Friday, March 12, 2010

Spermatogenesis Idiopathic Terganggu: epidemiologi genetik tidak menjadi batu loncatan untuk pemahaman yang lebih baik

Abstrak
   
Etiologi spermatogenesis terganggu tidak diketahui dalam kebanyakan pria yang kurang subur. Dari beberapa penelitian tentang kemandulan alami padapria, kita bisa menyimpulkan bahwa ada komponen familial yang mendasar pada ketidaksuburan pria sehingga loci gabungan yang bersegregasi dalam keluarga bisa diasumsikan dalam hal ini. Kita mengetahui bahwa penghapusan pada kromosom Y, yang tidak berpenetrasi penuh, mewakili beberapa dari kasus ini. Alasan yang ada cukup kuat untuk menduga bahwa kasus-kasus lain terjadi akibat mutasi pada gen-gen yang terletak di tempat lain dalam kromosom. Dalam artikel ini, kita membahas berbagai pendekatan untuk mengungkapkan basis molekuler dari spermatogenesis terganggu yang berasal dari kelainan-kelainan genetik dalam kromosom selain kromosom Y. Kajian pemetaan genetik secara umum merupakan pendekatan baik untuk mendeteksi gen-gen penyebab penyakit yang bersegregasi dalam sebuah populasi; mereka bisa menjadi batu loncatan untuk mengungkapkan sifat biokimia dari penyakit ini. Dalam paper ini, dijelaskan alasan-alasan dari pernyataan bahwa penelitian kaitan dan hubungan bukanlah sebuah alat yang menjanjikan untuk mengidentifikasi gen-gen yang menyebabkan spermatogenesis terganggu. Disini disimpulkan bahwa screening langsung terhadap gen-gen kandidat untuk mutasi akan diperlukanuntuk mendeteksi gen-gen yang terlibat dalam spermatogenesis terganggu. Akan tetapi, pendekatan ini memerlukan penelitian jalur-jalur biokiima dari spermatogenesis normal dan abnormal. Karena kita memiliki pemahaman yang buruk tentang jalur-jalur ini, maka lebih banyak penelitian yang diperlukan untuk mengetahui sifat biokimia dari spermatogenesis.

Pendahuluan
   
Ketidaksuburan, yang didefinisikan sebagai 1 tahun melakukan hubungan seks tanpa kontrasepsi namun tidak juga membuahkan kehamilan, mengenai 10-15% pasangan yang ada. Jelas nilai-nilai ini tergantung pada definisi ketidaksuburan dan populasi penelitian. Menurut WHO (1987), pada 47% pasangan tidak subur, parameter-parameter sperma menurun. Prevalensi ketidaksuburan berdasarkan kegagalan testikular semata belum diketahui secara pasti.
   
Ketidaksuburan hanya didagnosa pada pasangan-pasangan yang mencoba merencanakan sebuah kehamilan. Kombinasi dari berbagai faktpr pria dan wanita dapat mempengaruhi kesuburan pasangan. Ketidaksuburan pria bisa dikategorikan akibat faktor-faktor pra-testicular dan post-testicular (De Kretser, 1997). Gangguan endokrin dan disfungsi seksual adalah diantara faktor-faktor pra-testikular  dan epididymal atau osbstruksi vasal adalah contoh faktor-faktor post-testikular. Disfungsi testikular mengasilkan berkurangnya parameter-parameter sperma akibat spermatogenesis yang terganggu. Dalam paper kali ini kita berfokus pada kelompok populasi ini.
Spermatogenesis Idiopatik Terganggu
   
Pada kebanyakan pria yang tidak subur, etiologi spermatogenesis terganggu tidak diketahui. Untuk praktek klinis, tidak terlalu bermanfaat karena pengobatan tidak dipengaruhi oleh penyebab ketidaksuburan sehingga pilihan terapeutik yang efektif terbatas. Inseminasi Intrauterin (IUI) merupakan perawatan pertama yang paling baik untuk parameter-parameter sperma yang berkurang dan IVF yang dikombinasikan dengan ICSI adalah pengobatan yang dipilih untuk oligoasthenoteratozoospermia parah. Sel-sel sperma yang dipulihkan secara bedah dari epididymis atau testis bisa digunakan untuk ICSI pada pria yang menderita azoospermia.
   
Keampuhan terapeutik dari ICSI pada umumnya diterima tetapi masih ada kekhawatiran tentang penularan gangguan kepada keturunan. Walaupun status kesuburan dari anak-anak yang orang tuanya menggunakan ICSI tidak diketahui, namun ketika memasuki masa pubertas, diduga bahwa jika spermatogenesis idiopatik terganggu memiliki komponen genetik, maka kelainan genetik yang diketahui juga akan ditularkan melalui ICSI.
Basis genetik dari spermatogenesis idiopatik terganggu
   
Kajian-kajian genetik pada beberapa model hewan seperti ragi S. cerevicea, cacing C. elegans, lalat Drosophila dan tikus telah memberikan bukti tentang adanya ratusan gen kromosom X dan autosomal yang bisa bermutasi ke alel-alel steril dari pria. Dari penelitian-penelitian ini bisa diperkirakan bahwa >4000 gen bis terlibat dalam spermatogenesis manusia.
   
Pada manusia, metode klasik yang digunakan adalah mengidentifikasi apakah sebuah kondisi memiliki basis genetik pada penelitian orang kembar. Untuk ketidaksuburan pria, hanya satu penelitian kembar yang telah dilakukan sejauh ini. Meskipun ukuran sampelnya kecil, namun penelitianini menunjukkan sebuah komponen familial yang jelas terhadap spermatogenesis manusia normal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anggota keluarga yang terkena memiliki sifat genetik sama yang bertanggungjawab terhadap ketidaksuburan mereka. Disamping itu, pengelompokan ketidaksuburan pria dalam sebuah keluarga telah ditemukan pada sebuah studi kasus-kontrol.

Pemetaan genetik pada spermatogenesis terganggu
   
Strategi untuk mengidentifikasi gen-gen penyebab penyakit tergantung pada seberapa banyak yang diketahui tentang patogenesis penyakit dan dimana bisa diperoleh. Karena patogenesis dari spermatogenesis terganggu dan fungsi biokimia gen yang terlibat saat ini belum diketahui, strategi kloning fungsional tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi gen-gen yang terlibat dalam kegagalan testikular manusia. Strategi kloning posisional, disisi lain, tidak tergantung padaproduk gen dan dengan demikian bisa menjadi pendekatan yang baik untuk mengidentifikasi gen-gen dalam spermatogenesis terganggu.
Kajian pertalian pada spermatogenesis terganggu
   
Sebuah penanda (marker) dikaitkan dengan sebuah penyakit jik ada ko-segregasi non-acak antara penanda tersebut dan fenotip. Analisis pertalian bisa dilakukan pada seluruh genom (analisis multipoin) serta pada loci kandidat spesifik. Analisis pertalian klasik dilakukan berdasarlan data keluarga yang banyak anggotanya terkena. Analisis pertalian yang menggunakan metode segmen terbagi digunakan dalam keluarga-keluarga inti. Analisis kajian pertalian bisa sangat sulit dilakukan karena beberapa hal.
   
Pertama, sebuah kajian pertalian klasik memerlukan keluarga yang banyak dengan banyak anggota keluarga yang terkena dimana ko-segregasi dari berbagai penanda polimorfis genom yang banyak bisa diteliti. Kedua, untuk mendeteksi gen-gen yang menyebabkan spermatogenesis terganggu, kita hanya berfokus pada pria yang kurang subur. Ketiga, pada keluarga dengan pria kurang subur, tingkat non-paternitas yang tidak diketahui bisa lebih tinggi pada populasi umum. Ini akan mempengaruhi analisis data keluarga secara negatif. Masalah keempat adalah bahwa kajian pertalian konvensional memerlukan spesifikasi model genetik dari penyakit.

Kajian hubungan pada spermatogenesis terganggu
   
Pertalian merupakan sebuah keterkaitan antara loci, tetapi hubungan adalah keterkaitan antara alel-alel. Hubungan alel berarti bahwa pada seluruh populasi,orang yang memiliki alel tertentu pada sau lokus memiliki peluang yang lebih besar secara statistik untuk memiliki sebuah alel khusus pada lokus kedua. Kajian hubungan pada umumnya dilakukan terhadap gen-gen kandidat tetapi kiga penanda-penanda polymorfis terdistribusi pada seluruh genom yang bisa dianalisis. Metode ini dapat memberikan peluang untuk mengkaji subjek-subjek terkena yang tidak terkait meski hasilnya harus dibandingkan dengan subjek kontrol yang memiliki latar belakang genetik sama. Populasi ideal untuk kajian hubungan adalah yang homogen secra genetik, karena semua studi kasus-kontrol rentan untuk mengalami bias seleksi. Ringkasnya, kajian hubungan pda disfungsi testikular hanya memiliki probabilitas yang rendah untuk mendeteksi sebuah lokus penyakit yang terlibat dalam fenotip pria yang kurang subur.

Model-model genetik alternatif
   
Karena ada kemungkinan bahwa banyak gen yang terlibat dalam spermatogenesis terganggu, maka kita harus mempertimbangkan model-model genetik yang lebih kompleks yang secara teoritis dapat memegang peranan dalam fenotip kekurangsuburan. Pada model gen utama multifaktorial, hanya beberapa gen kerentanan utama yang mempengaruhi risiko untuk spermatogenesis yang berkurang, tetapi kenampakannya tergantung pada efek-efek lebih kecil dari faktor gen dan eksogen yang kecil. Pada model heterogeneitas genetik, gen-gen yang berbeda mempengaruhi kenampakan fenotip pada pasien yang berbeda. Dalam model imi, fenotip bukanlah sebuah penyakit yang berbeda tetapi mencakup beberapa gangguan yang memiliki etiologi berbeda. Untuk spermatogenesis terganggu, semua model yang disebutkan dapat memainkan sebuah peran, masing-masing pada sub-kelompok pasien, yakni disebut model bauran. Disampiong itu, fenomena penanaman genetik juga bisa menjadi penting dalam spermatogenesis terganggu. Penanaman (imprinting) merupakan sebuah mekanisme dimana alel dari satu induk dinyatakan dan alel dari induk lainnya disamarkan. Ringkasnya. Walaupun spermatogenesis terganggu memiliki sebuah komponen familial, cara pewarisan belum jelas. Disamping pola segregasi Mendl sederhana dan penghapusan kromosom Y. mutasi-mutasi de novo, kelainan mitokondria, model genetik yang lebih kompleks, kenampakan spesifik alel dan penetrasi berkurang bisa terlibat.

Faktor-faktor lingkungan
   
Walaupun komponen genetik kemungkinan terlibat dalam spermatogenesis terganggu, namun faktor-faktor lingkungan akan mempengaruhi fenotip juga. Pada kenyataannya, ada banyak laporan yang menunjukkan kecenderungan berbahaya pada fungsi reproduksi pria selama beberapa puluh tahun terakhir yang tidak bisa diakibatkan oleh perubahan genetik. Ketika peningkatan kejadian berbagai gejala TDS terjadi dengan cepat pada beberapa generasi, efek etiologi dari faktor-faktor lingkungan berbahaya, yang kemungkinan beraksi pada latar belakang genetik yang rentan, harus dipertimbangna. Sebuah faktor penting yang terlibat dalam kualitas sperma yang berkurang, misalnya, bisa adalah interaksi antara sensitifitas estrogen dan keterpaparan in utero.

Screening gen-gen kandidat untuk mutasi

Karena kita kemungkinan mencari banyak gen yang berbeda, dan kekurangsuburan pria bisa menjadi penyakit yang kompleks, maka kita memerlukan sebuah pendekatan yang lebih langsung untuk mendeteksi gen-gen tersebut ketimbang kajian pemetaan genetik. Pendekatan ini adalah screeing gen kandidat dengan mencari variasi urutan (sekuensi) pada kasus-kasus yang tidak terdapat pada kontrol. Gen kandidat adalah sebuah gen yang dianggap sebagai lokus yang mungkin untuk fenotip penyakit. Jika muasi dalam gen yang diteliti bisa diidentifikasi pada pasien-pasien yang terkan dan bukan pada sampel kontrol, maka gen ini kemungkinan adalah lokus untuk penyakit. Screening gen kandidat sangat menarik jika fungsi gen kandidat tersebut telah diketahui. Dan metode ini akan lebih menarik lagi jika banyak pengetahuan yang diketahui tentang fungsi biologis dari gen-gen kandidat.

Kesimpulan
   
Walaupun ada bukti tentang sebuah basis genetik untuk spermatogenesis yang terganggu dan pada sekelompok kecil populasi fenotip bersegregasi dalam keluarga mereka, namun pengidentifikasi gen-gen yang terlibat dalam spermatogenesis terganggu sangat sulit. Ada kemungkinan bahwa kekurangsuburan pria merupakan sebuah penyakitkompleks dimana banyak gen-gen rentan dan faktor lingkungna yang memegang peran, jika spermatogenesis terganggu merupakan sebuah penyakit kompleks seperti ini, dimana gen-gen berbeda pada berbagia populasi memegang sebuah peran, maka pengidentifikasian gen-gen hampir tidak mungkin dilakukan.
   
Dalam paper ini kita telah membahas alasa-alasan untuk menyebutkan bahwa kajian pertalian dan hubungan bukanlah sebuah alat yang menjanjikan untuk mengidentifikasi gen-gen yang menyebabkan kegagalan testikular. Pada saat ini, screening langsung terhadap gen-gen kandidat untuk mutasi merupakan satu-satunya metode yang realistis untuk mengidentifikasi gen-gen yang terlibat. Akan tetapi, metode ini memerlukan banyak waktu dengan kemungkinan rendah mendeteksi gen-gen kausal. Untuk meningkatkan probabilitas ini, jumlah gen kandidat yang baik harus dipersempit. Disamping itu, lebih banyak penelitian diperlukan untuk mengetahui biokimia dari spermatogenesis agar dapat meneliti efek fungsional dari penyimpangan genetik yang ditemukan dengan screening mutasi pada pasien.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...