Tuesday, April 6, 2010

Sistem Kekebalan Alami

Sistem kekebalan alami (innate immunity) merupakan sistem pertahanan yang pertama terhadap infeksi. Mekanisme kekebalan alami terjadi sebelum menemukan mikroba dan diaktivasi dengan cepat oleh mikroba sebelum terjadinya respon imun adaptif (lihat Bab 1, Gbr. 1-1). Sistem kekebalan alami juga merupakan mekanisme pertahanan yang tertua secara filogenetik terhadap mikroba dan terbentuk untuk melindungi semua organisme multisel, termasuk tanaman dan serangga, dari infeksi. Sistem kekebalan adaptif (adaptive immunity) yang diperantarai oleh limfosit T dan B dapat ditemukan pada hewan vertebrata yang memiliki rahang dan mendukung sistem kekebalan alami untuk meningkatkan pertahanan host terhadap mikroba. Pada Bab 1, kita telah memperkenalkan konsep bahwa respon kekebalan adaptif dapat meningkatkan fungsi antimikroba dari sistem kekebalan alami dan menghasilkan memori pengenalan antigen dan spesialisasi mekanisme-mekanisme efektor. Dalam bab ini, kita akan menguraikan komponen-komponen, spesifitas, dan fungsi-fungsi dari sistem kekebalan alami.
   
Sistem kekebalan alami (innate immunity) memiliki tiga fungsi penting yaitu sebagai berikut:
Sistem kekebalan alami merupakan respon pertama terhadap mikroba yang mencegah infeksi pada host dan sering dapat memusnahkan mikroba tersebut. Pentingnya sistem kekebalan alami untuk pertahanan host diilustrasikan oleh beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa penghambatan atau penghapusan salah satu dari beberapa mekanisme sistem kekebalan alami akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, meskipun sistem kekebalan adaptif tetap utuh dan berfungsi baik. Kita akan mereview penelitian-penelitian ini dalam pembahasan selanjutnya dan di Bab 15 ketika kita membahas sistem kekebalan terhadap berbagai jenis mikroba. Banyak mikroba patogen yang telah memiliki strategi-strategi untuk melawan sistem kekebalan alami, dan strategi ini penting bagi kapasitas mikroba tersebut untuk menyebabkan penyakit (virulensi).
Mekanisme efektor dari sistem kekebalan alami sering digunakan untuk memusnahkan mikroba bahkan pada respon kekebalan adaptif. Sebagai contoh, pada sistem kekebalan yang diperantarai sel, limfosit-limfosit T yang spesifik-antigen menghasilkan sitokin yang mengaktivasi sebuah mekanisme efektor penting dari sistem kekebalan alami, yaitu, fagosit (lihat Bab 13). Pada sistem kekebalan humoral, limfosit-limfosit B menghasilkan antibodi yang menggunakan dua mekanisme efektof dari sistem-kekebalan alami, fagosit dan sistem komplemen, untuk memusnahkan mikroba (lihat Bab 14).
Sistem kekebalan alami terhadap mikroba menstimulasi respon kekebalan adaptif dan bisa mempengaruhi sifat-sifat respon adaptif untuk membuat respon tersebut efektif secara optimal terhadap berbagai jenis mikroba. Sehingga, sistem kekebalan alami tidak hanya memiliki fungsi pertahanan setelah infeksi terjadi tetapi juga memberikan “peringatan” tentang keberadaan sebuah infeksi yang harus dihambat oleh respon kekebalan adaptif selanjutnya. Disamping itu, berbagai komponen respon sistem kekebalan alami sering bereaksi dengan cara yang berbeda terhadap berbagai jenis mikroba (misalnya, mikroba intraseluler dan mikroba extraseluler) sehingga mempengaruhi jenis respon kekebalan adaptif yang terjadi (misalnya, respon kekebalan yang diperantarai sel dan respon kekebalan humoral). Kita akan kembali membahas konsep ini di akhir bab.
   
Beberapa komponen sistem kekebalan alami berfungsi sepanjang waktu, meskipun setelah infeksi: komponen-komponen ini mencakup komponen penghalang untuk masuknya mikroba yang terdapat pada permukana epithelial, seperti kulit dan dinding saluran gastrointestinal dan saluran pernafasan. Komponen-komponen lain dari sistem kekebalan alami biasanya tidak aktif tetapi siap merespon dengan cepat jika ada mikroba; komponen-komponen ini mencakup fagosit dan sistem komplemen. Respon sistem kekebalan alami, seperti halnya respon kekebalan adaptif, bisa dibagi menjadi tiga fase yaitu: fase pengenalan, fase aktivasi, dan fase efektor. Kita memulai pembahasan tentang sistem kekebalan alami dengan menjelaskan secara umum bagaimana sistem kekebalan alami dapat mengenali mikroba dan melanjutkan ke komponen-komponen individual dari sistem kekebalan alami dan fungsi-fungsinya dalam pertahanan host.

Sifat-Sifat Kekebalan Alami dalam Mengenali Mikroba
   
Respon kekebalan alami memiliki spesifitas yang khusus untuk produk-produk mikroba yang berbeda dengan spesifitas sistem kekebalan adaptif dalam beberapa hal (Tabel 12-1).
   
Komponen-komponen sistem kekebalan alami mengenali struktur-struktur yang merupakan karakteristik dari patogen-patogen mikroba dan tidak terdapat pada sel-sel mamalia. Sistem kekebalan alami tidak mampu mengenali zat-zat non-mikroba, sedangkan sistem kekebalan adaptif mampu mengenali berbagai zat asing baik itu produk mikroba atau bukan. Berbagai respon sistem kekebalan alami mungkin spesifik untuk sturktur-struktur yang merupakan ciri dari kelompok mikroba tertentu (Tabel 12-2). Struktur-struktur ini mencakup asam-asam nukleat yang khas bagi mikroba, seperti RNA berantai-ganda yang ditemukan pada virus-virus yang bereplikasi atau rantai CpG DNA non-metil yang ditemukan pada bakteri: sifat-sifat protein yang ditemukan pada mikroba, seperti inisiasi oleh N-formylmetinoin, merupakan ciri khas dari protein-protein bakteri dan lipid-lipid kompleks dan karbohidrat yang disintesis oleh mikroba tetapi tidak disintesis oleh sel-sel mamalia, seperti lipopolisakarida (LPS) pada bakteri gram-negatif, asam-asam teichoat pada bakteri gram-positif, dan oligosakarida kaya-mannosa yang ditemukan pada mikroba tetapi bukan glikoprotein mamalia. Mikroba yang merupakan target dari sistem kekebalan alami disebut sebagai pola-pola molekuler, dan reseptor yang mengikat pola-pola ini disebut reseptor pengenal pola. Kelompok-kelompok mikroba (seperti virus, bakteir gram-negatif, bakteri gram-positif, jamur) memiliki pola molekuler berbeda yang dikenali oleh reseptor-reseptor pengenal pola pada sel-sel host dan dalam sirkulasi.
   
Dengan adanya spesifitas terhadap struktur-struktur mikroba ini, sistem kekebalan alami, seperti halnya sistem kekebalan adaptif, mampu membedakan antara molekul host (self) dan molekul mikroba (nonself). Mekanisme sistem kekebalan alami terbentuk untuk mengenali molekul mikroba (nonself) dan bukan molekul mamalia (self). Sebaliknya, pada sistem kekebalan adaptif, pembedaan antara molekul self/nonself tidak didasarkan pada spesifitas terhadap mikroba tetapi didasarkan pada seleksi limfosit untuk pengenalan antigen-antigen asing. Sebenarnya, respon kekebalan alami tidak diketahui bereaksi terhadap struktur-struktur molekul host (self) sehingga lebih baik dalam membedakan antara molekul host dan molekul mikroba dibanding sistem kekebalan adaptif. Seperti yang akan kita lihat di Bab 18, respon-respon kekebalan adaptif bisa terjadi terhadap antigen-antigen autolog dan menghasilkan penyakit autoimun, tetapi masalah ini tidak terjadi pada sistem kekebalan alami.
   
Sistem kekebalan alami mengenali produk-produk mikroba yang esensial untuk kelangsungan hidup mikroba. Adaptasi host ini penting karena dapat memastikan bahwa target-target kekebalan alami tidak dapat dihilangkan oleh mikroba ketika mencoba untuk menghindari pengenalan yang dilakukan oleh host. Berbeda dengan itu, seperti yang akan kita lihat di Bab 15, mikroba bisa bermutasi atau kehilangan banyak antigen yang dikenali oleh sistem kekebalan adaptif, sehingga memungkinkan mikroba menghindari pertahanan host tanpa mengganggu kelangsungan hidupnya sendiri. Salah satu contoh dari sebuah target kekebalan alami yang penting untuk mikroba adalah RNA virus berantai-ganda, yang memegang sebuah peranan penting dalam replikasi virus-virus tertentu. Karena RNA berantai-ganda diperlukan untuk replikasi beberapa virus, maka virus-virus ini tidak mampu menghindari pengenalan yang dilakukan oleh sistem kekebalan alami karena gagal menampakkan molekul ini. Demikian juga, LPS dan asam teichoat adalah komponen-komponen struktural dari dinding sel bakteri yang diperlukan oleh bakteri untuk bertahan hidup dan tidak bisa dihilangkan.
   
Reseptor-reseptor sistem kekebalan alami dikodekan dalam sel-sel reproduksi (germline). Berbeda dengan itu, limfosit T dan B, yang merupakan komponen dasar dari kekebalan adaptif, menggunakan rekombinasi gen somatis untuk menghasilkan reseptor antigen mereka (lihat Bab 7). Karena banyak reseptor yang bisa dikodekan dalam sel reproduksi bisa dihasilkan melalui penataan-ulang gen, maka sistem kekebalan alami memiliki spesifitas yang terbatas. Diperkirakan bahwa sistem kekebalan alami bisa mengenali sekitar 103 pola-pola molekuler dari mikroba, sedangkan sistem kekebalan adaptif mampu mengenali 107 atau lebih antigen. Lebih daripada itu, sementara sistem kekebalan adaptif dapat membedakan antara antigen-antigen dari berbagai mikroba yang bergolongan sama dan bahkan antigen-antigen berbeda dari satu mikroba, sistem kekebalan alami hanya bisa membedakan golongan-golongan mikroba.
   
Selanjutnya kita akan melanjutkan pembahasan tentang komponen-komponen individual dari sistem kekebalan alami dan fungsi-fungsinya dalam pertahanan host.

Komponen-Komponen Sistem Kekebalan Alami
   
Sistem kekebalan alami terdiri dari pembatas-pembatas epitel dan sel-sel bersirkulasi dan protein-protein yang mengenali mikroba atau zat-zat yang dihasilkan pada infeksi dan menginisiasi repon yang memusnahkan mikroba (Tabel 12-3). Sel-sel efektor yang mendasar dari sistem kekebalan alami mencakup neutrofil, fagosit berinti-tunggal, dan sel NK (Natural Killer). Sel-sel ini menyerang mikroba yang telah menembus pembatas epitel dan telah masuk ke dalam jaringan atau sirkulasi. Masing-masing dari jenis sel ini memiliki peranan yang berebda dalam respon terhadap mikroba. Beberapa dari sel kekebalan alami, utamanya makrofage dan sel-sel NK, mengsekresikan sitokin yang mengaktivasi fagosit dan menstimulasi reaksi seluler dari kekebalan alami, yang disebut inflamasi. Inflamasi terdiri dari perekrutan leukosit dan masuknya beberapa protein plasma ke dalam sebuah tempat infeksi dan aktivasi leukosit dan protein untuk memusnahkan agen penginfeksi. Seperti yang akan kita lihat selanjutnya, inflamasi juga bisa menciderai jaringan-jaringan normal. Jika mikroba memasuki sirkulasi, mereka diserang oleh berbagai protein plasma. Protein utama yang bersirkulasi dari sistem kekebalan alami adalah protein-protein dari sistem komplemen dan protein-protein plasma yang mengenali struktur-struktur mikroba, seperti lectin pengikat-mannosa. Pada bagian berikut, kita membahas sifat-sifat dan fungsi masing-masing komponen sistem kekebalan alami.

Pembatas Epitelial
   
Permukaan epithelial yang utuh menjadi pembatas fisik antara mikroba di lingkungan luar dan jaringan host (Gbr. 12-1). Tiga pembatas utama antara lingkungan luar dan host adalah kulit dan permukaan mukosa dari saluran gastrointestinal dan saluran pernafasan. Ketiganya dilindungi oleh epithelia yang bersambung, yang mencegah masuknya mikroba, dan hilangnya kepaduan epithelia ini umumnya menyebabkan rentan terhadap infeksi.
   
Epithelia menghasilkan peptida-peptida yang memiliki fungsi antibiotik alami. Yang paling dikenal diantara peptida-peptida ini adalah defensin, peptida kaya-cystein yang tersusun atas 29 sampai 34 asam amino yang terdapat pada kulit berbagai spesies, termasuk mamalia. Defensin juga banyak terdapat pada granula-granula neutrofil dan mewakili sekitar 50% dari semua protein seluler pada neutrofil manusia. Defensin adalah antibiotik spektrum-luas yang dapat membunuh berbagai bakteri dan jamur. Sintesis defensin meningkat ketika merespon terhadap sitokin-sitokin inflammatory seperti interleukin (IL)-1 dan faktor nekrosis tumor (TNF), yang dihasilkan oleh makrofage dan sel-sel lain ketika merespon terhadap mikroba. Epithelium usus mengsekresikan peptida-peptida antimikroba potensial, yang disebut cryptocidin, yang mampu mensterilisasi lumen, misalnya, dalam lahad usus. Mekanisme aksi antibiotik-antibiotik alami ini belum diketahui sepenuhnya. Epithelia juga mengsekresikan beberapa sitokin yang berfungsi dalam kekebalan alami, dan sifat ini bisa membantu dalam pertahanan host terhadap mikroba. Sebagai contoh, keratinosit dalam epidermis menghasilkan IL-1 dan berbagai sitokin lain. Bagaimana sel-sel epitelial mengenali keberadaan mikroba masih belum diketahui.
   
Epitelial pembatas dan rongga serosal masing-masing mengandung limfosit T intraepithelial dan sub-set B-1 dari sel-sel B, dan sel-sel ini bisa mengenali dan merespon terhadap mikroba yang umum ditemukan. Lokasi-lokasi khas dan spesifitas golongan-golongan lifmosit ini menunjukkan bahwa mereka berfungsi sebagai penjaga pada tempat-tempat yang umum dimasuki mikroba. Limfosit T intraepithelial terdapat dalam dermis kulit dan dalam epithelial mukosa (lihat Bab 2). Sel-sel ini adalah limfosit-limfosit T dengan reseptor-reseptor antigen seperti sel-sel T yang lain dan, dengan kriteria ini, mereka termasuk ke dalam sistem kekebalan adaptif. Akan tetapi, sel-sel T intraepithelial biasanya menampakkan keanekaragaman reseptor antigen yang terbatas, yang terbentuk dari sekuensi-sekuensi sel-sel reproduksi (germline) tanpa variasi berarti pada daerah-daerah penentu pasangan (complementarity) (lihat Bab 7). Pada beberapa spesies, seperti tikus dan ayam, kebanyakan limfosit intraepithelial menunjukkan reseptor-reseptor sel T γδ. Beberapa limfosit T intraepithelial termasuk ke dalam jenis sel NK-T dan dapat mengenali antigen-antigen glikolipid dari mikroba-mikroba yang terikat pada molekul-molekul CD1 yang ditampakkan pada epithelia tertentu, seperti dalam usus. Molekul-molekul CD1 merupakan protein kompleks histokompatibilitas utama golongan I yang terkait β2-mikroglobulin, tetapi dikodekan oleh gen-gen yang terdapat di luar MHC dan bersifat non-polimorfis. Sehingga, sifat-sifat tidak umum dari reseptor dan antigen yang mereka kenali menjadikan limfosit T intraepitelial sebagai sebuah kategori sel T khusus yang lebih berhubungan dengan sel-sel efektof dari kekebalan alami ketimbang sel-sel kekebalan adaptif. Limfosit-limfosit intraepithelial bisa berfungsi dalam pertahanan host dengan cara mengsekresikan sitokin-sitokin, mengaktivasi fagosit, dan membunuh sel-sel yang terinfeksi.
   
Rongga peritoneal mengandung sebuah populasi limfosit B, yang disebut sel-sel B-1 (lihat Bab 7), yang antigen reseptornya adalah molekul-molekul immunoglobulin, seperti pada lifmosit-limfosit B yang lain, tetapi memiliki keanekaragaman yang terbatas, lebih mirip reseptor antigen dari limfosit T intraepithelial. Sel-sel serupa terdapat dalam zona-zona marginal folikel limfoid dalam limfa. Banyak sel-sel B-1 yang menghasilkan antibodi IgM yang spesifik untuk polisakarida dan antigen-antigen lipid, seperti fosforilcholine dan LPS, yang dimiliki oleh berbagai tipe bakteri. Pada kenyataannya, individu-individu normal mengandung antibodi-antibodi yang bersirkulasi terhadap bakteri seperti ini, kebanyakan diantaranya terdapat dalam usus, tapi ada bukti infeksi. Antibodi-antibodi ini disebut antibodi alami dan sebagian besar merupakan produk sel B-1. Antibodi-antibodi alami berfungsi sebagai mekanisme pertahanan baku terhadap mikroba-mikroba yang berhasil menembus pembatas epithelial.
   
Populasi ketiga dari sel-sel yang terdapat pada berbagai epithelia dan pada rongga serosal adalah sel-sel mast. Sel-sel mast merespon terhadap mikroba dan berbagai mediator melalui sekresi zat-zat yang menstimulasi inflamasi.

Fagosit: Neutrofil dan Makrofage
    Fagosit, termasuk neutrofil dan makrofage, adalah sel-sel yang memiliki fungsi utama untuk mengidentifikasi, memangs
a, dan memusnahkan mikroba. Neutrofil, yang juga disebut leukosit polimorfonuklear, adalah konstituen yang paling umum dari sel-sel darah putih yang bersirkulasi dan memediasi fase awal respon inflammatory. Neutrofil bersirkulasi sebagai sel-sel bulat dengan diameter sekitar 12 sampai 15 μm dengan berbagai tonjolan membran. Nukleus dari sebuah neutrofil terdiri dari tiga hingga lima lobula yang saling terhubung, itulah sebabnya mengapa disebut juga leukosit polimorfonuklear. Sitoplasma mengandung granula-granula yang terdiri dari dua jenis. Granula yang mayoritas disebut granula spesifik, diisi oleh enzim-enzim seperti lisosom, kolagenase, dan elastase. Granula-granula ini tidak memberikan warna yang terang jika diuji warna dengan asam atau basa (hematoksillin dan eosin), sehingga membedakan granula neutrofil dari granula basofil dan eosinofil. Granula yang lain disebut granula azurophilic, yang merupakan lisosom-lisosom yang mengandun enzim dan zat-zat mikrobisida lainnya. Neutrofil dihasilkan dalam sumsum tulang dan muncul dari lieage umum dengan fagosit-fagosit berinti tunggal. Produksi neutrofil distimulasi oleh faktor penstimulasi koloni granulosit. Manusia dewasa menghasilkan lebih dari 1 x 1011 neutrofil per hari, masing-masing diantaranya bersirkulasi dalam darah selama sekitar 6 jam. Neutrofil bisa bermigrasi ke tempat-tempat infeksi dalam waktu beberapa jam setelah masuknya mikroba. Jika sebuah neutrofil yang bersurikulasi tidak ditarik ke tempat inflamasi dalam periode ini, maka dia mengalami kematian sel terencana dan biasanya dimangsa oleh makrofage-makrofage yang menghuni hati atau limpa.
   
Makrofage dan prerkusor-prekursornya yang bersirkulasi, yang disebut monosit, memegang peranan penting dalam sistem kekebalan alami dan kekebalan adaptif dan merupakan sel-sel efektor yang penting untuk pemusnahan mikroba. Sel-sel mirip makrofage merupakan mediator tertua untuk kekebalan alami secara filogenetik. Drosophila merespon terhadap infeksi yang disebabkan oleh mikroba-mikroba di sekitarnya dengan menggunakan “hemosit”, yang mirip dengan makrofage, dan sel-sel ini memangsa mikroba dan membalikkan infeksi dengan merangsang koagulasi hemolymph di sekitarnya. Sel-sel mirip-fagosit yang serupa telah diidentifikasi juga pada tanaman. Sifat-sifat morfologi dari fagosit-fagosit yang berinti tunggal disebutkan pada Bab 2. Monosit-monosit darah berkembang dalam sumsum tulang dan bisa tetap tinggal dalam sirkulasi selama periode waktu yang lama. Setelah masuk ke dalam jaringan, monosit-monosit berdiferensiasi ke dalam makrofage jaringan. Makrofage selanjutnya menghuni jaringan konektif subepitel, di sekitar organ-organ parenkimal, pada dinding sinusoid vaskular dalam hati dan limpa, dan dalam sinus limfatik kelenjar getah bening. Sehingga, sel-sel fagosit ini terletak secara strategis pada semua tempat yang bisa dilakui mikroba untuk masuk ke dalam host. Makrofage biasanya merespon teradap mikroba dengan kecepatan respon yang hampir sama dengan neutrofil tetapi durasi responnya jauh lebih lama pada tempat-tempat inflamasi. Dengan demikian, makrofage adalah sel-sel efektor dominan dari tahap akhir respon kekebalan alami, 1 atau 2 hari setelah infeksi. Makrofage hidup lebih lama dibanding neutrofil, dan berbeda dengan neutrofil, makrofage tidak berdiferensiasi secara memusat dan bisa mengalami pembelahan sel pada sebuah tempat inflammatory.
   
Respon-respon fungsional dari fagosit dalam pertahanan host terdiri dari tahapan-tahapan yang berurutan yaitu: penarikan sel-sel ke dalam tempat infeksi, pengenalan mikroba, fagositosis, dan kerusakan mikroba yang termangsa. Disamping itu, makrofage menghasilkan sitokin-sitokin yang memiliki banyak peranan penting dalam respon kekebalan alami dan kekebalan adaptif. Selanjutnya kita akan menguraikan masing-masing dari tahapan dalam pemberantasan mikroba yang diperantarai fagosit.

Penarikan leukosit ke tempat-tempat infeksi
   
Neutrofil dan monosit ditarik dari darah ke tempat-tempat infeksi dengan terikat pada molekul-molekul adhesi pada sel-sel endothelial dan dengan kemoattraktan yang dihasilkan ketika merespon terhadap infeksi. Leukosit-leukosit ini biasanya bersirkulasi dalam darah dan tidak bermigrasi ke dalam jaringan. Penarikan neutrofil dan monosit ini ke tempat-tempat infeksi merupakan sebuah proses banyak-tahapan yang melibatkan perlekatan ke sel-sel endothelial dan migrasi dalam endothelium (Gambar 12-2). Makrofage jaringan yang mengenali mikroba mengsekresikan sitokin TNF, IL-1, dan chemokin. TNF dan IL-1 beraksi pada sel-sel endothelial venula postcapillary yang berdekatan dengan tempat infeksi dan menginduksi kenampakan beberapa molekul adhesi. Dalam waktu 1 sampai 2 jam, sel-sel endothelial mulai menampakkan E-selectin (lihat Bab 6, Box 6-3). Leukosit menampakkan ligan-ligan karbohidrat untuk selectin pada ujung-ujung mikrovilinya, yang terikat ke selectin endothelial. Ini merupakan interaksi dengan kekuatan rendah (Kd ~ 100 μm) dengan laju disosiasi yang cepat, dan mudah diganggu oleh gaya dari darah yang mengalir. Akibatnya, leukosit-leukosit lepas dan terikat kembali sehingga berpindah-pindah di sepanjang permukaan endothelial. TNF dan IL-1 juga mempengaruhi kenampakan ligan untuk integrin pada endothelial, utamanya molekul adhesi sel vaskular 1 (VCAM-1, ligan untuk VLA-4 integrin) dan molekul adhesi antar seluler 1 (ICAM-1, ligan untuk LFA-1 dan Mac-1 integrin) (lihat Bab 6, Box 6-2). Leukosit-leukosit menampakkan aintegrin-integrin ini dalam kondisi afinitas yang rendah. Sementara itu, chemokin yang dihasilkan pada tempat infeksi memasuki pembuluh darah, terikat ke glikosaminoglikan sulfat heparan sel endothelial, dan ditampakkan dengan konsentrasi tinggi. Chemokin-chemokin ini beraksi pada leukosit yang mengalami rolling dan mengaktivasi leukosit. Salah satu dampak aktivasi ini adalah konversi VLA-4 dan LFA-1 integrin pada leukosit menjadi keadaan yang memiliki afinitas-tinggi (lihat Bab 6, Gbr. 6-11). Kombinasi kenampakan ligan-ligan integrin pada endothelium dan aktivasi integrin pada leukosit menghasilkan pengikatan leukosit yang kuat terhadap endothelium pada tempat infeksi. Leukosit berhenti mengalami rolling, sitoskeletonnya ditata ulang, dan mereka menyebar pada permukaan endothelial. Chemokin kemudian beraksi pada leukosit-leukosit yang melekat dan mestimulasi sel-sel untuk bermigrasi dalam ruang interendothelial menuju ke tempat infeksi. Akibat dari proses ini adalah bahwa leukosit, yang merupakan neutrofil pertama, dan selanjutnya monosit, terakumulasi dengan cepat di sekitar mikroba-mikroba penginfeksi. Reaksi ini adalah komponen pokok dari inflamasi. Reaksi ini biasanya ditimbulkan oleh mikroba, tetapi bisa juga dilihat pada respon terhadap berbagai stimuli non-infeksi.
   
Dalam jaringan, neutrofil dan monosit (yang sekarang disebut makrofage) mengenali mikroba dan berfungsi memberantas infeksi.

Pengenalan Mikroba oleh Neutrofil dan Makrofage
   
Neutrofil dan makrofage memiliki reseptor-reseptor permukaan yang mengenali mikroba dalam darah dan jaringan dan menstimulasi proses fagositosis dan pembunuhan mikroba. Mekanisme mikrobisida dari fagosit sebagian besar terbatas pada vesikel intraseluler (lisosom dan fagolisosom) untuk melindung sel-sel itu sendiri dari injury. Dengan demikian, penarikan mikroba ke dalam vesikel-vesikel ini diperlukan untuk memusnahkan mikroba tersebut, dan tahap pertama penarikan tersebut adalah pengenalan mikroba oleh berbagai reseptor permukaan sel. Neutrofil dan makrofage juga memiliki beberapa reseptor yang mengaktivasi sel-sel untuk memproduksi sitokin dan zat-zat mikrobisida dan reseptor-reseptor yang menstimulasi migrasi sel-sel ke tempat infeksi.
   
Ada beberapa golongan reseptor fagosit yang mengikat mikroba dan memediasi internalisasi dari mikroba tersebut (Gbr. 12-3).

Reseptor-reseptor mannisa dan reseptor pengikat berfungsi untuk mengikat dan melumat mikroba. Reseptor mannosa adalah sebuah lektin makrofage yang mengikat mannosa terminal dan residu fukosa dari glikoprotein dan glikolipid. Gula ini biasanya merupakan bagian dari molekul-molekul yang ditemukan pada dinding-dinding sel mikroba, sedangkan glikoprotein mamalia dan glikolipid mengandung asam sialat terminal atau N-asetilgalaktosamin. Dengan demikian, reseptor mannosa makrofage mengenali mikroba dan bukan sel host. Reseptor pengikat didefinisikan sebagai molekul-molekul yang mengikat dan memediasi endositosis partikel-partikel LDL (lipoprotein berkepadatan rendah) terasetilasi atau teroksidasi yang tidak lagi berinteraksi dengan reseptor LDL konvensional. Reseptor pengikat makrofage mengikat berbagai mikroba serta partikel-partikel LDL termodifikasi. Integrin makrofage, utamanya Mac-1 (CD11bCD18), bisa juga mengikat mikroba untuk fagositosis.
Reseptor-reseptor untuk opsonin mempromosikan fagositosis mikroba-mikroba yang dilapisi dengan berbagai protein. Proses pelapisan (coating) sebuah mikroba untuk menjadikannya target bagi fagositosis disebut sebagai opsonisasi, dan zat-zat yang melapisi mikroba disebut opsonin. Zat-zat ini mencakup antibodi, protein komplemen, dan lektin. Salah satu dari sistem paling efisien untuk partikel-partikel opsonisasi adalah pelapisan partikel dengan antibodi-antibodi IgG, yang disebut opsonin spesifik dan dikenali oleh reseptor Fcγ berafinitas tinggi, yang disebut FcγRI (lihat Bab 14). Komponen-komponen sistem komplemen, khususnya fragmen-fragmen protein komplemen C3, juga merupakan opsonin yang potensial karena fagosit-fagosit memiliki sebuah reseptor, disebut reseptor komplemen tipe 1 (CR1), yang mengenali produk penguraian C3 (lihat Bab 14). Fragmen-fragmen komplemen ini dihasilkan ketika komplemen diaktivasi baik oleh jalur klasik (tergantung antibodi) atau jalur alternatif (tidak tergantung antibodi). Banyak bakteri yang bisa mengaktivasi jalur-jalur alternatif dan menghaislkan protein-protein komplemen yang secara efisien mengopsonisasi bakteri tanpa adanya molekul-molekul antibodi.  Beberapa protein plasma, termasuk lektin pengikat mannosa, fibronektin, fibrinogen, dan protein reaktif-C, bisa melapisi mikroba dan dikenali oleh reseptor-reseptor pada fagosit. Sebagai contoh, sebuah reseptor permukaan sel makrofage yang disebut reseptor Ciq mengikat mikroba-mikroba yang diopsonisasi dengan lektin pengikat mannosa plasma, dan integrin mengikat partikel-partikel yang dilapisi fibrinogen. Reseptor Fc dan C3b juga memberikan sinyal-sinyal yang mengaktivasi fagosit.
   
Ada beberapa reseptor fagosit lain yang berfungsi untuk mengaktivasi fagosit tetapi tidak berpartisipasi secara langsung dalam pemangsaan mikroba (lihat Gambar 12-3). Reseptor fagosit yang dimaksud adalah sebagai berikut:
TLR (Toll-Like Receptor) adalah homolog bagi sebuah protein Drosophila yang disebut Toll dan berfungsi mengaktivasi fagosit-fagosit sebagai respon terhadap berbagai jenis dan komponen mikroba. Sampai sekarang, ada 10 TLR mamalia yang telah diidentifikasi, dan masing-masing diperlukan untuk respon terhadap kelompok patogen infeksi yang berbeda (Box 12-1). TLR berbeda memegang peranan penting dalam respon seluler terhadap LPS, proteoglikan bakteri lain, dan nukleotida CpG non-metil semuanya hanya ditemukan pada bakteri. Reseptor-reseptor ini berfungsi melalui kinase-kinase yang yang terkait reseptor untuk menstimulasi produksi zat-zat mikrobisida dan sitokin-sitokin dalam fagosit (lihat Box-12-1). TLR bisa terkait dengan molekul-molekul lain yang berpartisipasi dalam pengenalan produk mikroba secara langsung. Respon host terhadap LPS mengilustrasikan berbagai konsekuensi fungsional lain dari pengenalan sebuah produk mikroba oleh TLR dan protein-protein terkait (Box 12-2).

Reseptor-reseptor α-heliks tujuh-transmembran, juga disebut reseptor berpasangan protein G, ditampakkan pada leukosit, mengenali mikroba dan beberapa mediator yang dihasilkan sebagai respon terhadap infeksi, dan berfungsi utamanya untuk menstimulasi migrasi leukosit ke tempat-tempat infeksi. Reseptor-reseptor ioni ditemukan pada neutrofil, makrofage, dan kebanyakan jenis leukosit yang lain, dan mereka spesifik untuk bermacam-macam ligan. Reseptir-reseptir dari golongan ini mengenali peptida-pepetida yang mengandung resodi-residu N-firmulmetionil. Karena semua protein bakteri dan beberapa protein mamalia diinisiasi oleh N-formilmetionin, maka reseptor ini memungkinkan neutrofil mendeteksi dan merespon terhadpa protein-protein bakteri. Neutrofil dan makrofage juga memiliki reseptor α-heliks tujuh-transmembran untuk chemokin CXC tertentu, khususnya IL-8 (lihat Bab 11); untuk produk-produk proteolitik dari protein-protein komplemen, seperti C5a (lihat Bab 14); dan untuk berbagai mediator lipid dari inflamasi, yang mencakup faktor pengaktivasi platelet, prostaglandin E, dan leukotrien B4. Pengikatan ligan, seperti produk-produk mikroba dan chemokin, ke reseptor α-heliks tujuh-transmembran menginduksi migrasi sel dari darah melalui endothelium dan produksi zat-zat mikrobisida dengan aktivasi respiratory burst. Reseptor-reseptor memulai respon intraseluler melalui protein (G) pengikat guanin trifosfat (GTP). Pada sel yang istrirahat, protein G yang terkait reseptor membentuk sebuah kompleks tidak-aktif yang stabil, yang mengandung guanosin difosfat (GDP) yang terikat pada sububit Gα. Kepemilikan reseptor oleh ligan menghasilkan pertukaran GTP untuk GDP. Bentuk protein G yang terikat-GTP mengaktivais berbagai enzim seluler, termasuk isoform dari fosfolipase C spesifik-fosfatidylinositol yang berfungsi meningkatkan kalsium intraseluler dan mengaktivasi protein kinase C. Protein G juga menstimulasi perubahan-perubahan sitoskeletal, yang menghasilkan motilitas sel yang meningkat.
Fagosit memiliki reseptor untuk sitokin yang dihasilkan dalam reaksi terhadap miroba. Salah satu aspek yang paling penting dari sitokin-sitokin ini adalah interferon-γ (IFN-γ), yang disekresikan oleh sel-sel NK selama respon kekebalan alami dan oleh limfosit-limfosit T yang teraktivasi-antigen selama respon kekebalan adaptif. IFN-γ merupakan sitokin pengaktivasi makrofage yang utama.

Fagositosis Mikroba
   
Neutrofil dan makrofage memangsa mikroba-mikroba yang terikat ke dalam vesikel, dimana mikroba dimusnahkan (Gambar 12-4). Fagositosis merupakan sebuah proses pemangsaan partikel-partikel besar yang tergantung pada sitoskeleton (diameter > 0,5 μm). Sebuah fagosit menggunakan berbagai reseptor permukaan untuk mengikat sebuah mikroba dan memperpanjang tonjolan membran yang berbentuk gelas di sekitar mikroba. Ketika membran yang diperpanjang mencapai diameter partikel, bagian puncak tonjolan ini tertutup dan membentuk sebuah vesikel intraseluler. Vesikel ini, yang disebut fagosom, mengandung partikel asing dan terurai keluar dari membran plasma. Reseptor-reseptor fagosit pada permukaan sel melekatkan partikel ke membran fagosit dan mengirim sinyal-sinyal pengaktivasi yang teribat dalam pemangsaan partikel dan mengaktifkan aktivitas mikrobisida dari fagosit. Mikroba-mikroba yang dimangsa dimusnahkan; pada saat yang sama, peptida-peptida dihaislkan dari protein mikroba dan diteruskan ke limfosit T untuk memulai respon imun adaptif (lihat Bab 5).

Pembunuhan Mikroba Yang Tertelan (Mengalami Fagositosis)
   
Neutrofil-neutrofil yang teraktivasi dan makrofage membunuh mikroba-mikroba yang terfagositosis dengan menghasilkan molekul-molekul mikrobisida dalam fagolisosom (lihat Gambar 12-4). Beberapa reseptor yang mengenali mikroba, termasuk TLR, reseptor berpasangan-protein G, Fc dan reseptor C3, dan reseptor-reseptor untuk sitokin, utamanya IFN-γ, berfungsi untuk mengaktivasi fagosit-fagosit yang membunuh mikroba yang termangsa. Penggabungan vakuola-vakuola fagosi (fagosom) dengan lisosom menghasilkan pemebentukan fagolisosom, yang merupakan tempat dimana mekanisme-mekanisme mikrobisida terpusat. Makrofage-makrofage yang teraktivasi dan neutrofil mengubah oksigen molekuler menjadi intermediet oksigen reaktif (ROI), yang merupakan agen pengoksidasi yang sangat reaktif, yang memusnahkan mikroba (dan sel-sel lain). Sistem penghasil radikal bebas adalah sistem fagosit oksidase. Fagosit oksidase merupakan sebuah sistem multisubunit yang dirangkai pada fagosit-fagosit teraktivasi utamanya dalam membran fagolisosomal. Fagosit oksidase diinduksi dan diaktivasi oleh banyak stimuli, termasuk IFN-γ dan sinyal-sinyal dari TLR. Fungsi enzim ini adalah untuk mereduksi oksigen molekuler menjadi ROI seperti radikal-radikal superoksida, yang digunakan oleh enzim myeloperoksidase untuk mengkonversi ion-ion halida yang biasanya tidak reaktif menjadi asam-asam hypohalous reaktif yang bersifat toksik bagi bakteri. Proses dimana ROI terbentuk disebut sebagai respiratory burst. Penyakit yang disebut penyakit tranulomatous kronis disebabkan oleh kekurangan salah satu dari komponen fagosit oksidase yang sifatnya bawaan: defisiensi ini mengganggu kapasitas neutrofil untuk membunuh bakteri gram positif (lihat Bab 20).
   
Disamping ROI, makrofage menghasilkan senyawa intermediet nitrogen reaktif, utamanya nitrit oksida, melalui aksi enzim yang disebut nitrit oksida sintase inducible (iNOS). iNOS merupakan sebuah enzim sitosolik yang tidak terdapat pada makrofage yang istirahat tetapi bisa dirangsang ketika merespon terhadap LPS dan produk-produk mikroba lain yang mengaktivasi TLR, khususnya jika berkombinasi dengan IFN-γ. iNOS mengkatalisis konversi arginin menjadi citulline, dan gas nitrit oksida yang berdifusi bebas dilepaskan. Dalam fagolisosom, nitrit oksida bisa bergabung dengan hidrogen peroksida atau superoksida, yang dihasilkan oleh fagosit oksidase, untuk menghasilkan radikal-radikal peroksinitrit yang sangat reaktif dan dapat membunuh mikroba. Fungsi ROI dan nitrit oksida tunjukkan oleh penelitian yang menemukan bahwa knock-out mice yang kekurangan iNOS dan fagosit oksidase lebih rentan terhadap infeksi bakteri dibanding hewan lain yang tidak kekur
angan fagosit oksidase atau iNOS.
   
Neutrofil dan makrofage yang teraktivasi juga menghasilkan beberapa enzim protelitik dalam fagolisosom, yang berfungsi menghancurkan mikroba. Salah satu enzim penting dalam neutrofil adalah elastase, sebuah serin protease spektrum-luas yang diketahui diperlukan untuk membunuh berbagai jenis bakteri.
   
Apabila neutrofil dan makrofage teraktivasi optimal, mereka bisa menciderai jaringan host normal melalui pelepasan ROI, nitrit oksida, dan enzim lisosomal. Produk-produk mikrobisida dari sel-sel ini tidak membedakan antara jaringan host dan mikroba. Akibatnya, jika produk-produk ini memasuki lingkungan ekstraseluler, mereka mampu menyebabkan injury jaringan.

Fungsi efektor lain dari makrofage yang teraktivasi
   
Disamping membunuh mikroba-mikroba yang tertelan (mengalami fagositosis), makrofage memiliki banyak fungsi lain dalam pertahanan terhadpa infeksi (Gbr. 12-5). Banyak dari fungsi ini yang dimediasi oleh sitokin yang disebutkan pada Bab 11 sebagai sitokin kekebalan alami. Disamping sitokin-sitokin ini, makrofage menghasilkan IL-12, yang menstimulasi sel-sel NK dan sel-sel T untuk menghasilkan IFN-γ. LPS yang berkonsentrasi tinggi dapat menimbulkan penyakit sistemik yang ditandai dengan koagulasi, kerusakan vaskular, dan kelainan metabolik, semuanya adalah efek patologik dari kadar sitokin tinggi yang disekresikan oleh makrofage-makrofage teraktivasi (lihat Box 12-2). Makrofage teraktivasi juga menghasilkan faktor-faktor pertumbuhan untuk fibroblast dan sel-sel endothelial yang berpartisipasi dalam pemodelan ulang jaringan setelah infeksi dan injury. Fungsi efektor dari makrofage, dan peranannya dalam pertahanan host, dijelaskan secara lebih rinci pada Bab 13.

Sel-Sel NK
   
Sel-sel NK (Natural Killer) adalah sebuah sub-kelompok dari limfosit yang membunuh sel-sel yang terinfeksi dan sel-sel yang telah kehilangan kenampakan pada molekul MHC kelas I, dan mereka mengsekresikan sitokin, utamanya IFN-γ (Gambar 12-6). Peranan fisiologis mendasar dari sel NK adalah dalam pertahanan terhadap infeksi oleh virus dan beberapa mikroba intraseluler lainnya. Istilah natural killer berasal dari fakta bahwa jika sel-sel ini diisolasi ini darah atau lipa, mereka membunuh berbagai sel target tanpa memerlukan aktivasi tambahan. (Berbeda dengan itu, limfosit-limfosit T CD8+ perlu diaktivasi sebelum mereka berdiferensiasi menjadi limfosit-limfosit T sitolitik [CTL] dengan kemampuan untuk membunuh target). Sel NK berasal dari prekursor-prekursor sumsum tulang dan tampak sebagai limfosit-limfosit besar dengan banyak granula sitoplasmik, karena itu mereka terkadang disebut limfosit granular besar. Sel NK bukan limfosit T maupun B, dan mereka tidak menampakan reseptor antigen yang tertata ulang secara somatis dan terdistirbusi secara klonal seperti immunoglobulin atau reseptor sel T. sel-sel NK membentuk 5% hingga 20% dari sel-sel berinti tunggal dalam darah dan impa dan jarang pada oragan-organ limfoid yang lain.

Pengenalain sel-sel yang terinfeksi oleh sel NK
   
Aktivasi sel NK diregulasi oleh sebuah keseimbangan antara sinyal-sinyal yang diasilkan dari reseptor-reseptor pengkativasi dan reseptor-reseptor inhibitory (Gambar 12-7). Ada beberapa family reseptor ini, yang disebutkan secara rinci pada Box 12-3. Reseptor-reseptor tersusun atas rantai-rantai pengikat ligand dan rantai-rantai pensinyalan. Ligan-ligan untuk reseptor-reseptor pengaktivasi mencakup molekul-molekul yang ditampakkan pada permukaan sel-sel host yang terinfeksi atau tertekan, sehingga mempromosikan pengenalan sel-sel ini oleh sel-sel NK. Reseptor-reseptor inhibitory dari dari sel-sel NK terikat ke molekul-molekul MHC kelas I, yang ditampakkan pada kebanyakan sel normal. Ketika reseptor-reseptor inhibitory digunakan, sel NK tidak diaktivasi. Mekanisme ini mencegah pembunuhan sel-sel host normal. Infeksi sel-sel host, khususnya oleh beberapa virus, sering menyebabkan penghambatan kenampakan MHC kelas I, dan ligan-ligan untuk reseptor-reseptor sel NK inhibitory berkurang. Akibatnya, sel-sel NK dilepaskan dari keadaan normalnya (inhibisi). Pada saat yang sama, ligan-ligan untuk mengaktivasi reseptor ditampakkan, sehingga sel-sel yang terinfeksi akan terbunuh.
   
Salah satu sifat umum dari reseptor-reseptor pengaktivasi sel NK adalah keberadaan molekul-molekul pensinyalan dengan motif-motif aktivasi yang berbasis tirosin immunoreseptor (ITAM) pada ekor-ekor sitoplasmiknya, seperti pada komponen-komponen pensinyalan dari reseptor-reseptor antigen limfosit T dan B (lihat Bab 8 dan 9). Tidak mengeherankan, jalur pensinyalan yang digunakan oleh reseptor pengaktivasi sel NK melibatkan perekrutan dan aktivasi tirosin kinase dan protein adapter dan aktivasi transkripsi gen dan reorganisasi sitoskeletal, yang mirip dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada limfosit T dan B pada pengenalan antigen. Salah satu ciri umum dari reseptor-reseptor penghambatan sel-sel NK adalah rantai-rantai pensinyalan dengan motif-motif inhibitori berbasis tirosin immunoreseptor (ITIM) pada ekor-ekor sitoplasmiknya. Pada ligan yang terikat ke reseptor, ITIM ini menjadi terfosforilasi pada residu-residu tirosin dan mengikat tirosin fosfatase, seperti SHP-1, yang selanjutnya mendefosforilasi intermediet-intermediet pensinyalan dari jalur-jalur aktivasi.
   
Sel-sel NK juga mengenali target-target yang tertutupi antibodi  melalui FcγRIIIa (CD16), sebuah reseptor berafinitas rendah untuk protein Fc dari antibodi IgG1 dan IgG3. Sebagai akibat dari pengenalan ini, sel-sel NK membunuh sel-sel target yang telah ditutupi dengan molekul-molekul antibodi. Proses ini, yang disebut sitotoksisitas termediasi-sel dependen-antiobodi akan dijelaskan secara lekbih rinci di Bab 14 ketika kita membahas mekanisme efektor dari sistem kekebalan humoral.
   
Ekspansi dan aktivitas sel-sel NK juga distimulasi oleh sitokin, utamanya IL-15 dan IL-12. IL-15, yang dihasilkan oleh makrofage dan berbagai tipe sel lainnya, merupakan sebuah faktor pertumbuhan untuk sel-sel NK, dan knockout mice yangkekurangan IL-15 atau reseptornya menunjukkan kekurangan jumlah sel NK yang menonjol. IL-12 sitokin yang berasal dari makrofagemerupakan penginduksi yang baik untuk produksi IFN-γ sel NK dan aktivitas sitolitik. IL-8 bisa memperbesar aksi-aksi dari IL-12 ini. Ingat bahwa IL-12 dan IL-18 juga menstimulasi produksi IFN-γ oleh sel-sel T dan dengan demikian menjadi partisipan pokok dalam produksi IFN-γ dan aktivasi makrofage selanjutnya yang diperantarai oleh IFN-γ baik pada sistem kekebalan alami maupuan pada sistem kekebalan adaptif. IFN tipe I, IFN-α dan IFN-β, juga mengaktivasi potensial sitolitik dari sel-sel NK, kemungkinan dengan meningkatkan kenampakan reseptor-reseptor IL-2 dan juga daya respon terhadap IL-12. IL-15, IL-12, dan IFN tipe I dihasilkan oleh makrofage sebagai respon terhadap infeksi, sehingga ketiga sitokin mengaktivasi sel-sel NK pada sistem kekebalan alami. Konsentrasi IL-2 yang tinggi juga menstimulasi aktivitas-aktivitas sel-sel NK, dan dengan cara ini sel-sel NK bisa berfungsi dalam sistem kekebalan adaptif yang diperantarai sel T.
Fungsi-fungsi efektor dari sel NK
   
Fungsi-fungsi efektor dari sel-sel NK adalah membunuh sel-sel yang terinfeksi dan mengaktivasi makrofage untuk memusnahkan mikroba-mikroba yang tertelan (Lihat Gbr. 12-6). Mekanisme sitolisis yang perantarai sel BK hampir sama seperit sitolisis oleh CTL (lihat Bab 13). Sel-sel NK, seperti halnya CTL, memiliki granula-granula yang mengandung sebuah protein yang disebut perforin, yang membentuk pori pada membran-membran sel target, dan enzim yang disebut granzim, yang masuk ke membran traget sel traget dan menginduksi apoptosis sel-sel target. Dengan membunuh sel-sel yang terinfeksi oleh virus dan bakteri intraseluler, sel-sel NK menghilangkan pembawa infeksi. Beberapa tumor, khususnya yang asalnya hematopoietik, adalah target dari sel-sel NK, kemungkinan karena tumor-tumor ini tidak menampakkan kadar normal atau tipe molekul MHC kelas I, seperti IFN-γ yang diproduksi oleh sel-sel T, dan meningkatkan kapasitas makrofage untuk membunuh bakteri yang tertelan (lihat Bab 13).
   
Sel-sel NK memegang beberapa peranan penting dalam pertahanan terhadap mikroba-mikroba intraseluler. Mereka membunuh sel-sel yang terinfeksi virus sebelum CTL yang spesifik-antigen bisa menjadi aktif sepenuhnya, yakni, selama beberapa hari pertama setelah infeksi virus. Pada awal perjalanan infeksi virus, sel-sel NK berekspansi dan diaktivasi oleh sitokin-sitokin sistem kekebalan alami, seperti IL-12 dan IL-15, dan mereka membunuh sel-sel yang terinfeksi, khususnya yang menunjukkan kadar molekul kelas I berkurang. Disamping itu, IFN-γ yang disekresikan oleh sel-sel NK mengaktivasi makrofage untuk memusnahkan mikroba-mikroba yang tertelan. Reaksi makrorage - sel NK yang tergantung IFN-γ ini bisa mengontrol sebuah infeksi oleh bakteri intraseluler seperti Listeria monocytogenes selama beberapa hari atau pekan sehingga memungkinkan untuk berkembangnya kekebalan yang diperantarai sel T dan membasmi infeksi. Pengurangan sel-sel NK mengarah pada meningkatnya kerentanan terhadap infeksi oleh beberapa virus dan bakteri intraseluler. Pada mencit yang kekurangan sel T, respon NK biasanya cukup untuk mengatasi infeksi mikroba seperti ini, tetapi hewan pada akhirnya akan mati jika tidak ada kekebalan yang diperantarai sel-T. Sel-sel NK juga bisa membunuh sel-sel terinfeksi yang mencapai untuk menghindari serangan kekebalan yang diperantarai-CTL dengan mereduksi kenampakan molekul-molekul MHC kelas I.
   
Karena sel-sel NK bisa membunuh sel-sel tumor tertentu, telah diusuklan bahwa sel-sel NK berfungsi untuk membunuh klon-klon ganas secara in vivo. Akan tetapi, infiltrat-infiltrat inflammatory yang terkait tumor biasanya tidak mengandung banyak sel NK.

Sistem Komplemen
   
Sistem komplemen terdiri dari beberapa protein plasma yang diakvitasi oleh mikroba dan mempromosikan kerusakan mikroba dan inflamasi. Pengenalan mikroba oleh komplemen terjadi dalam tiga cara (Gambar 12-8). Jalur klasik, disebut demikian karena pertama kali ditemukan, menggunakan protein plasma yang disebut C1 untuk mendeteksi antibodi IgM, IgG1, atau IgG3 yang terikat pada permukaan sebuah mikroba atau struktur lain. Jalur alternatif, yang ditemukan selanjutnya tetapi secara filogenetik lebih tua dari jalur klasik, dipicu oleh pengenalan langsung struktur permukaan mikroba tertentu dan juga komponen sistem kekebalan alami. Jalur lectin dipicu oleh sebuah protein plasma yang disebut lecin pengikat mannosa (MBL), yang mengenali residu-residu mannosa terminal pada glikoprotein mikroba dan glikolipid. MBL yang terikat pada mikroba mengaktivasi salah satu dari protein jalur klasik, tanpa adanya antibodi, melalui aksi serin protease terkait. Pengenalan mikroba oleh setiap dari jalur ini menghasilkan perekrutan berurutan dan perakitan protein komplemen tambahan menjadi kompleks protease. Protein pokok dalam sistem komplemen, C3, terpecah, dan fragmen C3b nya yang lebih besar dijatuhkan pada permukaan mikroba dimana komplemen diaktivasi. C3b menjadi terikat secara kovalen terhadap mikroba dan berfungsi sebagai sebuah opsonin untuk mempromosikan fagositosis mikroba. Fragmen yang lebih kecil dari perpecahan C3 tersebut, yakni C3a, dilepaskan dan menstimulasi inflamasi dengan bertindak sebagai kemoatraktan untuk neutrofil. C3b mengikat protein-protein komplemen lain untuk membentuk sebuah protease yang membelah sebuah protein yang disebut C5, menghasilkan sebuah peptida tersekresi (C5a) dan sebuah fragmen lebih besar (C5b) yang tetap melekat pada membran-membran sel mikroba. C5a menstimulasi influks neutrofil ke tempat infeksi serta komponen vaskular inflamasi akut. C5b menginisiasi pembentukan sebuah kompleks dari protein-protein komplemen C6, C7, C8 dan C9, yang dirakit menjadi sebuah pori membran yang menyebabkan lisis sel dimana komplemen diaktivasi. Sel-sel mamalia menampakkan beberapa protein regulatory yang menghambat aktivasi komplemen dan mencegah injury pada sel-sel host. Sistem komplemen akan dibahas lebih rinci pada Bab 14.

Protein-Protein Efektor Bersirkulasi Lainnya dari Kekebalan Alami
   
Banyak protein plasma, disamping anggota sistem komplemen, terlibat dalam respon kekebalan alami terhadap mikroba (lihat Tabel 12-3). Lectin pengikat-mannosa, yang disebutkan sebelumnya, adalah sebuah protein plasma yang berfungsi sebagai sebuah opsonin. Protein ini termasuk ke dalam family collectin, disebut demikian karena protein-protein ini mengandung sebuah domain mirip-kolagen yang dipisahkan oleh sebuah area batas dari domain lectin yang dependen-kalsium (tipe-C) (yaitu yang mengikat karbohidrat). MBL plasma, seperti reseptor mannosa makrofage, mengikat karbohidrat dengan mannosa dan fukosa terminal, yang biasanya ditemukan pada glikoprotein permukaan sel mikroba dan glikolipid. Sehingga, MBL merupakan sebuah reseptor pengenal pola terlarut yang terikat ke mikroba tetapi tidak ke sel mamalia. MBL merupakan sebuah heksamer yang secara struktural mirip dengan komponen C1q dari sistem komplemen (lihat Bab 14). MBL terikat ke sebuah reseptor permukaan makrofage yang disebut reseptor C1q karena juga mengikat C1q. Reseptor ini memediasi fagositosis mikroba yang diopsonisasi oleh MBL. Lebih daripada itu, MBL bisa mengaktivasi sistem komplemen, seperti yang dibahas sebelumnya di
Bab 14.
   
Protein reaktif-C merupakan sebuah protein plasma yang diidentifikasi dan dikenal kerana kemampuannya mengikat kapsul-kapsul bakteri pneumokokkal. Protein ini termasuk ke dalam family pentraxin dari protein plasma, disebut demikian karena mengandung lima sub-unit globular yang identik. Protein reaktif-C biasanya terikat ke fosfolipid bakteri seperti fosforilcholine. Protein ini berfungsi sebagai opsonin dengan cara mengikat C1q dan berinteraksi dengan reseptor-reseptor C1q fagosit atau dengan terikat secara langsung ke reseptor-reseptor Fcγ. Protein reaktif-C juga bisa memberikan kontribusi bagi aktivasi komplemen melalui perlekatannya ke C1q dan aktivasi jalur klasik. Protein reaktif-C disebut juga reaktan fase-akut karena kadar plasmanya meningkat selama tahap-tahap akut dari berbagai infeksi.

Faktor-faktor koagulasi adalah protein-protein plasma yang berfungsi utama untuk mencegah perdarahan dengan membentuk sebuah thrombus pada tempat-tempat dimana integritas pembuluh darah menjadi rusak. Protease, seperti thrombin, yang dihasilkan selama pembentukan bekuan darah memicu reaksi-reaksi inflammatory. Disamping protein-protein yang bersirkulasi, protein-protein surfaktan pada paru-paru, yang juga termasuk family kolektin, melindungi saluran udara dari infeksi.

Sitokin
   
Sitokin dari sistem kekebalan alami merekrut dan mengaktivasi leukosit-leukosit dan menghasilkan perubahan-perubahan sistemik, termasuk peningkatan sintesis sel-sel efektor dan protein yang meningkatkan respon-respon antimikroba. Pada sistem kekebalan alami, sumber utama dari sitokin adalah makrofage, neutrofil, dan sel-sel NK, tetapi sel-sel endothelial dan beberapa sel epithelial seperti keratinosit menghasilkan banyak protein yang sama. Seperti pada sistem kekebalan adaptif, sitokin-sitokin berfungsi untuk menyampaikan informasi diantara sel-sel jaringan responsif, seperti sel-sel endothelial vaskular.
   
Sitokin dari sistem kekebalan alami telah disebutkan pada Bab 11 dan mencakup sitokin-sitokin yang mengendalikan infeksi-infeksi virus, yaitu, IFN-α dan IFN-β; sitokin-sitokin yang memediasi inflamasi, yaitu, TNF, IL-1, dan chemokin;sitokin yang menstimulasi proliferasi dan aktivitas sel-sel NK, yaitu, IL-15 dan IL-12; sitokin yang mengaktivasi makrofage, khususnya IFN-γ yang diperoleh dari sel NK; dan sitokin-sitokin yang berfungsi membatasi aktivasi makrofage, khususnya IL-10. Disamping itu, beberapa sitokin dari sistem kekebalan alami, seperti IL-6, meningkatkan produksi sumsum tulang dari neutrofil dan sintesis berbagai protein yang terlibat dalam pertahanan host, seperti protein reaktif-C.

Peranan sistem kekebalan alami dalam pertahanan lokal dan sistemik terhadap mikroba

    Reaksi lokal awal dari sistem kekebalan alami merupakan respon inflammatory, dimana leukosit-leukosit ditarik ke tempat infeksi dan diaktivasi untuk memberantas infeksi. Fungsi inflamasi adalah untuk memusnahkan mikroba-mikroba yang menginvasi dengan menyebabkan sel-sel efektor bersentuhan dengan mikroba-mikroba yang menginvasi pada sebuah jaringan yang terinfeksi. Seperti yang dibahas sebelumnya, inflamasi sebagai respon terhadap mikroba diawali oleh sitokin, khususnya TNF, IL-1, dan chemokin, yang beraksi pada sel-sel endothelial dan leukosit untuk merekrut dan mengaktivasi leukosit-leukosit. Produk-produk mikroba, seperti LPS, dan faktor koagulasi teraktivasi, seperti thrombin, juga bisa beraksi secara langsung terhadap sel-sel endothelial untuk mempromosikan jenis-jenis perubahan yang sama yang ditimbulkan oleh sitokin. Sitokin menstimulasi kenampakan molekul-molekul adhesi yang mengikat leukosit-leukosit darah dan menginisiasi penarikan sel-sel ini ke tempat-tempat infeksi. Produk-produk mikroba, (seperti peptida N-formylmetinoil), chemokin, peptida yang berasal dari komplemen (seperti C5a), dan mediator-mediator lipid seperti leukotrien B4 beraksi pada leukosit-leukosit untuk menstimulasi migrasi dan mengaktivasi fungsi-fungsi mikrobisida. Komposisi leukosit-leukosit inflammatory dalam jaringan berubah seiring dengan waktu dari yang kaya neutrofil menjadi kaya sel, yang merupakan sebuah cerminan dari perubahan penarikan lekosit dan cakupan hidup yang singkat dari leukosit. Makrofage yang direkrut ke tempat-tempat infeksi diaktivasi oleh produk-produk mikroba dan oleh IFN-γ

Pentingnya sistem-kekebalan alami dalam mengontrol infeksi dapat diilustrasikan dengan baik oleh perjalanan infeksi L. monocytogenes pada mencit-mencit yang mengalami immunodefisiensi parah. Mencit-mencit ini kekurangan lifmsoti T dan B. Infeksi L. monocytogenes menimbulkan respon neutrofil yang cepat, diikuti dengan sebuah respon makrofage, yang dapat mengontrol infeksi selama beberapa hari atau beberapa pekan. Akan tetapi, tanpa adanya kekebalan adaptif, infeksi tidak akan pernah bisa diberantas seluruhnya, dan hewan-hewan ini pada akhirnya mati.
   
Inflamasi biasanya menyebabkan sedikit kerusakan jaringan disamping yang disebabkan oleh mikroba itu sendiri. Pada beberapa kasus, respon inflammatory host itu sendiri memperburuk jumlah kerusakan yang dihasilkan oleh mikroba. Contoh sederhana adalah injury yang disebabkan oleh LPS, yang bisa merusak sel-sel endothelial dan menyebabkan thrombosis vaskular dan injury ischemik terhadap jaringan-jaringan yang terinfekis (lihat Box 12-2).
   
Inflamasi menghasilkan berbagai perubahan-perubahan sistemik dalam host yang meningkatkan kemampuan sistem kekebalan alami untuk memusnahkan infeksi dan, pada infeksi yang parah, bisa menyebabkan injury atau kematian jaringan sistemik. Perubahan-perubahan ini dianggap diperantarai oleh aksi-aksi endokrin dari sitokin dan biasanya disebut sebagai respon fase-akut atau sindrom respon inflammatory sistemik (lihat Box 12-2). Respon ini terdiri dari produksi leukosit yang meningkat; demam, yang meningkatkan kekebalan terhadap infeksi dengan mekanisme yang belum diketahui; dan perubahan kadar dari beberapa protein plasma. Konsentrasi plasma dari protein komplemen, fibrinogen, protein reaktif-C, dan protein A amyloid serum biasanya meningkat. Seperti yang dibahas sebelumnya, komplemen, fibrinogen, dan protein reaktif-C semunya memegang peranan langsung dalam pertahanan host. Pada kasus-kasus ekstrim dari infeksi parah, respon sistemik bisa mengarah para shock, koagulasi dengan kegagalan multi-organ, dan bahkan kematian.

Peranan Sistem Kekebalan Alami dalam Menstimulasi Respon Kekebalan Adaptif

Respon kekebalan alami memberikan sinyal yang berfungsi selaras dengan antigen untuk menstimulasi perkembang-biakan dan diferensiasi limfosit T dan B yang spesifik-antigen (Gambar 12-9). Hipotesis dua-sinyal dijelaskan di Bab 1, dengan konsep bahwa sinyal 1 selalu adalah antigen dan sinyal 2 adalah produk mikroba atau komponen dari respon kekebalan alami yang mengidentifikasi antigen sebagai sebuah produk mikroba (lihat Bab 1, Gambar 1-8). Sehingga, sistem kekebalan alami berfungsi sebagai sinyal peringatan awal untuk sistem kekebalan adaptif agar memberikan respon host protektif. Mikroba-mikroba yang menempati host mereka tanpa menimbulkan reaksi kekebalan alami dengan inflamasi lokal juga bisa gagal menstimulasi kekebalan adaptif selanjutnya. Molekul-molekul yang dihasilkan selama reaksi kekebalan alami yang berfungsi sebagai sinyal kedua untuk aktivasi limfosif adalah kostimulator, sitokin, dan produk penguraian komplemen.
   
Kostimulator adalah protein-protein membran yang ditampakkan pada sle-sel yang menampakkan antigen (APC) yang berfungsi bersama-sama dengan antigen yang ditampakkan untuk menstimulasi limfosit T spesifik. Pada Bab 6 dan 8, kita menjelaskan kostimulator untuk sel-sel T, yang paling jelas diantaranya adalah dua protein yang serupa secara struktural yang disebut B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86). Ketika APC menemukan produk-produk mikroba, seperti LPS, dan IFN-γ yang dihasilkan oleh sel-sel NK, APC merespon dengan menampakkan kadar B7-1 dan B7-2 yang tinggi dan dengan demikian memiliki kemampuan untuk menstimulasi respon sel T. Ketika merespon terhadap mikroba, makrofage dan sel-sel dendiritik juga menghasilkan sitokin-sitokin yang mempromosikan pertumbuhan dan diferensiasi limfosit-limfosit T. Prototype dari sitokin  seperti ini adalah IL-12, yang menstimulasi limfosit-limfosit T naif untuk berkembang menjadi sel-sel efektor TH1 yang menghasilkan IFN-γ. Sehingga, IL-2 yang dihasilkan dari fagosit merupakan sebuah perangsang kunci untuk kekebalan yang diperantarai sel, reaksi yang berfungsi utamanya untuk memberantas mikroba-mikroba yang telah terfagositosis (lihat Bab 13, Gambar 13-8).
   
Sinyal kedua yang paling jelas untuk aktivasi sel B adalah sebuah protein komplemen yang disebut C3d, sebuah produk penguraian dari C3. Mikroba-mikroba yang mengaktivasi sistem komplemen, baik secara langsung atau setelah pengikatan antibodi atau MBL plasma, dan mikroba menjadi terlapisi oleh produk penguraian C3, termasuk C3d. Reseptor-reseptor untuk C3d, yang disebut reseptor komplemen tipe 2 (CR2 atau CD21), ditampakkan pada limfosit B dewasa. Ketika limfosit B mengenali sebuah antigen mikroba melalui reseptor antigennya dan secara simultan mengenali C3d yang terikat melalui reseptor komplemen, maka sel-sel B akan teraktivasi. Aktivasi seperti ini menghasilkan respon antibodi terhadap antigen (lihat Bab 9, Gambar 9-5). Peranan penting dari sistem komplemen dalam respon kekebalan humoral ditunjukkan oleh ketiadaan respon seperti ini dalam knockout mice yang kekurangan baik protein komplemen C3 maupun CR2.
   
Sinyal-sinyal kedua yang dihasilkan selama respon kekebalan alami terhadap berbagia mikroba tidak hanya meningkatkan besarnya respon kekebalan adaptif selanjutnya tetapi juga mempengaruhi sifat respon adaptif (lihat Gambar 12-9). Pada infeksi yang disebabkan oleh mikroba-mikroba intraseluler, fagosit atau mikroba mengenali mikroba-mikroba dan merespon dengan menampakkan kostimulator dan menghasilkan sitokin-sitokin yang menstimulasi kekebalan yang diperantarai sel T. Fungsi utama dari kekebalan yang diperantarai sel adalah mengaktivasi makrofage untuk membunuh mikroba-mikroba intraseluler. Sebaliknya, banyak mikroba ekstraseluler yang memasuki darah mengaktivasi preotein-protein komplemen yang bersirkulasi, yang pada gilirannya meningkatkan produksi antibodi oleh limfosit-limfosit B. respon kekebalan humoral ini berfungsi untuk memusnahkan mikroba-mikroba ekstraseluler. Sehingga, kerjasama antara kekebalan alami dan kekebalan adaptif bersifat dua arah, dimana masing-masing tergantung pada komponen yang lain untuk mengoptimalkan pertahanan host terhadap infeksi.
   
Peranan sistem kekebalan alami dalam menstimulasi respon kekebalan adaptif adalah dasar dari aksi semua adjuvant (pembantu) (lihat Bab 5), yang merupakan zat-zat yang perlu diberikan bersama dengan antigen protein untuk memberikan respon kekebalan dependen-sel T yang maksimal. Banyak adjuvant efektif yang merupakan produk mikroba, seperti mikobakteria yang telah terbunuh dan LPS, yang menghasilkan reaksi-reaksi kekebalan alami kuat dan inflamasi pada tempat masuknya antigen. Sehingga, adjuvant menstimulasi kenampakan kostimulator pada makforage dan APC lain dan sekresi sitokin seperti IL-12. Akibatnya, pemberian antigen protein dengan adjuvant akan mempromosikan sistem kekebalan yang diperantai sel dan produksi antibodi yang dependen-sel T. dengan cara ini, adjuvant efektif mengkonversi sebuah antigen nonmikroba yang iner menjadi sebuah tiruan mikroba. Vaksin paling efektif untuk menghasilkan respon kekebalan spesifik pada saat diberikan secara subkutaneous atau intradermal bersana dengan adjuvant. Adjuvant untuk digunakan pada manusia dirancang untuk menstimulasi sistem kekebalan alami dengan jumlah inflamasi patologi yang minimal.

Ringkasan

Sistem kekebalan alami menjadi sistem pertahanan host yang pertama terhadap mikroba. Mekanisme sistem kekebalan alami terjadi sebelum keterpaparan terhadap mikroba. Komponen sistem kekebalan alami mencakup pembatas epitelial, leukosit (neutrofil, makrofage, dan sle-sel NK), protein efektor yang bersirkulasi (komplemen, kolektin, pentraksin), dan sitokin (seperti, TNF, IL-1, chemokin, IL-12, IFN tipe I, dan IFN-γ)

Sistem kekebalan alami menggunakan reseptor-reseptor pengenalan pola untuk mengenali struktur-struktur yang dimiliki bersama oleh mikroba, tidak terdapat pada sel-sel mamalia, dan esensial untuk kelangsungan hidup mikroba, sehingga membatasi kapasitas mikroba untuk menghindari pendeteksian.

Nenutrofil dan makrofage adalah fagosit-fagosit yang membunuh mikroba-mikroba yang tertelan (ingested) dengan menghasilkan ROI, nitrit oksida, dan enzim-enzim dalam fagolisosom. Makrofage juga menghasilkan sitokin-sitokin yang menstimulasi inflamasi dan mempromosikan pemodelan-ulang jaringan pada tempat-tempat infeksi. Fagosit mengenali dan merespon terhadap produk-produk mikroba melalui beberapa tipe reseptor berbeda, termasuk reseptor TLR, reseptor mannosa, dan reseptor berpasangan protein G.

Sel-sel NK adalah limfosit-lifmosit yang memberikan pertahanan terhadap mikroba-mikroba intraseluler dengan membunuh sel-sel terinfeksi dan menjadi sumber sitokin pengaktivasi makrofage, IFN-γ. Pengenalan sel NK terhadap sel-sel terinfeksi diatur oleh kombinasi antara reseptor pengaktivasi dan reseptor inhibitory. Reseptor inhibitory mengenali molekul-molekul MHC kelas 1, karena itu sel-sel NK tidak membunuh sel-sel host normal tetapi membunuh sel-sel dimana kenampakan MHC kelas I berkurang, seperti sel-sel yang terinfeksi virus.

Sistem komplemen diaktivasi oleh mikroba, dna produk aktivasi komplemen mempromosikan fagositosis dan pembunuhan mikroba dan menstimulasi inflamasi. Protein-protein plasma lain dari sistem kekebalan alami mencakup lectin pengikat mannosa dan protein reaktif-C.

Sitokin-sitokin berbeda dari sistem kekebalan alami menarik dan mengaktivasi leukosit (seperti TNF, IL-1, chemokin), meningkatkan aktivitas mikrobisida dari fagosit (IFN-γ), dan menstimulasi respon sel NK dan sel T (IL-12). Pada infeksi-infeksi yang parah, produksi sitokin sistemik yang berlebih cukup berbahaya dan bahkan bisa menyebabkan kematian host.
Molekul-molekul yang dihasilkan selama terjadinya respon kekebalan alami menstimulasi kekebalan adaptif dan mempengaruhi sifat-sifat respon kekebalan adaptif. Makrofage-makrofage diaktivasi oleh mikroba-mikroba dan oleh IFN-γ menghasilkan kostimulator yang meningkatkan aktivasi sel T dan IL-12, yang menstimulasi produksi IFN-γ oleh sel T dan perkembangan IFN-γ yang menghasilkan sel-sel T efektor. Fragmen-fragmen komplemen yang dihasilkan oleh jalur alternatif memberikan sinyal-sinyal kedua untuk aktivasi sel B dan produksi antibodi.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...