cerebral akan diinilai secara non-invasif. Saat ini, belum ada pemantau kontinyu yang non-invasif tersedia untuk kelayakan cerebral. Belakangan ini, sebuah tehnik yang menyarankan kemungkinan pemantaian oksigenasi venous cerebral secara non-invasif telah ditemukan, walaupun masih banyak penelitian yang harus dilakukan. Sebuah pemantau otak yang bisa digunakan untuk terapi penting akan memberikan peluang untuk memanaje sirkulasi cerebral sekomprehensif mungkin yang bisa dimanaje oleh sirkulasi sistemik. Selanjutnya yang menjadi tantangan adalah menunjukkan bahwa terapi baik yang berdasarkan pada pemantauan yang baik akan memperbaiki hasil.

PEMBERIAN CAIRAN PADA SITUASI-SITUASI KHUSUS

Pemberian Cairan untuk Kraniotomi
   
Rekomendasi-rekomendasi untuk terapi cairaan bisa diformulasikan berdasarkan prinsip-prinsip yang disebutkan sebelumnya. Sudah menjadi aturan umum bahwa larutan-larutan krystaloid isotonik harus digunakan untuk menggantikan kekurangan dan kehilangan darah yang telah ada sebelumnya. Pada saat konsentrasi Hgb pasien mendekati 8 g/dL, maka harus dipertimbangkan untuk mentransfusi sel-sel darah merah. Transfusi bisa diindikasikan pada konsentrasi Hgb yang lebih tinggi jika ada bukti hypoxia jaringan atau perdarahan tidak terkontrol yang berlangsung terus menerus. Larutan-larutan yang mengandung dextrosa perlu dihindari sebelum ada indikasi khusus untuk penggunaannya (yakni hypoglikemia). Untuk mengurangi volume otak dan untuk memperbaiki kondisi-kondisi pengoperasian, maka pemberian hypertonic mannitol dianggap sebagai prosedur standar. Larutan-larutan hypertonik menyebabkan cairan bergerak melintasi membran sel dan mengurangi volume jaringan otak melalui pembentukan gradien osmotik antara ruang-ruang intraselular dan ekstraselular. Larutan garam hypertonic bisa terbukti bermanfaat pada resusitasi volume pada korban trauma hypovolemic yang mengalami injury otak dan hypertensi intrakranial. FFP bisa diinfusi jika ada perdarahan yang terus menerus meskipun hemostasis bedah layak. Ada beberapa indikasi untuk pemberian koloid-koloid sintetik kepada pasien-pasien bedah saraf. Koloid-koloid tidak mencegah pembentukan edema otak, dan ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa dextran dan hetastarch bisa menyebabkan koagulopati.

Injury Kepala

Pasien-pasien yang mengalami TBI sering memiliki banyak injuri lain dan biasanya mengalami perdarahan substansial sebelum tiba di kamar operasi atau unit perawatan intensif. Jika tidak ada riwayat injury myocardial atau disfungsi, maka hypotensi pada pasien yang mengalami trauma dapat menunjukkan kecurigaan terhadap resusitasi volume yang tidak layak, setelah penyebab yang dapat diobati lainnya (seperti pneumothorax tension dan tamponade) bisa dipastikan tidak ada. Perawatan dokter untuk pasien-pasien ini harus mencapai resusitasi volume yang layak disamping mempertimbangkan hemodinamika intrakranial dan ICP.
   
Larutan-larutan kristaloid isotonik (lebih dipilih 0,9% larutan garam) seringkali menjadi larutan pertama yang diinfusi pada pasien-pasien trauma hypotensif, karena mudah di dapat dan tidak mahal. Jika evaluasi awal menunjukkan hypertensi intrakranial, maka mannitol (0,5 g/kg) bisa juga digunakan. Darah segar, yang disebut sebagai cairan ideal untuk pasien-pasien yang mengalami shock perdarahan, tidak banyak tersedia di setiap rumah sakit, sehingga kita perlu menguji semua darah yang didonorkan untuk mengetahui agen-agen adanya agen-agen infeksi dan menguji komitmen bahwa bank-bank darah telah membagi-bagi unit-unit yang didonorkan menjadi beberapa komponen (platelet, plasma, sel darah merah, dll). Sel-sel darah merah yang telah dipaketkan dan diresuspensi dalam 0,9% larutan garam atau dicairkan dengan FFP bisa dijadikan alternatif. Sayangnya, pengenceran dengan FFP dapat meningkatkan paparan penerima terhadap berbagai risiko reaksi transfusi donor dan komplikasi-komplikasi infeksi.
   
Walaupun belum dianggap sebagai sebuah standar perawatan, larutan-larutan garam hypertonic bisa bermanfaat pada situasi tertentu. Jika terdapat hypovolemia yang disertai dengan hypertensi intrakranial, atau apabila tidak tersedia cukup banyak atau tidak bisa diinfusi dengan cepat, maka pemakaian larutan hypertonik dapat menjadi pilihan yang menarik. Percobaan pada hewan mendukung efikasi larutan-larutan hypertonik dalam membalikkan shock, dan biasanya, mengurangi ICP. Pada beberapa penelitian dimana larutan-garam hypertonik tidak mengurangi ICP, ada kemungkinan bahwa BBB dirusak secara difusif oleh trauma dan ischemia. Pada kasus-kasus seperti ini, tidak mungkin bahwa mannitol akan efektif dalam mengurangi ICP. Larutan-larutan garam hypertonikk telah banyak diteliti untuk resusitasi pra-perawatan dan saat ini telah digunakan untuk resusitasi hypovolemic pra perawatan, pada pasien-pasien TBI di Eropa. Apakah pendekatan ini akan populer di Amerika Serikat atau tidak kita akan lihat nanti.

Diabetes Insipidus

Diabetes insipidus neurogenik bisa terjadi pada pasien-pasien yang mengalami lesi-lesi pada daerah sekitar hypothalamus, setelah bedah pituitary, atau setelah TBI. Sindrom ini ditandai dengan kegagalan neuron-neuron pada supraoptic nuklei hypothalamus untuk melepaskan jumlah hormon ADH (vasopressin) yang cukup ke dalam sirkulasi sistemik. Diabetes insipidus ditandai dengan produksi banyak urin encer dengan osmolalitas plasma yang normal atau meningkat. Pada kasus-kasus yang parah, output urin bisa melebihi 1 L/jam. Jika dibiarkan tidak diobati atau tidak dipedulikan, maka diabetes insipidus bisa menyebabkan hypernatermia, hypovolemia dan hypotensi parah secara cepat. Agar cepat menentukan diagnosa diabetes insipidus, sangat penting untuk memiliki indeks dugaan yang tinggi ketika menangani pasien-pasien yang berisiko. Konfirmasi bisa diperoleh dengan mencatat osmolalitas darah yagn meningkat dan [Na]+ dalam kaitannya dengan gravitas spesifik urin yang rendah atau osmolalitas. Ekspansi volume yang luas akanterjadi. Karena kondisi hyperosmolar/hypernatremi yang telah ada, maka 0,9% larutan garam bisa mengurangi konsentrasi Na+ dalam serum. Sebagai peringatan, peningkatan konsentrasi Na+ dalam serum secara cepat dikompensasi oleh pembentukan osmol-osmol idiogenik intraselular yang melindungi ICV cerabral; dengan demikian, jika terapi terlalu cepat mengurangi konsentrasi Na+ dalam serum, maka edema cerebral akan terjadi. Demikian juga, penggantian ADH endogen harus dimulai baik dengan vasopresi cair (5-10 unit dengan injeksi intravenous atau intranasal setiap 12 sampai 24 jam. DDAVP kekurangan efek vasikonstriktor dari vasopressin dan kemungkinan menghasilkan cramping abdominal. Defisit ADH yang tidak lengkap (diabetes insipidus parsial) seringkai dapat ditangani secara efektif dengan agen-agen farmakologi yang menstimulasi pelepasan ADH atau untuk meningkatkan respon ginjal terhadap ADH. Kombinasi klorpropamida (100-250 mg/hari) dan clofibrat atau sebuah thiazida diuretik telah terbukti efektif pada pasien yang merespon tidak memadai terhadap salah satu dari obat ini saja.
Pasien-Pasien yang Berisiko Mengalami Cerebral Ischemia
   
Pada pasien-pasien yang berisiko mengalami cerebral  ischemia, konsep terpenting yang terkait dengan pemberian cairan adalah hemodilusi. Perfusi cerebral bisa ditingkatkan dengan mengurangi viskositas darah dengan hemodilusi. Hemodilusi hypervolemic dengan dextran akan menghasilkan sedikit peningkatan CBF yang tidak signifikan secara statistik pada hewan yang memiliki vaskulatur cerebral. Walaupun hemodilusi sedang terlihat bermanfaat, namun penurunan hematocrit yang cukup besar bisa berbahaya. Pada kelinci yang dihemodilusi menjadi Hgb 6 atau 11g/dL seelah embolisasi MCA, para peneliti menemukan bahwa hemodilusi besar (Hgb 6g/dL) dapat menyebabkan infark yang lebih besar pada korteks dan sub-korteks.
   
Sebuah kelompok studi untuk Stroke, yang mengacak 373 pasien untuk mendapatkan apakah terapi konvensional atau hemodilusi normovolemic setelah stroke, menunjukkan peningkatan kejadian komplikasi kardiovaskular dan peningkatan mortalitas dini diantara pasien-pasien yang dihemodilusi. Kelompok studi Stroke dari Italia mengacak 1267 pasien untuk mendapatkan terapi konvensional atau hemodilusi normovolemic dan tidak menemukan perbedaan hasil. Akan tetapi, kedua penelitian ini dihambat oleh risiko ekspansi volume kardiovaskular. Sebaliknya, hemodilusi pada kelompok stroke menggunakan pemantauan kardiovaskular invasif untuk memandu hemodilusi hypervolemic dengan pestrach dann meningkatkan output kardiak pada pasien-pasien yang mengalami stroke ischemia akut. Walaupun mortalitas keseluruhan dan hasil neurologis tidak lebih baik pada kelompok hemodilusi, namun hasil neurologis terlihat meningkat padapasien yang mmemuaski percobaan dalam waktu 12 jam terjadinya stroke dan pada mereka dimana output kardiak meningkat 10% atau lebh lebih.
   
Walaupun belum ada rekomendasi pasti yang bisa diberikan untuk penggunaan hemodilusi pada pasien-pasien yang berisiko untuk ischemia cerebral, namun cukup wajar untuk menghindari hpovolemia dan risiko-risiko hypotesi dan hemokonsentrasi.

Aneurisme Cerebral dan Vasopasme
   
Pasien-pasien yang akan dibedah untuk kerusakan aneurisme cerebral memerlukan pertimbangan penatalaksanaan cairan yang cermat. Vasopasme cerebral merupakan sebuah penyebab morbiditas utama pada pasien-pasien ini, dapat menyebabkan kematian aau cacat parah pada sekitar 14% pasien yang bertahan hidup, dan bukti angiografi tentang  vasopasme terjadi pada sebanyak 60% hingga 80% pasien setelah perdarahan Subarachnoid (SAH). Arteriografi pada pasien-pasien yang memiliki vasopasme menunjukkan ketidakteraturan luminal pada pembuluh-pembuluh pengkonduksi yang besar, walaupun tempat-tempat ini bukan merupakan tempat utama untuk resisten precapillary. CBF tidak berkurang sebelum diameter angiografik dari arteri-arteri cerebral berkurang 50% atau lebih, jika dibandingkan dengan normal. Pembuluh resistensi cerebral intraparenchymal cenderung berdilasi setelah onset spasme pembuluh-pembuluh besar, sehingga secara parsial mengkompensasi resisten upstream yang meningkat. Volume darah ICP dan cerebral bisa meningkat selama vasopasme, sebagai akibat dari dilasi pembuluh kapasitansi cerebral (vena) dan akumulasi edema jaringan akibat cerebral ischemia.
   
Kejadian vasopasme mencapai sebuah puncak antara hari ke-4 dan ke-10 setelah SAH. Tiga sampai sembilan hari setelah SAH, pasien yang mengalami vasopasme simptomatik secara karakteristik akan menjadi terdisorientasi dan mengantuk selama periode beberapa jam. Defisit focal bisa terjadi. Vasopasme dianggap sebagai penyebab jika perdarahan rekuren, lesi-lesi massa, hypertensi intrakranial, meningitis, atau encephalopathy metabolik bisa dipastikan tidak terjadi melalui studi-studi diagnostik yang tepat. Diagnosa bisa dikuatkan dengan angiografi atau dokumentasi pola-pola aliran berkecepatan tinggi dengan pemeriksaan Doppler terhadap pembuluh-pembuluh cerebral.
   
Dua intervensi terapeutik yang saat ini diterima bisa mengurangi kejadian atau keparahan vasiopasme. Yang pertama adalah terapi hypervolemic-hyperdynamic. Bukti teoritis mendukung diperlukannya ekspansi volume yang besar termasuk pengamatan bahwa setelah SAH, 10% hingga 33% pasien mengalami hyponatremia, yang terkat dengan keseimbangan sodium negatif dan kontraksi volume intravaskular. Pasien-pasien hyponatremik lebuh mungkin mengalami vasopasme.
   
Pada pasien yang menderita gangguan neurologis akibat vasopasme, pemuatan volume dalam kaitannya dengan dukungan ionotropi bisa membalikkan atau mengurangi morbiditas neurologis. Pada satu seri, ekspansi volume profilaksis terkait dengan hasil yang sama baiknya dengan yang dicapai menggunakan profilaksis dengan penghambat saluran-kalsium. Walaupun belum ada percobaan klinis skala besar yang telah menggunakan desain terkontrol acak untuk membandingkan ekspansi volume dengan terapi-terpai lain bagi vasopasme simptomatik, namun laporan-laporan klinis memberikan bukti yang jelas tentang efikasi hypervolemia dan hypertensi yang ditimbulkan dalam mengobati vasopasme. Salah satu algoritma untuk menghasilkan hypervolemia dan peningkatan tekanan perfusi cerebral terdiri dari katetrsasi arteri pulmonary dan infsi cairan, baik larutan garam maupun koloid, untuk meningkatkan PAOP menjadi sekitar 15mmHg. Tujuan-tujuan terapeutik terkait antara lain CVP sekitar 10mmHg, tekanan darah sistolik sekitar 180mmHg (MAP ~ 130mmHg), dan CaO2 yang layak, yang ditentukan sebagai konsentrasi Hgb dari 11g/dL dan kejenuhan oksihemoglobin 95% atau lebih. Jika ekspansi volume tidak mencapai tujuan-tujuan hemodinamik ini, maka vasopressor seperti fenilefrin atau dopamine ditambahkan. Dengan menggunakan protokol ini, kebanyakan defisit neurologis yang terkait dengan vasospasme dapat meningkat dalam satu hingga empat jam. Meskipun penggunaan kateterisasi arteri pulmonary dapat memugkinkan perhitungan yang lebih tepat untuk respon sistemik terhadap terapi hypervolemic, namun kateterisasi bisa memberikan informasi pemantauan yang cukup pada pasien yang memiliki fungsi kardiovaskular normal. Pada pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung, PAOP 14mmHg terkait dengan performance kardiak. Ekspansi volume pada poin ini akan meningkatkan PAOP, tapi kemungkinan tidak meningkatkan indeks kardiak.

KELAINAN-KELAINAN ELEKTROLIT PERIOPERATIF UMUM PADA PASIEN-PASIEN NEUROSURGICAL.
   
Bedah saraf terkait dengan gangguan total kadar sodium tubuh atau konsentrasi Na+. Peningkatan atau penurunan sodium tubuh total, kation dan zat terlarut ekstraselular yang mendasar, cenderung meningkatkan atau mengurangi ECV dan PV. Gangguan-gangguan konsentrasi Na+ utamanya diregulasi oleh ADH, yang disekresikan sebagai respon terhadap  osmolalitas yang meningkat atau tekanan darah yang berkurang. ADH dapat menstimulas reabsoropsi air dalam ginjal, mengencerkan konsentras Na+ dalam plasma; sekresi ADH yang tidak memadai akan menghasilkan ekskresi bebas-air pada ginjal, yang, tanpa adanya intake air yang cukup, akan menyebabkan hypernatremia. Sebagai respon terhadap perubahan konsentrasi Na+ dalam plasma, perubahan-perubahan sekresi ADH bisa memvariasikan osmolalitas urin dari 50 hingga 1400mOsm/kg dan volume urin dari 0,4 hingga 20 L/hari.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...