Wednesday, March 31, 2010

DERMATOSIS-DERMATOSIS DARI LINGKUNGAN AIR (DERMATOLOGI AKUATIK)

Planet bumi sebagian besar ditutupi oleh air. Jika semua laut, danau, dan sungai digabungkan, maka permukaan bumi yang tertutupi mencapai tujuh per sepuluh bagian. Sebenarnya kita hidup di Planet Air dan bukan di Planet Bumi. Manusia memiliki kecenderungan untuk menjelajahi, menikmati dan mengeksplorasi perbatasan perairan ini. Keterpaparan dengan air ini telah menjadikan kita lebih rentan untuk megalami dermatosis akuatik.
   
Disamping itu, dunia sudah semakin moderen. Sehingga, daerah-daerah yang terpencil sudah dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh manusia. Seorang penyelam bisa disengat oleh urchin laut di Laut Merah, dan 2 hari kemudian terlihat berada di kantor dermatologis di Knoxville, Tennessee untuk diagnosa dan perawatan. Tidak diragukan lagi, terjadi peningkatan masalah terkait-air yang terus menerus dalam praktek dermatologi dan dermatopatologi kita.
   

Makhluk-makhluk laut merupakan sumber bisa dan toksin paling potensial yang diketahui. Banyak dari zat-zat tersebut yang telah diisolasi memiliki kegunaan mendasar dalam terapi moderen, termasuk dalam penelitian kanker. Pengamatan lebih lanjut terhadap kelompok bahan-kimia hewani dan nabati ini akan memunculkan kemungkinan-kemungkinan yang sama sekali tidak terduga sebelumnya.
   
Bidang studi dermatologi akuatik, sebuah istilah yang dicetuskan oleh ahli dermatologi ternama, Alexander Fisher, M.D., mencakup berbagai dermatosis mulai dari sengatan ubur-ubur sampai urtikaria akuagenik. Masing-masing dan setiap entitas dermatosis ini memerlukan diagnosa yang cermat, pengetahuan mendasar tentang patomekanisme nya dan fisiologi, serta terapi yang layak dan cepat disertai follow-up. Beberapa dermatosis dapat mengancam nyawa atau bahkan bisa berakibat fatal. Sayangnya, subjek ini tidak diajarkan di sekolah-sekolah tinggi kedokteran atau program-program dermatologi.
   
Saya telah mengelompokkan kebanyakan kondisi ini yang saya anggap penting. Saya telah mencoba mengelompokkan berbagai dermatosis yang diperoleh dari lingkungan air ini (Tabel 73-1). Saya harap bahwa dengan menggunakan sistem pengelompokan ini, tenaga klinis, serta spesialis, yang menggunakan pendekatan sederhana dan rasionil, akan mampu mengarahkan diagnosa dan diagnosa banding yang mereka lakukan. Saya juga berharap agar klasifikasi ini bermanfaat bagi mereka. Dermatosis yang paling umum (bagi ahli dermatologi Amerika) akan dijelaskan pertama kali, kemudian diikuti dengan dermatosis-dermatosis yang jarang ditemukan.

Iritasi (Dermatitis Kontak)

ENVENOMASI CNIDARIAN (COELENTERATA)
   
Definisi. Filum Cnidaria dulunya dikenal sebagai Coelenterata. Filum ini mencakup tiga kelompok utama, yaitu:

1.Scyphozoa: ubur-ubur
2.Hydrozoa: hydroids, koral api (yang bukan koral sejati), dan man-of-war Portugis.
3.Anthozoa: anemon laut, koral keras dan lunak
   
Sengatan cnidarian merupakan envenomasi paling umum yang bisa dialami seseorang di lingkungan air.
   
Proses envenomasi. Semua cnidarian memiliki organel racun/bisa yang sama. Mereka dilengkapi dengan nematocyst pada tentakel penyengatnya (dactylozooids) (Gbr. 73-1). Organel-organel seluler ini terdiri dari sebuah struktur yang mirip kantong terisi dengan bisa dan untaian yang tergulung. Beberapa spesies memiliki cnidocil atau alat mirip pecut, yang lainnya memiliki kemoreseptor yang sangat sensitif; kedua alat ini dapat mengaktifkan nematocyst. Jika ini terjadi, untaian akan terbuka dan ujung, yang telah bercampur dengan bisa, akan menembus korban. Waktu pelepasan sekitar 1 per 100 detik (Halstead, 1987), dan gaya ejeksi dari sebuah nematocyst hidroid diperkirakan 40.000 g (Holstein dan Tardent, 1984). Dengan kekuatan ini, untaian bisa menyerang kulit dengan gaya sekitar 2-5 pond/inch persegi (T.D. Poehler, dalam Burnett dkk., 1986), yang cukup untuk menembus sebuah sarung tangan bedah. Bisa disalurkan melalui epidermis ke dalam dermis atas, sehingga mencapai akses cepat terhadap sirkulasi. Kontak manusia dengan sebuah ubur-ubur bisa memicu pelepasan beberapa ribu nematocyst.
   
Juga ada dua cara envenomasi tidak langsung. Ini terjadi apabila ada kontak dengan nudibranchs (Glaucus spp) atau octopi (Tremoctopus violaceous) yang makan pada cnidarians dan menyimpan nematocyst utuh dalam kulitnya. Dan juga, dactylozooid yang pecah dan terlepas bisa mengapung bebas setelah terjadi angin kencang dan mampu menyengat para perenang.
   
Bisa/racun terdiri dari sebuah campuran peptida toksik atau peptida antigenik atau protein yang berbeda-beda diantara spesies cnidarian. Efek toksik juga sangat bervariasi dari satu spesies cnidarian ke spesies lainnya (Halstead, 1987).

Schyphozoa (Ubur-ubur)
   
Gambaran klinis (Tabel 73-2). Spesies man-of-war Portugis akan dibahas disini walaupun spesies ini adalah sebuah hydroid kolonial (kelompok Siphonofor) dan bukan ubur-ubur sejati.
   
Reaksi-reaksi lokal. Gejala cepat yang paling umum adalah dermatitis lokal akut: sebuah erupsi erythematous  yang mirip bekas pukulan, urtikarial, nyeri, dan pruritus yang mengikuti pola kontak tentakular. Lesi yang terbentuk bisa bersifat papulovesicular, hermorragik, nekrotisasi, atau ulceratif, tergantung pada spesies. Konjungtivitis, chemosis, edema pelupuk mata, dan lakrimasi yang meningkat bisa terjadi jika kontak terdapat di sekitar mata.
   
Penggarukan terus menerus menyebabkan perubahan sub-akut dan kronis disertai dengan lichenifikasi. Deskuamasi, hyperhidrosis terlokalisasi, mati rasa atau hyperesthesia, lymphadenopathy, angiodema, urticaria, dan terkadang spasme vaskular tanpa thrombosis telah dilaporkan (Burnett dll., 1987a).
   
Ubur-ubur kotak Chnorex fleckeri bisa menyebabkan nekrosis kulit yang tebal. Sebuah mediator mirip-kinin yang berperilaku sebagai sebuah bradykinin bertanggungjawab untuk nyeri seketika yang terjadi. Mediator ini beraksi pada saraf-saraf sensoris cutaneous (Burnett dan Calton, 1977). Onset nyeri secara tiba-tiba dan kurangnya kekebalan alami oleh korba dapat lebih mendukung mekanisme toksik ketimbang alergi (Burnett dkk., 1983). Pola sengatan bervariasi dari spesies ke spesies dan bisa menjadi bantuan dalam diagnostik (Gbr. 73-3).
   
Kemunculan kembali erupsi linear pada tempat sengatan pertama tanpa envenomasi berulang telah dilaporkan (Gbr. 73-4). Kekambuhan ini tampaknya muncul pada sembarang tempat mulai dari 1 pekan hingga 30 hari setelah sengatan pertama dan bisa terjadi lebih dari satu kali (sampai empat episode telah dilaporkan). Reaksi-reaksi ini diinterpretasi sebagai sebuah mekanisme immunologi yang disebabkan baik oleh antigen yang tersita secara intracutaneous atau dengan keterpaparan terhadap bisa yang bereaksi silang. Pada salah satu kasus, predinon (oral) dapat menunda lesi-lesi cutaneous pertama (Burnett, 1988). Physalia spp (man of war Portugis) bertanggungjawab untuk kebanyakan reaksi ini, yang terjadi lebih sering pada wanita. Terkadang, para korban mengalami nodul-nodul granulomatous cutaneous, persisten dan tertunda. Perubahan histologi dan durasi (5 bulan untuk sembuh) menunjukkan bahwa lesi-lesi diakibatkan oleh sebuah bentuk immunomekanisme termediasi-sel yang tertunda.
   
Lesi-lesi yang jauh dari tempat sengatan juga ditemukan setelah sengatan oleh physalia (Adiga, 1984). Kontak terjadi pada bagian acral ekstremitas kanan bawah, dan pasien mengalami dermatitis subkronis pada telinga kanan, gingiva, dan pipi beberapa hari kemudian.
   
Reaksi-reaksi kronis. Reaksi kronis lokal setelah sengatan mencakup scar hypertropi pruritus dan keloidal dan hypo-pigmentasi atau hyperpigmentasi. Masalah yang kurang sering lainnya mencakup spasme arteri brachial (Gunn, 1949), atropi lemak (Grupper dan  David 1958), nekrosis limb. Kontraksi, dan gangren. Semua kasus ini terjadi di Indo-Pasifik. Di Carolina Utara, sebuah pasien yang diduga disengat oleh man-of-war Portugis mengalami mononeuritis ekstremitas yang sembuh sendiri. Seorang perenang yang tersengat di Malaysia mengalami paralisis temporer pada berbagai saraf-saraf otonomik (Chand dan Selliah, 1984). Abdomennya dan kandung kemih menjadi membesar, dan dia tidak mampu berdiri tegak, kencing atau lakrimasi. Saya telah mengamati sebuah kasus granuloma anulare yang terbukti dari biopsy menyusul sebuah sengatan oleh man-of-war Portugis “si botol biru” Pasifik.
   
Reaksi-reaksi sistemik. Disamping dermatitis yang disebabkan oleh sengatan, beberapa ubur-ubur mendukung reaksi toksis sistemik terhadap bisa. Reaksi ini mencakup sakit kepala, tidak enak badan, lelah, diaphoresis, dan lakrimasi. Yang kurang umum adalah ataksia, pusing, kejang-kejang lokal, demam tulang, paresthesia, dan arthralgia. Demam tingkat rendah, menggigil, nausea, muntah-muntah, diare, herpes labialis postepisode, kekakuan abdominal, pallor, cyanosis, gugup, hysteria, depresi mental ekstrim, konstriksi tenggorokan, batuk, bersin, rhinitis, dan depresi pernafasan juga telah dilaporkan. Yang lain, yang lebih jarang, komplikasi-komplikasi umum yang mencakup hemolysis, gagal ginjal akut dan spasme arterial.
   
Reaksi-reaksi fatal. Mekanisme toksik dan zat-zat dari bisa ubur-ubur adalah diantara yang paling potensial dalam dunia hewan. Banyak pasien yang harus ditangani dengan perawatan medis darurat. Yang paling berbahaya adalah Chinorex fleckeri atau ubur-ubur kotak Pasifik dan Chiropsalmus quadrigatus. Pada hewan penelitian, kedua spesies ini menyebabkan penyitaan jantung atau pernafasan. Kematian hewan akibat penyitaan jantung bisa terjadi dalam beberapa detik, tapi mekanisme ini belum dibuktikan pada manusia. Jika sebuah fatalitas terjadi, penyitaan respirasi biasanya menyebabkan kematian. Kumpulan gejala-gejala yang bisa menyebabkan dampak fatal antara lain kerusakan vasomotor, edema paru-paru, konstriksi dada, hemolysis, dan nefritis toksik akut. Terkadang manusia juga meninggal akibat anafilaksis dari envenomasi ubur-ubur. Sebenarnya, fenomena anafilaksis pada awalnya ditemukan dengan menggunakan sebuah protein anemon laut sebagai antigen. Antigen dari sebuah anemon laut memberikan hadiah nobel kepada Drs. Paul Portier dan Charles Richet (1901) untuk obata-obatan! Sebuah kasus anafilaksis pasca-envenomasi oleh ubur-ubur telah dilaporkan (Burett dll., 1968).
   
Diagnosa. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pola sengatan bisa membantu dalam membedakan antara spesies-spesies yang berbeda. Ini bisa menjadi penting karena bisa/racun berbeda-beda dari spesies ke spesies. Diagnosa serologis sangat spesifik dan bisa menjadi alat terbaik. Idealnya, terapi harus dilakukan dengan berdasarkan spesies. Pengumpulan fragmen utuh tentakel dari kulit korban bisa membantu mengidentifikasi spesies karena morfologi nematocyst berbeda pada masing-masing spesies.

Pencegahan.

1.Memberikan penyuluhan kepada masyarakat
2.Menutup pantai selama invasi
3.Berhati-hati dalam melepaskan tentakel dari kulit (untuk menghindari gejolak nematocyst selanjutnya).
4.Melatih dan melengkapi penjaga pantai
5.Menyediakan fasilitas perawatan yang memadai
6.Tidak berlari atau menyelam pada perairan yang berpotensi mengandung ubur-ubur kotak, cukup berjalan perlahan.
7.Menggunakan pakaian selam, yang terbuat dari neopren atau lycra, atau pakaian ketat dan pekaian dalam dari wool yang panjang; menggunakan salep berbasis pentrolatum. Ini dapat melindungi.
8.Menyadari keberadaan ubur-ubur yang telah mati atau terapung karena peragkat bisanya masih bisa utuh dan berfungsi sehingga siap menyengat; ini khususnya perlu diperhatikan oleh anak-anak.
9.Jangan berenang pada perairan yang terinfestasi setelah terjadi badai. Ini bisa menimbulkan banyak sengatan dan parah dari sisa yang terapung, tentakel-tentakel yang hancur.
10.Jika tersengat, keluar dari air secepat mungkin, atau minta bantuan untuk menghindari basah.

Pengobatan

Reaksi-reaksi lokal

1.Hindari pengeluaran nematocyst lebih lanjut.

a. Jangan gerakkan tungkai
b. Netralkan toksin dengan larutan pertolongan pertama:

(1) Jika yang diduga terlibat adalah Chysoara quinquecirrha (jelatang laut), aplikasikan natrium bikarbonat yang dicampur air sebagai sebuah adukan bubuk topikal.
(2) Jika yang diduga adalah Physalia spp atau Chironex fleckeri, taburkan asam cuka encer (3-10% asam asetat) selama sekurang-kurangnya 30 detik untuk menonaktifkan sel-sel penyengat; cuka dapur memiliki konsentrasi 5%. Cuka tidak dapat melakukan apa-apa untuk meredakan nyeri, tapi dapat menonaktifkan nematocyst.
(3) zat pelunak daging yang mengandung papain secara topikal telah dianjurkan di Hawaii untuk Physalia utriculus. Sampai sekarang ini, belum ada penelitian definitif untuk membuktikan keampuhannya. Papin pada konsentrasi yang lebih tiggi dari 10% bersifat desquamatif.
(4) jika yang diduga terlibat adalah Pelagia spp, rendam dengan garam-garam kalsium.

2.Aplikasikan panas lokal (pencelupan atau perendaman dengan air laut panas, 120oF) untuk denaturalisasi protein. Beberapa ahli mengatakan bahwa panas akan menghasilkan vasodilatasi, sehingga bisa meningkatkan serapan lokal dari bisa. Telah dibuktikan bahwa panas akan meredakan nyeri sehingga bisa-bisa ini memiliki protein labil-panas yang akan dipengaruhi oleh panas.

3.Lepaskan tentakel secara manual dengan perlahan (peringatan: nematocyst dari beberapa spesies dapat menembus sarung tangan bedah), setelah menguji viabilitas fragmen-fragmen tentakel dan setelah perawatan dengan larutan pertolongan pertama.
4.Gunakan tindakan-tindakan asimptomatik.
5.Tindak-lanjuti injury untuk mencari tahu apakah terjadi infeksi. Jika sepsis terjadi, perlu diobati.
   
Komentar: Jangan menggaruk atau menggunakan air tawar atau alkohol karena perbedaan komposisi dengan air laut bisa mengaktivasi keluarnya nematocyst lebih lanjut. Jangan menggerakkan tungkai yang terkena untuk mencegah penyebaran bisa lebih lanjut. Ketika menggunakan panas lokal, hindari menimbulkan nyeri termal pada kulit pasien yang terkena (racun bisa menyebabkan mati rasa). Siapapun yang mengobati korban harus merasakan terlebih dahulu panas tersebut sebelum melanjutkan terapi. Krim “Sting Zing”, yang dibuat oleh Dr. Findlay Russell, bisa digunakan pada terapi tahap kedua.
Reaksi-reaksi sistemik

1.Tindakan-tindakan pertolongan pertama (saluran udara, bernafas, sirkulasi).

a. Perawatan tanda-tanda penting.
b. Pemberian oksigen
c. Epinefrin sistemik, kortikosteroid, dan antihistamin
d. Torniquet venokonstriksi atau perban.
e. Terapi antitetanus, jika perlu.
2.Reaksi toksik
a. Anti-bisa spesifik, lebih dipilih yang intravenous (IV) atau intramuskular (IM) (misalnya., Chinorex fleckeri, yang dibuat oleh Commonwealth Serum Laboratories, Victoria, Australia).
b. Verapamil IV dapat mengimbangi kardiotoksisitas dari beberapa spesies ubur-ubur (Burnett dan Calton, 1983; Burnett dkk., 1985).

3.Nyeri akut

a. Kombinas aspirin, fenacetin, dan codeine, oral.
b. Morfin dan meperidin, IV atau IM; butorfanol IM.
c. Anti-bisa, lebih dipilih yang IV atau IM yang lain.
4.Anafilaksis dan shock
a. Epinefrin, dan sejenisnya
b. Perawatan ruang darurat yang penting
   
Komentar: Anti-bisa spesifik untuk ubur-ubur kotak memiliki sifat-sifat analgesik yang cepat dan efektif. Preparasi ini juga mengurangi dermatitis akut sehingga kemungkinan mengurangi scarring residual pada daerah yang tersengat. Idealnya, anti-bisa harus diberikan selama tahapan terapi awal sebagai sebuah supplemen untuk tindakan pertolongan pertama. Kandungan 1 ampula terdiri dari dosisi awal untuk rute IV (200.000 U). Tiga ampula harus digunakan jika rute IM dipilih. Anti-bisa harus disimpan dalam sebuah refrigerator pada suhu 2-10oC dan tidak boleh dibekukan. Pada pengenceran 1 : 10 dengan larutan garam isotonik (bukan air) direkomendasikan sebelum infusi IV. Peringatan: Anti-bisa ovine untnuk C. fleckeri memiliki aktivitas antikomplemen dan bisa menghasilkan sebuah reaksi anafilaktoid jika diberikan pada manusia yang sensitif.
Reaksi berkepanjangan

1. Fenomena hypersensitifitas tertunda (Manson dkk., 19350 berlangsung selama satu haru sampai 1 minggu: kortikosteroid analgesik, topikal atau sistemik, dan antihistamina semuanya tidak efektif. Analgesik nonsteroidal sistemik saat ini sedang diteliti dan bisa efektif.
   
2. Hyperpigmentasi refractory: pemutih hidroquinon topikal (0,4% larutan hidroquinon alkohol) dan asam azelat topikal 1%.
   
3. Scar keloidal: Injeksi kortikosteroid intralesional.
Hidrozoa
   
Definisi. Seperti yang disebutka sebelumnya, hydroid, “koral api,” dan man-of-war Portuguese termasuk dalam kelompok ini. Banyak aspek dari man-of-war Portugis yang sebelumnya telah dibahas.
   
Hydroid merupakan jenis yang paling banyak pada golongan ini. Spesies ini merupakan hewan yang berbulu lebat yang tumbuh pada dasar laut (misalnya pada batuan, rimbunan, sponges, rumput laut).
   
Gambaran klinis. Hydroid bisa menyebabkan sensasi sengatan yang agak menusuk, mirip luka bakar disertai dengan erythema (Halstead, 1987) atau sebuah reaksi tertunda dengan urticaria papular, perdarahan, ruam zosteriform atau morbiliform, dan pembentukan vesicular dan pustular. Erythema multiforme dan desquamasi kulit lebih jarang (Mebs dkk., 1983). Jika area permukaan badan yang luas terlibat, manifestasi-manifestasi sistemik (nyeri perut, mual, muntah, diare, keram otot, dan demam) bisa terjadi. Kerangka karbonat kabur dari koral api (Millepora spp) disamping itu juga bisa menyebabkan goresan serius atau reaksi graulomatous tipe badan asing.
   
Pengobatan. Lihat pengobatan untuk sengatan ubur-ubur untuk pembahasan yang lebih mendalam.

1. Bersihkan kulit dengan air laut (air tawar bisa menyebabkan keluarnya nematocyst dan memperburuk envenomasi).
2. Keringkan secara perlahan tanpa penggosokan
3. Siram dengan cuka (asam asetat 5%) atau isopropl alkohol 40-70% selama 15-30 menit untuk menonaktifkan nematocyst.
4. Jika nyeri telah reda, aplikasikan sebuah krim steroid ringan (hidrokortison 5%) atau sebuah losion pelembab.
5. Benadryl dapat membantu mengurangi pembengkakan dan gatal-gatal.
6. Goresan koral api: bersihkan secara merata dan hilangkan semua partikel. Sinar-X jaringan halus dan bedah extrapolatory jika perlu.
Anthozoa
   
Kelompok ini mencakup anemon laut (Actiniaria), koral keras (sejati) (Zoantharia), dan koral lunak (Alcyonaria). Hanya anemon yang beracun.
   
Anemon merupakan hewan avertebrata yang prolifik an berwarna, yang pada tahap dewasa terlihat seperti bunga. Proyeksinya yang mirip jari mengandung nematocyst beracun, begitu juga paa semua cnidarian. Bisanya mengandung neurotoksin, kardiotoksin, hemolysin, dan sebuah inhibitor toksin proteinase dan sitolytik (Tanaka dkk., 1985; Bernheimer dan Lai, 1985; maretic dan Russell, 1983).
   
Gambaran klinis. Genus Sagartia, Anemonia, Actinia, Actinodendron, dan Triactis merupakan yang paling beracun (halstead, 1987). Efek sengatannya cenderung lebih terlokalisasi dibanding sistemik, sedikit mirip dengan sengatan koral atau sengatan lebah. Actinia menghaislkan lesi yang sangat nyeri dan urtikarial. Sengatan Aneomnia termanifestasikan dengan paresthesia, edema, dan eruthema (Mabs dkk.., 1983). Lesi sengatan yang biasa telrihat seperti sebuah pembengkakan dengan sebuah halo erythematous dan perdarahan petechial. Kemudian edema dan ecchymosis difusi terjadi. Envenomasi parah mencakup perdarahan lokal yang banyak, vesiculasi, nekrosis dan ulcerasi cutaneous. Infeksi sekunder juga mungkin. Bisul-bisul bisa sangat kebal terhadap terapi dan memperlambat penyembuhan. Biasanya lesi-lesi akan sembuh dalam 48 jam, tetapi reaksi sistemik persisten seperti demam, menggigil, somnolence, malaise, kelemahan, nausea, muntah-muntah, dan syncope telah dilaporkan. Lesi-lesi okasional bisa menjadi lemba dengan eschar yang menyebabkan hyperpigmentasi atau hypopigmentasi residual, atau terjadinya keloid.
   
Pengobatan. Mirip dengan terapi utnuk sengatan Physalia spp, walaupun dermatitis anemon biasanya lebih parah, memerlukan perpawatan luka yang lebih lama (debridement) dan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...