Tuesday, April 6, 2010

Limfogranuloma vereneum (LGV)

Limfogranuloma vereneum (LGV) merupakan sebuah infeksi yang tertularkan secara seksual (STI) yang disebabkan oleh serovar unik dari Chlamydia trachomatis (L1, L2, L3) yang  berbeda dengan serovar yang biasanya menyebabkan uretritis, cervicitis, dan proctitis (A-K). Penyakit ini hanya terjadi secara sporadis di Amerika Utara tetapi menjadi endemik di berbagai daerah di negara-negara berkembang. Sebuah perjangkitan terbaru LGV proctocolitis telah dilaporkan diantara pria yang melakukan hubungan seks dengan pria di Amerika Utara dan Eropa. Banyak dari individu ini yang terinfeksi ganda dengan HIV.
  
HIV merubah riwayat alami dan respons terhadap terapi berbagai infeksi STI; akan tetapi, dampaknya terhadap LGV masih belum jelas. Belum ada bukti terbaru yang mendukung perbedaan dalam hal akuisisi, riwayat alami, atau respons terhadap terapi LGV jika disertai dengan infeksi HIV.

Rekomendasi
  
Dokter harus memasukkan LGV sebagai bagian dari diagnosis banding dari penyakit ulser genital, limfadenopati inguinal, atau proctocolitis, khususnya pada pria yang melakukan seks dengan pria.

LGV berkembang dalam beberapa tahapan klinis. Masa inkubasi adalah antara 3 hari sampai 1 bulan setelah keterpaparan. Infeksi pada awalnya ditandai dengan papula, vesikula, atau ulser tidak nyeri yang kecil dan sering tidak mengganggu kenampakan fisik, yang sering diremehkan oleh pasien. Lesi ini terjadi pada tempat yang bersentuhan dengan pasangan yang terinfeksi sehingga bisa melibatkan hampir semua aspek jaringan genital atau rektal. Lesi-lesi pada uretra atau serviks bisa memicu gejala-gejala uretritis atau cervicitis. Dari waktu ke waktu, lesi-lesi utama ini sembuh meski tanpa terapi.
  
Tanda LGV adalah limfadenopati lunak unilateral atau bilateral yang secara perlahan berkembang 2 sampai 6 pekan setelah lesi utama terjadi. Limfadenopati bisa terkait atau tidak terkait dengan tanda-tanda limfangitis. Kelenjar getah bening yang terlibat meningkat ukurannya dengan cepat, dan nyeri serta eritema cukup umum. Jika berdekatan satu sama lain, beberapa kelenjar getah bening yang terlibat bisa bergabung. Daerah-daerah sentral dari kelenjar getah bening seperti ini selanjutnya bisa mengalami nekrosis. Kelenjar getah bening yang fluktuan dan bernanah terjadi, menyebabkan “bubo” klasik dari LGV. Bubo kemudian bisa pecah dan mengeluarkan material purulen, yang terkait dengan peringanan gejala-gejala. “Tanda groove” yang karakteristik dari LGV terlihat jika inguinal dan femoral nodes terlibat. Bubo yang sedang sembuh bisa menghasilkan scarring signifikan. Pada wanita, pola drainase limfatik menghasilkan keterlibatan potensial kelenjar getah bening pelvis dengan disertai nyeri pelvis, abdominal dan nyeri pinggang bawah.
  
Pada pria dan wanita, infeksi yang terjadi sebagai akibat dari hubungan seks anal bisa menyebabkan proctocolitis. Gejala-gejala mencakup demam, nyeri, tenesmus, dan keluar cairan rektal berdarah. Ulserasi mukosa kolonik terbentuk dan bisa digantikan oleh daerah jaringan granulasi yang meluas secara progresif, yang akan mengarah pada fistula dan striktur. Untuk alasan-alasan ini, LGV terkadang salah didiagnosa sebagai penyakit Crohn. Yang perlu diperhatikan, serovar non-LGV juga terkadang menyebabkan bentuk yang kurang agresif dari proctocolitis. LGV invasif ditandai dengan gejala-gejala konstitusional seperti demam, menggigil, dan malaise. Superinfeksi dengan spesies bakteri lain juga bisa memperumit presentasi.

DIAGNOSIS
  
Dokter harus mendiagnosa LGV dengan adanya temuan-temuan klinis yang konsisten, seperti limfadenopati inguinal dan proctocolitis erosif, serta ketiadaan patologi yang dapat ditemukan lainnya.
  
Diagnosis LGV paling umum ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang konsisten. Tidak ada uji diagnostik terpercaya yang tersedia yang bisa secara konsisten membantu dokter untuk menegakkan diagnosis LGV.
  
Walaupun pengujian langsung untuk Chlamydia trachomatis bisa dilakukan dengan menggunakan uji amplifikasi asam nukleat (NAAT), kultur sel, atau uji imunofluoresensi, tes-tes ini telah membatasi keteraplikasian untuk LGV sebagai akibat dari kurangnya kesensitifan atau spesifitas serovar spesifik ini. Disamping itu, NAAT yang tersedia secara komersial untuk chlamydia tidak disetujui oleh FDA untuk penggunaan pada spesimen-spesimen rektal. Spesimen urin, uretral, dan servikal yang positif uji untuk Chlamydia trachomatis dengan menggunakan tes-tes yang disetujui FDA tidak memberikan penentuan-genotip (genotyping) yang diperlukan untuk penentuan serovar LGV. Spesimen-spesimen seperti ini, serta yang berasal dari hapusan rektal dan material purulent yang diaspirasi dari bubo, bisa menghasilkan sebuah spesimen diagnostik yang bermanfaat dimana penentuan genotip serovar spesifik-LGV bisa dilakukan; akan tetapi, genotyping hanya bisa dilakukan pada laboratorium tertentu. Dokter yang tertarik pada uji seperti ini harus menghubungi departemen kesehatan setempat untuk instruksi tentang pengumpulan spesimen yang baik. Akan tetapi, pengobatan tidak perlu menunggu penentuan serovar LGV.
  
Pengujian serologik untuk chlamydia, termasuk fiksasi komplemen (CF) dan mikroimunofluoresensi (IMF), belum dijadikan sebagai standar, dan hasil dari laboratorium ke laboratorium bisa bervariasi. Uji-uji serologik tidak membedakan antara serovar LGV dan non-LGV. Ketika uji serologik dilakukan, kadar antibodi serum yang lebih tinggi bisa ditemukan dengan adanya infeksi LGV dibanding dengan infeksi chlamydia non-LGV akibat sifat invasif dari LGV. Titer CF > 1:64 dan titer MIF > 1:256 sangat menunjukkan LGV, khususnya ketika disertai oleh temuan klinis yang konsisten. Penelitian belum menunjukkan parameter uji LGV yang berubah dengan adanya HIV; akan tetapi, ada kemungkinan bahwa uji serologik akan kurang spesifik.

PENGOBATAN
  
Doksisiklin (100 mg PO dua kali sehari) selama 21 hari merupakan resimen pengobatan yang dipilih untuk LGV. Pengobatan tidak boleh menunggu penentuan serovar, bahkan dalam konteks dokter yang memilih untuk menyelidiki penentuan genotip yang spesifik LGV.
  
Pengobatan yang dipilih untuk LGV adalah doksisiklin 100 mg PO dua kali sehari selama 21 hari. Tetrasiklin lainnya bisa digunakan sebagai alternatif. Data yang mendukung penggunaan alternatif-alternatif non-tetrasiklin masih terbatas. Eritromisin 500 mg PI empat kali sehari selama 21 hari merupakan alternatif standar, walaupun frekuensi penentuan dosis dan gangguan gastrointestinal membatasi penggunaannya. Beberapa ahli telah merekomendasikan azitromycin 1g  PO sekali sepekan selama 3 pekan, tetapi data yang mendukung opsi ini masih kurang. Tidak ada data yang mendukung penggunaan resimen-resimen alternatif pada pasien yang terinfeksi HIV.
  
Pada individu yang memiliki limfadenopati inguinal membengkak, lunak, peringanan bisa dicapai dengan aspirasi cepat atau insisi dan drainase.

PENATALAKSANAAN PASANGAN
  
Dokter harus mempertimbangkan keterpaparan HIV dan keterpaparan STI terhadap pasangan ketika pasien yang terinfeksi HIV mengalami STI baru. Dokter juga harus menilai keberadaan infeksi-infeksi STI lainnya.

A. Penatalaksanaan keterpaparan HIV
  
Apabila pasien yang terinfeksi HIV mengalami STI baru, maka dokter harus mendorong pasangan pasien tersebut untuk menjalani pengujian HIV pada awal pemeriksaan, 1, 3, dan 6 bulan. Di New York, jika hasil tes positif, uji Western blot harus dilakukan untuk menguatkan diagnosis infeksi HIV.
  
Dokter harus waspada terhadap setiap penyakit demam akut pasca- keterpaparan yang disertai oleh ruam, limfadenopati, myalgia, dan/atau luka tenggorokan. Jika pasangan pasien memiliki tanda-tanda dan gejala-gejala serokonversi HIV akut, PCR RNA kuantitatif harus diperoleh, dan konsultasi dengan seorang spesialis HIV harus dilakukan. Uji RNA positif harus dikuatkan dengan pengujian antibodi HIV yang dilakukan dalam 6 pekan uji RNA.
  
Dokter harus menawarkan bantuan dengan pemberitahuan pasangan pasien jika diperlukan.
  
Presentasi dengan sebuah infeksi STI baru pada pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan keterpaparan HIV terhadap pasangannya. Dalam hal ini, menawarkan nPEP HIV kepada pasangan pasien biasanya tidak menjadi pilihan karena periode sebelum onset gejala STI biasanya lebih lama dari 36 jam untuk memulai nPEP HIV. Dengan demikian, pengujian HIV sekuensial terhadap pasangan untuk identifikasi dini akuisis HIV potensial harus dilakukan. Akan tetapi, jika seorang pasien dengan keterpaparan HIV menunjukkan gejala dalam 36 jam, nPEP harus dipertimbangkan.

B. Penatalaksanaan keterpaparan LGV
  
Dokter harus mendorong pasangan pasien dengan LGV yang memiliki keterpaparan yang terjadi dalam 60 jam sebelum onset gejala untuk diperiksa dan diobati dengan doksisiklin selama 21 hari.
  
Partner pasien dengan LGV yang memiliki kontak seksual dalam 60 hari sebelum onset gejala harus diperiksa dan diobati. Tidak ada yang bisa mendasari interval kontak optimal yang telah dipublikasikan; beberapa dokter bisa mengobati pasangan pasien yang memiliki keterpaparan yang terjadi sampai 6 bulan sebelum onset gejala pasien.
  
Lama pengobatan LGV yang sesuai pada kontak seksual yang asimptomatik masih sedang diteliti. Di New York, sesuai dengan panduan-panduan pengobatan untuk kontak penyakit tertularkan seksual lainnya, doksisiklin selama 21 hari direkomendasikan. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit dan British Association  for Sexual Health and HIV merekomendasikan agar pasangan seksual yang memiliki kontak dalam 30 hari gejala pasien harus dievaluasi dan diobati dengan resimen-reismen untuk infeksi chlamydia yang tidak parah (azitromycin 1g PO pada dosis tunggal, atau doksisiklin 100 mg PO dua kali selama 7 hari.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...