Saturday, January 30, 2010

Masalah-Masalah Ilmiah Fotosensitifitas

Ringkasan

Reaksi-reaksi kulit fotosensitif terjadi ketika kulit manusia bereaksi tidak normal dengan radiasi ultraviolet atau sinar tampak. Bentuk-bentuk fotosensitifitas adalah fototoksisitas dan fotoalergi. Gangguan-gangguan fototoksik memiliki tingkat kejadian yang tinggi, sedangkan reaksi-reaksi fotoalergi jauh lebih jarang pada populasi manusia. Ada ratusan zat, bahan kimia, atau obat-obatan yang bisa memicu reaksi fototoksik dan fotoalergi. Untuk menghindari reaksi-reaksi fotosensitif kita perlu menentukn sifat-sifat fotosensitisasi dari zat-zat tersebut sebelum obat diberikan pada terapi atau sebelum produk dijual di pasaran. Artikel kali ini mereview mekanisme-mekanisme fotosensitisasi, menjelaskan perbedaan-perbedaan paling penting antara reaksi fototoksik dan reaksi fotoalergi, merangkum fotosensitizer yang paling umum, dan menyajikan gambaran klinis serta prosedur diagnostik dari reaksi fototoksik dan fotoalergi.


Sejarah

Reaksi-reaksi fotosensitif telah diketahui selama ribuan tahun. Pada masyarakat Mesir, India, dan Yunani kuno, ekstrak-ekstrak tanaman yang mengandung psoralen digabungkan dengan cahaya matahari untuk mengobati penyakit kulit.
   
Pada tahun 1897, laporan-laporan dermatitis setelah kontak dengan wortel parsnip dan/atau angelica mulai muncul di Amerika Serikat dan Inggris, dan pada tahun 1916, E. Freund mengamati karakteristik lesi-lesi berhyperpigmentasi yang dia kaitkan dengan eau de cologne yang mengandung minyak bergamot. Sayangnya, tak satupun dari peneliti yang memberikan perhatian terhadap pentingnya radiasi ultraviolet (UVR) utuk terjadinya reaksi ini.
   
Pada tahun 1938, H. Kuske menunjukkan bahwa senyawa furokumarin dari tanaman dapat menyebabkan fotosensitisasi, dan tidak lama setelah itu, T. Jensen dan K. G. Hansen melaporkan bahwa UVR antara gelombang 320 sampai 380 nm dapat menyebabkan reaksi maksimum. Pada tahun 1967, beberapa peneliti Inggris menemukan bahwa minyak kayu cendana yang digunakan dalam sunscreen dan kosmetik menyebabkan fotoalergi. Tidak lama kemudian, para ilmuwan Perancis menunjukkan bahwa minyak bergamot dalam suscreen menyebabkan gangguan fotosensitifitas, dan peneliti Jerman berhasil mengisolasi agen-agen fotoreaktif dari cologne, parfum, dan kontrasepsi oral.
   
Para peneliti telah mempublikasikan daftar agen fotoreaktif yang ditemukan pada ratusan zat, bahan kimia, dan obat-obatan. Untuk menghindari reaksi-reaksi fotosensitifitas, para ilmuwan mencoba untuk menentukan sifat-sifat fotosensitisasi dari zat-zat ini sebelum obat dipergunakan dalam terapi atau sebelum produk dipasarkan. Belakangan ini penelitian difokuskan pada pengidentifikasian agen fotoreaktif yang dapat ditemukan dalam produk-produk dan bagaimana mencegah atau mengendalikan masalah-masalah fotosensitifitas ini.

Reaksi Fotosensitifitas
   
Fotosensitifitas adalah sebuah reaksi kutaneous berbahya yang terjadi ketika zat kimia atau obat tertentu diaplikasikan secara topikal atau sistemik pada saat yang bersamaan dengan keterpaparan terhadap UVR atau sinar tampak. Reaksi-reaksi fotosensitifitas bisa dikelompokkan secara lebih khusus sebagai reaksi fototoksik atau fotoalergi. Fototoksisitas jauh lebih umum dibanding fotoalergi.
   
Reaksi-reaksi fotosensitifitas sangat sulit diprediksi. Reaksi-reaksi ini bisa terjadi pada orang usia berapapun meski lebih umum pada orang dewasa dibanding pada anak-anak, kemungkinan karena orang dewasa biasanya terpapar terhadap lebih banyak pengobatan dan agen-agen topikal. Besarnya fotosensitifitas berbeda-beda untuk setiap orang; meski memiliki imbas yang sama tidak setiap orang akan mengalami fotoreaksi. Seseorang yang mengalami fotoreaksi setelah satu kali keterpaparan terhadap sebuah agen mungkin tidak akan bereaksi pada agen yang sama setelah keterpaparan berulang; disisi lain, orang yang alergi terhadap salah satu zat kimia bisa mengalami fotosensitifitas yang terkait dengan bahan kimia.
   
Beberapa faktor, seperti kuantitas dan lokasi bahan-kimia atau obat pada/dalam kulit; kuantitas, spektrum, dan penetrasi radiasi pengaktivasi; ketebalan lapisan horny; besarnya pigmentsi melanin; status imunologi orang yang terkena, bisa mempengaruhi gambaran reaksi fotosensitifitas. Status imunologi seseorang sangat penting karena reaksi-reaksi fotosensitifitas sering ditemukan pada pasien-pasien yang terinfeksi AIDS (HIV). Jika pasien menunjukkan masalah kulit berkenaan dengan cahaya yang tidak diketahui asal usulnya, maka kemungkinan infeksi HIV patut dicurigai.
   
Fototoksisitas adalah sebuah bentuk fotosensitifitas yang tidak tergantung pada respon imunologi. Reaksi-reaksi fototoksik tergantung pada dosis dan akan terjadi pada hampir setiap orang yang menggunakan atau mengaplikasikan banyak agen pemicu dan UVR, tetapi dosis yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi ini berbeda-beda pada setiap orang. Reaksi-reaksi fototoksik bisa muncul pada keterpaparan pertama terhadap agen dan menunjukkan tidak ada sensitifitas-silang terhadap agen-agen yang terkait secara kimiawi.
   
Fotoalergi adalah sebuah bentuk fotosensitifitas yang dimediasi oleh sistem kekebalan. Reaksi fotoalergi terjadi hanya pada orang yang tersensitisasi dan tidak tergantung dosis, walaupun orang yang tersensitisasi kemungkinan mengalami reaksi ynag lebih kuat jika dosis lebih besar. Agen-agen kimia melalui sensitifitas-silang atau alerginisias-silang dapat menyebabkan erupsi-erupsi. Pada reaksi-silang seperti ini, fotosensitifitas terhadap salah satu bahan kimia meningkatkan kecenderungan seseorang untuk fotosensitifitas terhadap agen kimia selanjutnya.

Fotosensitizer
   
Agen-agen fotoreaktif atau fotosensitizer adalah zat-zat kimia yang dapat menimbulkan fotoreaksi. Bahan kimia bisa berupa obat terapeutik, kosmetik, bahan industri, atau bahan pertanian. Reaksi-reaksi fotosensitifitas bisa diakibatkan oleh fotosensitizer kimia yang diaplikasikan secara topikal, oral, atau suntik. Pada kebanyakan kasus, mekanisme yang digunakan adalah mekanisme fototoksisitas, meski beberapa agen menyebabkan fotoalergi, dan untuk beberapa agen mekanismenya masih belum pasti, atau kedua mekanisme bisa terlibat bersama-saama. Kebanyakan reaksi fototoksik terjadi akibat pemberian agen secara sistemik; reaksi-reaksi fotoalergi bisa diakibatkan baik oleh pemberian agen secara topikal maupun sistemik.
   
Bahan-bahan yang digunakan setiap hari seperti parfum, sabun, deodorant, losion, minyak rambut dan krim kosmetik, pemanis buatan, produk-produk petroleum, tattoo, dan makanan tertentu bisa mengandung agen-agen fotoreaktif.
   
Banyak pengobatan yang umum digunakan terkait dengan reaksi-reaksi fotosensitifitas, tetapi frekuensi yang digunakan masing-masing obat untuk memicu respon ini sedikit bervariasi pada populasi manusia. Pengobatan yang lebih umum digunakan, yang mengandung agen-agen fotoreaktif antara lain antibiotik (tetrasiklin, fluoroqiunolon, sulfonamida, dll), NSAID, obat-obat kardiovaskular, diuretik, obat-obat antidiabetes, antipsikotik, antihistamin, agen-agen kulit, dan lain-lain. Beberapa obat yang umum dan mekanismenya ditunjukkan pada Tabel.
   
Fotosensitizer yang diaplikasikan secara topikal, salisilailida terhalogenasi, benzokai dalam sabun dan produk-produk rumah-tangga lainnya, atau musk ambrette dalam losion cukur; dan stilbenes pada pemutih adalah penyebab erupsi fotoalergi yang paling sering.
   
Efek berbahaya yang umum dari beberapa agen anti-infeksi dan turunannya adalah reaksi-reaksi fotosensitifitas. Kebanyakan diantaranya adalah hidrokarbon siklik dan trisiklik, seringkali mengandung sebuah isopren berikatan-rangkap alternatif atau nukleus nafthyridin. Fluoroquinolon, agen-agen antibakteri, juga diketahui menyebabkan fotosensitifitas sebagai sebuah efek berbahaya, dan reaktifitas-silangya telah ditemukan secara klinis. Penelitian-penelitian empiris menunjukkan bahwa pefloxacin dan flreroxacin adalah fotosensitizer paling potensial sedangkan enoxacin, norfloxacin, dan ofloxacin kurang potensial. Tetrasiklin adalah contoh bahaya fototoksin dari antibiotik. Dianaranya, turunan-turunan klorin paling sering menyebabkan fototoksisitas.
   
Obat-obatan yang dibuat dari sulfat (antibakteri sulfonamida, hypoglikemik, diuretik) telah diketahui sebagai penyebab reaksi-reaksi fotosesitifitas sejak tahun 1939 ketika S. Epstein perama kali melaporkan dermatitis kontak fotoalergi setelah injeksi sulfanilamida intradermal.
   
Sunscreen membantu mengurangi efek UVR, tetapi beberapa sunscreen mengandung komponen-komponen yang menyebabkan fotosensitifitas itu sendiri. Diantaranya, asam para-amino benzoat (PABA) paling sering menyebabkan reaksi fotosensitifitas; benzofenon berada pada urutan kedua dalam menyebabkan reaksi-reaksi kulit.
   
Penggunaan produk-produk yang mengandung agen-agen fotoreaktif bisa memperburuk penyakit-penyakit kulit yang telah ada (eczem, herpes, dll) dan juga memicu atau memperburuk penyakit-penyakit autoimun (lupus erythematosus, rheumatoid arthritis).

Mekanisme fototoksisitas dan fotoalergi
   
Cahaya matahari memegang peranan peting dalam proses fotobiologis. Akan tetapi, cahaya matahari yang memberi kita hidup juga bisa menyebabkan morbiditas signifikan dalam bentuk luka-bakar matahari, reaksi obat, penyakit fotosensitif, dan fotoaging. Episode-episode fototrauma yag rekuren selama masa hidup dapat menyebabkanterjadinya kanker kulit.
   
Transformasi H menjadi He pada interior matahari melepaskan banyak energi yang mencapai permukaan bumi dalam bentuk radiasi elektromagnetik (EMR); sinar-x, sinar kosmis, gelombang listrik, gelombang radio, infrared, sinar tampak, dan UVR. Reaksi-reaksi fotosensitifitas bisa ditimbulkan oleh range spektrum EMR yang terbatas, mencakup UVR (200 – 400 nm) dan siar tampak (400 – 800 nm). Spektrum UVR dibagi menjadi UVB=290-320 nm, UVA=320-400 nm (UVA II=320-340 nm dan UVAA I=340-400 nm), dan UVC=200-290 nm. Hanya UVA dan UVB yang terlibat dalam reaksi-reaksi fotosensitiftas karena UVC dihambat oleh lapisan ozon pada atmosfer.
   
Gelombang spektrum sunburn, UVB, adalah faktor utama dalam fotoaging dan fotokarsinogenesis; UVA utamanya bertanggungjawab untuk reaksi-reaksi fotosensitifitas karena penetrasinya yang lebih dalam kedalam kulit dan memberikan kontribusi bagi fototrauma. UVB hanya menembus kedalam epidermis dan dermis papillary, sedangkan UVA menembus kedalam dermis retikular. Sinar UVB tidak menembus kaca jendela, sedangkan sinar UVA dan sinar tampak dapat menembusnya. Sinar-sinar UVA tidak berbeda intensiasnya seiring waktu dalam hari atau musim jika dibandingkan dengan UVB.
   
Reaksir-reaksi fotosensitifitas bisa terjadi pada keterpaparan terhadap baik UVA maupun UVB, tetapi lebih besar kemungkinanya terjadi pada range UVA.
   
EMR merambat dalam bentuk gelombang yang mengandung foton. Absorpsi foton sangat penting bagi fototoksisitas dan fotoalergi. Absorpsi menginduksi perpindahan sebuah elektron ke kulit elektron terluar yang kosong dan menyebabkan sebuah kondisi yang dikenal sebagai keadaan tereksitasi. Setelah ini, satu dari dua jenis reaksi terjadi.
   
Pada reaksi fototoksik, bahan kimia yang terfotoaktivasi menyebabkan kerusakan sel secara langsung; tidak ada periode sensitisasi yang diperlukan, dan mekanisme ini tidak terkait dengan imunologi, sehingga bisa dimanifesasikan selama keterpaparan awal. Reaksi ini tergantung pada jumlah senyawa, kadar radiasi pengaktivasi, dan kuantitas kromofor lain dalam kulit.
   
Absorpsi UVR menghasilkan bahan kimia atau metabolit dalam keadaan tereksitasi, yang pada giliranya bisa mengikuti salah satu dari dua jaur yang menyebabkan fotosensitisasi. Jalur pertama terjadi melalui pembentukan sebuah radikal bebas dan jalur kedua melalui pembentukan oksigen singlet, yang pada gilirannya menghasilkan oksidasi biomolekul, merusak komponen sel yang penting dan  memicu pelepasan mediator eritrogenik.
   
Reaksi fotoalergi bisa tidak terprediksi. Reaksi ini dimediasi oleh sistem imun dan ditentukan oleh baik respon hypersensitifitas lambat maupun reaksi hypersensitifitas cepat sebagai akibat dari respon IgE terhadap UVR. Masa inkubasi untuk memori imunologi untuk berkembang setelah kontak pertama dengan fotosensitizer diperlukan, sehingga tidak ada reaksi pada keterpaparan pertama. Pada keterpaparan selanjunya, timbulnya respon lebih singkat.
   
Bukti paling pertama tentang jalur fotosensitifitas yang dimediasi sistem imun diperoleh dari penelitian degan 3,3'4',5-tetraklorosalisilailida, sebuah agen fotosensitisasi kontak alergik. Tipe fotoalergi tertunda sedikit mirip dengan dermatitis alergi: fotoantigen (hapten) dipresenasikan oleh sel-sel Langerhans pideral pada limfosit-limfosit T dengan semua ciri selanjutnya dari respon hypersensitifitas kulit tertunda dari ifiltrasi limfosit, pelepasan limfokin, aktivasi sel-sel mast, dan kenampakan sitokin yang meningkat.
   
Akan bermanfaat untuk menentukan mekanisme pasti dari reaksi-reaksi fotosensitifitas karena fototoksisitas tergantung dosis, dan pengurangan dosis atau jumlah radiasi juga bisa membantu meminimalisir reaksi. Reaksi-reaksi fotoalergi tidak secara signifikan berubah dengan perubahan parameter-parameter ini. Sayangnya, beberapa agen memiliki mekanisme fototoksik dan fotoalergik, dan terkadang sulit secara klinis untuk membedaka antara kedua tipe reaksi ini.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...