Wednesday, March 10, 2010

Studi-Studi Epidemiologi Genetik Terhadap Penyakit Jantung Koroner

Laporan-laporan terbaru tentang urutan genom manusia umumnya dianggap dapat memberikan perubahan besar dalam pemahaman ktia tetang berbagai penyakit yang umum pada maunsia. Salah satu yang diharapkan adalah agar informasi baru yang diperoleh dari upaya pengurutan genom ini dapat mempermudah pelaksanaan kajian-kajian genetik pada populasi, yang mana akan menemukan varian-varian genetik yang bertanggungjawab untuk berbagai penyakit 'kompleks' dan 'polygenik' (yaitu yang diakibatkan oleh aksi lebih dari satu gen). Dalam review kali ini, saya mencoba untuk meninjau harapan ini dalam konteks penyakit jantung koroner (PJK). Pertama-tama, saya meninjau apa yang diketahui sejauh ini berkenaan tentang “arsitektur genetik” dari PJK. Kedua, saya akan membahas implikasi-implikasi dari “arsitektur gen” ini, dan implikasi dari isu-isu genetik tertentu, untuk perancangan penelitian. Ketiga, saya akan meninjau alasan-alasan mengapa hasil dari penelitian-penelitian epidemologi genetik tentang PJK sampai sekarang ini cenderung tidak konsisten, dan saya juga meelusuri strategi-strategi untuk meningkatkan reliabilitas dari penelitian-penelitian semacam ini di masa mendatang. Terakhir, saya akan membahas bagaimana studi-studi epidemiologi-genetik yang berskala-sedang bisa dilakukan dengan baik untuk mengatasi kontroversi-kontroversi yang penting dan sulit berkenaan dengan sifat-sifat kausatif dari faktor-faktor risiko terbaru yang dihipotesiskan untuk PJK.
   

Ada beberapa alasan mengapa studi-studi genetik terhadap penyakit-penyakit kompleks seperti PJK telah bergeser ke posisi sentral dalam pemikiran para ahli-geneika dan ahli-epidemiologi. Pertama, studi-studi genetik menawarkan peluang untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyakit yang kemungkinan besar sebagai agen kausatif. Ini karena genotip-genotip tidak berubah sepanjang hidup, dan dengan demikian tidak rentan untuk menjadi terganggu melalui mekanisme-mekanisme yang terkait baik dengan keberadaan penyakit itu sendiri atau respon tubuh terhadap penyakit (sebagai contoh, pada pengukuran faktor risiko terduga pada plasma). Kedua, perlengkapan farmakologi yang ada sekarang untuk penyakit-penyakit kompleks, terdiri dari obat-obatan yang beraksi pada gen dalam jumlah yang sangat kecil (hanya ratusan) dari sekitar 30.000 gen dalam genom manusia. Pengidentifikasian gen-gen terbaru yang memberikan kontribusi bagi risiko PJK dengan demikian bisa mengarah pada target-target terapeutik yang baru degan pendukung molekuler yang kuat. Ketiga, pegidentifikasian genotip-genotip risiko bisa memungkinkan penentuan risiko PJK individu secara lebih akurat dibanding dengan metode yang ada sekarang seperti pengukuran faktor risiko yang telah diketahui. Ini sebagian diakibatkan karena genotip-genotip dapat mengukur aktivitas jalur-jalur biologis yang terbaru atau yang tidak terukur, dan sebagiannya karena genotip-genotip tidak akan rentan terhadap fluktuasi jangka pendek dan kesalahan pengukuran, berbeda dengan pengukuran plasma dan faktor risiko fenotip kuantitatif lainnya.

Seberapa besar kontribusi genetik terhadap risiko PJK?
   
Berbagai rancangan penelitian telah digunakan untuk mencoba mengukur besarnya pengaruh komponen genetik terhadap kerentanan PJK. Studi-studi kembar klasik telah membandingkan kesesuaian untuk status penyakit antara saudara pasangan kembar mnozigot dan dizigot – terbukti bahwa risiko penyakit yang relatif lebih tinggi ditemukan pada kembar monozigot sehingga memberikan kontribusi bagi etiologi penyakit. Studi-studi ini pada umumnya mengasumsikan bahwa tingkat kemiripan paparan lingkungan antara saudara dari sebuah pasangan kembar adalah sama untuk pasangan monozigot dan dizigot, ini hampir merupakan sebuah penyederhanaa yang berlebih-lebihan; asumsi seperti ini cenderung mempertinggi perkiraan efek gen. Olehnya itu, perkiraan dari studi-studi kembar bisa dianggap sebagai batas teratas dari kontribusi gen yang sebenarnya terhadap risiko penyakit. Sebuah penelitian skala besar oleh Swedish Twin Registry (21.400 peserta, dimana 2810 diantaranya mengalami PJK fatal) menunjukkan bahwa risiko relatif dari PJK fatal pada kembar pria kedua diantara pasangan-pasangan kembar dimana kembar pertama telah meninggal akibat PJK sebelum usia 55 adalah sebesar 8,1 (95% CI: 2,7 – 24,5) untuk kembar monozigot (MZ) dan 3,8 (95% CI: 7,1 – 31,9) untuk kembar MZ dan 2,6 (95% CI: 1,0 – 7,1) untuk kembar DZ. Hasil-hasil ini menunjukkan adanya kontribusi genetik yang signifikan terhadap risiko kematian akibat PJK. Akan tetapi, pada usia dimana kembar meninggal karena PJK meningkat, maka perbedaan antara kembar MZ dan DZ menjadi lebih kecil, tanpa perbedaan signifikan antara kembar MZ dan DZ pada pasangan-pasangan dimana kembar pertama meninggal setelah usia 75. Olehnya itu, secara umum, dengan faktor risiko lingkungan tertentu, risiko PJK bisa dikaitkan dengan gen-gen yang tampak lebih besar pada usia yang lebih muda, dimana risiko-risiko genetik menjadi tidak signifikan pada orang-orang yang lebih tua. Dalam konteksi ini, perlu ditekankan bahwa mayoritas kematian akibat PJK terjadi pada kelompok usia yang lebih tua. Bersama dengan data dari penelitian lain, seperti studi adoptees dan study family inti yang mengandung banyak anggota keluarga yang terkena, temuan-temuan ini menunjukkan bahwa PJK, yang umum bagi kebanyakan penyakit onse-lambat yang menyebabkan berbagai morbiditas populasi di negara-negara maju, merupakah sebuah penyakit yang memiliki tingkat pewarisan rendah, walaupun signifikan.

Pertanyaan selanjutnya adalah berapa banyak gen, seberapa besar efeknya, yang bertanggungjawab terhadap pewarisan yang sedang ini. Jadi jelas, jik gen sedikit, dengan efek yang besar, maka gen-gen itu akan mudah ditemukan; sebaliknya, jika gen banyak, dengan efek masing-masing yang kecil, maka penemuannya akan lebih sulit. Beberapa faktor risiko “klasik” untuk PJK telah dibenarkan oleh beberapa penelitian yang dilakukan mulai dari tingkat populasi sampai ke tingkat molekul (seperti tingkat tekanan darah dan kadar lipid dalam plasma). Bagi kebanyakan faktor risiko ini, beberapa tingkatan agregasi familial bisa ditunjukkan, dan studi-studi epidemiologi genetik telah menunjukkan bahwa faktor-faktor itu sendiri masing-masing memiliki kemiripan dengan kontrol genetik seperti pada PJK. Distribusi faktor-faktor risiko kuantitatif seperti tekanan darah dan kadar lipida plasma  dalam populasi terus berlanjut, dan beberapa penelitian belum mampu menemukan bukti tentang 'gen utama' tunggal (yaitu, gen yang memiliki frekuensi populasi yang cukup besar dan efek yang besar) yang menyebabkan berhentinya distribusi-distribusi tersebut. Beberapa kondisi Mendelisme telah ditemukan yang mana memiliki efek yang sangat besar terhadap risiko PJK akibat efeknya terhadap satu faktor risiko atau yang lain, tapi kondisi-kondisi ini jarang dan memberikan kontribusi yang relatif sedikit bagi beban penyakit dalam populasi: hypercholesterolemia, contoh paling umum, yang diakibatkan oleh mutasi peng-inaktivitasi pada gen reseptor LDL, hanya menimpa 1 diantara 5000 orang pada kebanyakan populasi.
   
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa PJK merupakan sebuah fenotip tunggal yang tidak menjanjikan untuk pengamatan genetik, karena kerentanan terhadap penyakit sangat dipengaruhi oleh paparan lingkungan tunggal (merokok), dan karena faktor-faktor risiko utama lainnya yang dikenali kemungkinan dikontrol oleh banyak gen dan lingkungan. Ini menimbulkan dugaan bahwa gen-gen yang mempengaruhi risiko PJK akan banyak jumlahnya, sedikit individu yang terkena. Sekalipun dugaan ini merupakan isu yang paling penting dalam pembahasan tentang genetika PJK, namun ada beberapa alasan mengapa studi-studi tentang titik-akhir PJK bukan sekedar faktor risiko, masih tetap penting. Pertama, masih belum jelas apakah efek yang diamati dari polimorfisme gen terhadap risiko akan setaraf dengan yang diharapkan dari hubungan-hubungan “gabungan” antara polimorfisme dan faktor risiko, antara faktor risiko dengan penyakit. Ini karena polimorfisme tertentu bisa beraksi dengan beberapa jalur yang relevan dengan penyakit (efek genetik seperti ini disebut pleiotropi), dan jika demikian efeknya terhadap risiko bisa sangat berbeda dengan apa yang dapat diprediksikan berdasarkan efeknya terhadap sebuah faktor risiko tunggal. Penilaian yang dapat dipercaya untuk kontribusi dari gen-gen seperti ini terhadap risiko PJK akan memerlukan agar diteliti jumlah kasus PJK yang memadai, dan bukan sekedar hasil bandingan dari efek-efek polimorfisme terhadap faktor-faktor risiko. Sampai sekarang masih belum mungkin untuk menilai isu ini karena tidak adanya penelitian yang berukuran cocok dalam literatur dengan kedua genotip pada gen-gen kandidat dan pengukuran faktor risiko plasma. Alasan kedua untuk mengkaji titik-akhir dibanding sekedar faktor risiko adalah karena penentu genetik dari risiko bisa mempengaruhi jalur-jalur yang memiliki aktivitas yang sulit diukur dalam sampel-sampel yang dapat diambil pada studi epidemiologi yang berbasis darah (sebagai contoh jalur-jalur yang terlibat dalam apoptosis atau neoangiogenesis). Ketiga, studi-studi genetik yang berfokus pada titik-akhir PJK klinis kemungkinan memiliki sebuah bagian unik untuk digunakan dalam menguji hipotesis tentang jalur-jalur sebab akibat yang secara potensial sesuai dengan intervensi, seperti yang akan dibahas. 

Berapa banyak alel?
   
Kebanyakan penelitian epidemiologi-genetik tentang penyakit umum secara eksplisit atau implisit hanya berlaku bagi penyakit-penyakit umum tertentu – model varian yang umum. Dengan mengasumsikan bahwa sebuah gen tertentu memberikan kontribusi dengan jumlah tertentu terhadap kerentanan  terhadap sebuah penyakit umum, maka model ini mengusulkan bahwa varian-varian dalam gen tersebut yang menghasilkan kerentanan akan menjadi umum dalam populasi (yaitu, memiliki frekuensi alel lebih besari dari sekitar 5%; kemungkinan ada sekitar 7 juta varian yang umum seperti ini terdistribusi di dalam genom manusia). Pada model “multiple-rare-variant”, banyak varian, masing-masing dengan frekuensi alel rendah dalam populasi, memberikan kontribusi dari sebuah gen terhadap risiko penyakit (walaupun kontribusi dari semua varian gen dianggap yang dipertimbangkan bersama bisa memiliki besaran yang sama seperti pada model “varian umum”). Penelitian-penelitian simulasi menunjukkan bahwa pada model “multiple-rare-variant”, pendeteksian alel-alel kausatif jauh lebih sulit, dan hanya penyakit kompleks dimana gen tertentu sangat substansial dalam mempengaruhi risiko yang bisa diamati dengan baik menggunakan ukuran sampel yang realistis. Dengan teknologi yang ada sekarang dan sumber-daya populasi, kita tidak mungkin mengamati model “multiple-rare-variant” secara lebih sistematis. Jika model tersebut benar-benar mewakili arsitektur gen PJK, maka walaupun pendeteksian jalur-jalur kausatif yang lebih baru dan target-target obat masih bisa memungkinkan pada penelitian skala besar, namun penggunaan data genetik ini dalam penilaian risiko untuk tujuan kesehatan masyarakat tidak mungkin dilakukan, karena tidak ada varian individual yang memiliki frekuensi populasi yang cukup tinggi untuk memberikan kontribusi secara material bagi risiko penyakit populasi.
   
Data yang tersedia menunjukkan bahwa model yang manapun bisa diaplikasikan pada penyakit-penyakit yang berbeda. Contoh yang baik dari sebuah alel umum dengan efek besar, yang selanjutnya memberikan kontribusi signifikan bagi risiko penyakit populasi, adalah mutasi Faktor V Leiden yang menyebabkan resistensi protein C teraktivasi (APCR). APCR terdapat pada 20-50% pasien yang mengalami thromboembolisme venous, dan pada kebanyakan kasus diakibatkan oleh sebuah mutasi tunggal (sebuah transver G ke A pada nukleotida 1691) dalam gen untuk faktor koagulasi. Mutasi ini cukup umum (dengan semua frekuensi alel sekitar 3-5%, yang menghasilkan sebuah frekuensi carrier 5-10% pada kebanyakan populasi Kaukasoid), dan memberikan risiko relatif bagi thrombosis venous terhadap carrier sekitar lima kali lipat. Sebaliknya, pada kasus penyakit Crohn, data terbaru telah menunjukkan bahwa beberapa variant langka yang berkelompok dalam gen NOD2 menimbulkan kerentanan pada beberapa pasien tertentu. Sejauh ini, belum ada alel dengan signifikansi populasi yang serupa dengan Faktor V Leiden yang telah ditemukan dalam penelitian PJK .
   
Sehingga, dengan mempertimbangkan bukti yang ada, ada kemungkinan bahwa efek genotip pada setiap polymorfisme individual terhadap risiko PJK akan kecil – ini kemugkinan diakibatkan oleh adanya hubungan genetik yang kuat dengan PJK yang lebih dikenali, yaitu dari alel apolipoprotein E 4, yang memberikan risiko infarksi myocardial relatif sebesar 1,2-1,3 terhadap carrier yang telah dibuktikan pada ribuan kasus penyakit. Ini berbeda degan risiko relatif bagi perokok sebesar 0,5 jika dibandingkan dengan non-perokok pada kelompok usia yang serupa.
Studi-studi kasus-kontrol tentang hubungan genetik pada PJK
   
Ada dua kategori umum rancangan penelitian untuk meneliti genetika dari sifat-sifat yang kompleks. Kategori-kategori ini adalah studi-studi pertalian dan studi-studi hubungan. Studi pertalian meneliti pewarisan-dampingan dari segmen-segmen kromosomal yang mengandung penyakit dalam keluarga, sedangkan studi hubungan meneliti korelasi antara keberadaan alel-alel spesifik dengan penyakit pada populasi-populasi yang terdiri dari kasus-kasus penyakit dan kontrol. Dengan adanya efek genetik yang cukup besar, studi pertalian merupakan metode yang sangat efisien untuk mencari gen, dan telah mejadi upaya utama untuk memetakan dan mengklonkan gen-gen yang bertanggungjawab untuk penyakit Mendelisme di era modern ini. Akan tetapi, selama 5 tahun yang lalu telah diakui bahwa, untuk mengidentifikasi loci bagi penyakit-penyakit kompleks yang memiliki pewarisan relatif rendah seperti CHD, studi-studi hubungan skala-besar akan diperlukan, studi-studi seperti ini memiliki power yang lebih besar untuk memecahkan efek-efek kecil dibanding pada studi-studi pertalian. Studi-studi hubungan seperti ini bisa dilakukan pada kasus dan kontrol yang tidak terkait dengan cara yang sama seperti pada epidemiologi lingkungan klasik, atau pada kasus-kasus dan anggota-anggota keluarganya (dimana genotip 'kontrol' yang dibandingkan dengan genotip kasus dibuat dari alel-alel yang tidak diwariskan orang-tua heterozigot kepada sebuah kasus). Basis matematis untuk gagasan di atas telah dibahas oleh Risch.
   
Secara keseluruhan rancangan studi yang paling sering digunakan adalah yang melibatkan kasus-kasus penyakit tidak-terkait dan kontrol-kontrol yang tidak-terkait, utamanya karena studi seperti ini jauh lebih mudah dikumpulkan dibanding studi-studi yang berbasis rumah tangga. Frekuensi-frekuensi alel pada polymorfisme kandidat yang diinginkan dibandingkan antara kasus dan kontrol. Ada kelemahan yang sering ditemukan pada pelaksanaan dan interpretasi studi-studi seperti ini dalam epidemiologi klasik: studi-studi yang melibatkan banyak kasus menghasilkan perkiraan-perkiraan yang lebih tepat tentang segala hubungan dari sebuah faktor tertentu dengan risiko, dan pada kasus yang memiliki efek kecil, studi-studi skala besar diperlukan; ada potensi untuk terjadi bias jika kasus dan kontrol tidak dicocokkan dengan baik; hasil salah positif bisa terjadi jika analisis sub-kelompok berlebihan dilakukan, khususnya jika jumlah peristiwa dalam penelitian kecil; dan replikasi pada sebuah kohort independen memberikan bukti kuat yang mendukung pembetulan dan kesimpulan.
   
Kelemahan yang spesifik terhadap studi-studi hubungan genetik tipe ini terkait dengan potensi untuk terjadinya perbauran akibat stratifikasi etnis yang kecil dan tidak terdeteksi antara kasus dan kontrol. Jika terdapat perbedaan etnis seperti ini antara kasus dan kontrol maka hal ini akan ditunjukkan oleh perbedaan frekuensi alel dalam jumlah penanda genetik yang besar, dan hanya sedikit jika ada diantaranya yang akan mengindikasikan hubungan “sejati” dengan penyakit yang muncul akibat proksimitas kromosomal dengan sebuah lokus yang menyebabkan penyakit. Walaupun isu ini seringkali disebut sebagai penyebab hasil positif keliru yang potensial, namun jarang terbukti terlibat. Bahkan pada studi-studi ini kita bisa berpendapat bahwa pencampuran etnis terbaru dengan tingkatan berbeda pada kasus dan kontrol cukup jelas dari data demografi yang tersedia, dan semestinya telah dideteksi oleh para peneliti yang selalu berhati-hati.
   
Bukti terbaru menunjukkan bahwa populasi outbred yang dipilih berdasarkan kesukuan yang dilaporkan-sendiri, dan pada mereka yang menerapkan perlindungan wajar dalam proses pemastian untuk menghindari populasi yang berbaur, risiko stratifikasi etnis yang tidak-diduga dan cukup untuk menimbulkan hasil positif keliru, bisa dikatakan rendah. Disamping itu, tehnik-tehnik matematis yang baru-baru ini dikembangkan, yang melibatkan perbandingan frekuensi-frekuensi alel pada berbagai polimorfisme yang terpilih secara acak, memiliki potensi untuk menemukan apakah stratifikasi signifikan benar-benar ada antara kasus dan kontrol pada penelitian semacam ini.

Disequilibrium pertalian :

palau-pulau di tengah-tengah arus variasi?
   
Studi-studi asosiasi/hubungan tergantung pada sebuah fenomena yang dikenal sebagai “disequilibrium link-usia', yang menjelaskan tingkat hubungan non-acak antara sebuah alel spesifik pada salah satu lokus (misalnya, alel D pada polimorfisme penyisipan/penghapusan ACE) dan sebuah alel spesifik pada lokus dekat lainnya. Pada sebuah kasus ekstrim, sebuah alel yang ditemukan pada salah satu lokus merupakan sebuah indikator sempurna untuk alel yang akan ditemukan pada sebuah lokus tetangga. Jika dua loci seperti ini dalam “disequilibrium pertalian lengkap” digunakan sebagai penanda, maka salah satu loci berlebih-lebihan untuk tujuan pemetaan: jika salah satu lokus seperti ini merupakan polimorfisme penanda pada tes dan yang kedua merupakan polimorfisme kausatif yang tidak diketahui, maka disequilibrium pertalian lengkap memastikan adanya kapabilitas maksimum untuk mendeteksi pengaruh polimorfisme kausatif yang menggunakan penanda. Kapabilitas sebuah penanda untuk mendeteksi hubungan dengan penyakit berkurang drastis pada saat disequilibrium pertalian antara penanda dan varian kausatif tetangga berkurang. Secara umum, semakin jauh kedua loci, maka semakin mungkin disequilibrium ikatan yang mungkin ada antara alel-alel pada dua loci (sebagai akibat dari mutasi, perbauran atau penipisan populasi dalam sejarah populasi) telah diuraikan oleh rekombinasi antara loci. Ini cenderung mengimbangi keseimbangan menuju frekuensi genotip gabungan pada dua loci yang hanya tergantung pada frekuensi alel di setiap lokus. Jarak genetik yang menjadi ruang operasi disequilibrium pertalian mengatur berapa banyak penanda yang akan dituliskan oleh seseorang pada daerah genom tertentu, atau pada sebuah gen kandidat khusus, maka sudah pasti bahwa orang tersebut telah “menangkap” semua variabilitas signifikan yang terdapat yang terdapat pada populasi yang diteliti, yang akan diperlukan untuk mengimplikasikan atau mengeluarkan sebua gen atau daerah secara definitif. Sebagai konsekuensinya, topik ini telah menjadi salah satu subjek yang paling menarik bagi ahli genetika manusia, dan beberapa penanda yang akan dituliskan untuk mencakup seluruh genom telah diperkirakan antara 50.000 sampai 500.000 dengan banyak berdasarkan pada data-data simulasi.
   
Akan tetapi, studi-studi molekuler terbaru menunjukkan bahwa disequilibrium pertalian (LD) pada genom manusia tertata dalam blok-blok, dalam mana terdapat disequilibrium yang sangat mendasar antara polimorfisme-polimorfisme, yang dipisahkan oleh hotspot rekombinasi yang didalamnya terdapat sedikit disequilibrium. Panjang blok-blok disequilibrium ini bervariasi, tapi pada beberapa kasus bisa meluas sampai puluhan kilo-basa dalam mana hanya satu atau dua polimorfisme nukleotida tunggal (SNP-polimorfisme yang dihasilkan dari sebuah transversi sederhana salah nukleotida menjadi nukleotida lainnya, dan dengan demikian bersifat bialel) yang akan menangkap mayoritas variasi pada populasi tertentu. Ini merupakan berita baik bagi pada ahli-epidemiologi genetik yang bermaksud melakukan studi-studi hubungan, karena jumlah genotyping yang diperlukan untuk mencapai pencakupan (coverage) seketika terlihat jauh lebih kecil dibanding sebelumnya. Akan tetapi, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendefinisikan batas-batas blok disequilibrium, dan pendapat-pendapat yang berbeda tentang apakah harus diupayakan untuk karakterisasi genom-luas dari blok-blok LD atau apakah daerah-daerah dimana gen-gen kandidat yang spesifik untuk kondisi-kondisi tertentu terdapat harus diprioritasksan. Kelemahan lainnya yang penting adalah bahwa pola-pola LD tergantung tidak hanya pada jarak genetik antara polimorfisme-polimorfisme tetapi dan keberadaan hotspot, tetapi juga riwayat populasi. Kebanyakan populasi yang tidak berasal dari Afrika terlihat memiliki blok-blok LD yang cukup ekstensif; akan tetapi, beberapa penelitian telah menunjukkan terdapat jauh lebih sedikit LD pada populasi Afrika. Sehingga, pemetaan jangka-panjang dengan menggunakan LD akan jauh lebih sulit pada populasi-populasi asli Afrika, dengan jumlah loci yang berpotensi lebih banyak diperlukan untuk dityping agar dapat mencapai cakupan area spesifik atau gen. Juga jelas bahwa dalam sebuah blok LD akan sulit untuk mengidentifikasi polimorfisme-polimorfisme kausaatif karena semua polimorfisme dalam sebuah blok, kausatif dan non-kausatif, akan berada pada LD dengan satu sama lain, dan dengan demikian susah untuk dibedakan. Perbedaan-perbedaan antar populasi ini bisa memberikan manfaat bagi para ahli genetika: salah satu pendekatan yang mungkin, yang telah berhasil digunakan oleh beberapa kelompok, adalah pemetaan trans-etnis, dimana lokalisasi “kasar” dibuat pada sebuah populasi yang memiliki LD ekstensif, dan lokalisasi yang lebih halus dilakukan pada sebuah populasi asal Afrika. Akan tetapi, pendekatan ini mengasumsikan bahwa varian-varian yang menyebabkan penyakit akan sama, atau sekurang-kurangnya pada bagian sama dari se buah gen, pada kedua populasi, yang mungkin tidak terjadi pada beberapa penyakit. Secara umum, karena studi-studi hubungan tergantung tidak hanya pada hubungan antara gen dan penyakt spesifik tapi juga terhadpa riwayat riwayat populasi yang diteliti, maka hasil yang diperoleh mungkin tidak bisa diberlakukan antara populasi-populasi sebelum polimorfisme kausatif diuji. Apakah mayoritas upaya pertama-tama difokuskan pada gen kandidat atau genom-luas, namun temuan-temuan terbaru tentang struktur LD pada beberapa daerah telah mengilustrasikan adanya kebutuha yang penting akan sebuah upaya yang terkoordinasi secara nternasional untuk menjelaskan struktur pada berbagai populasi.
Pendekatan gen kandidat atau 'hipotesis umum'?
   
Kebanyakan studi hubungan gen yang dipublikasikan sejauh ini cenderung hanya mentipekan beberapa polimorfisme gen yang dianggap seagai kandidat karena pentingnya polimorfisme ini dalam sebuah jalur biokimia spesifik  secara definit atau kemungkinan terimplikasi pada sebab-akibat kasus. Studi hubungan gen kandidat kemungkinan tetap menjadi hal utama dari pengamatan genetika manusia untuk penyakit kompleks pada beberapa tahun yang akan datang, tapi informasi yang tersedia dari Human Genome Project dan upaya sistemik paralel untuk menemukan SNP pada gen-gen kandidat dan melalui genom secara radikal akan mengubah cakupan dari penelitian-penelitian ini.
   
Dengan memperhatikan jumlah polimorfisme yang perlu ditipekan pada setiap gen kandidat untuk mengkonfirmasikan atau mengeliminasi gen tersebut dari keterlibatan dalam etiologi penyakit, maka semakin jelas dari data yang dibahas diatas tentang LD bahwa tingkat sejauh mana polimorfisme tertentu atau sekumpulan dari beberapa polimorisme dapat menjelaskan semua variasi pada sebuah gen kandidat, cukup bervariasi antara gen-gen. Sebagai contoh, pada gen lipoprotein lipase (LPL), sebuah kandidat untuk kerentanan CHD, terdapat rekombinasi “hotspot” pada sebah segmen 1,9-kb dalam pertengahan gen, dan dalam hotspot ini beberapa polimorfisme harus ditipekan untuk memperoleh gambaran lengkap tentang variabilitas bahkan pada daerah yang pendek ini. Akan tetapi, di luar 'hotspot', variasi yang masih ada dalam gen bisa ditunjukkan dengan mentipekan relatif sedikit polimorfisme. Dalam gen ACE (enzim pengkonversi angiotensin-I), telah ditunjukkan bahwa hanya ada tiga golongan haplotipe yang umum (sebuah haplotipe menjelaskan susunan berfase dari genotip-genotip di sepanjang sebuah kromosom) pada populasi-populasi Kaukasoid, dan sehingga salah satu dari dari kelompok haplotipe muncul dari sebuah peristiwa rekombinasi ancestral bahkan antara dua haplotipe yang paling umum di sekitar exon 7 dari gen. Sehingga, mayoritas variabilitas populasi signifikan pada lokus ini (yang meluas lebih 25 kb) pada ras Kaukasoid bisa dijelaskan dengan genotyping hanya pada dua dari 78 polimorfisme yang dijelaskan di dalam gen, satu pada masing-masng sisi peristiwa rekombinasi dalam pertengahan gen. Perubahan mendasar dalam studi hubungan gen kandidat dalam beberapa tahun yang akan datang merupakan sebuah pertimbangan jelas dari struktur haplotipe gen-gen yang diamati dan genotyping selektif dari SNP “haplotype-tagging” dipilih berdasarkan pengetahuan tentang variasi yang terdapat dalam populasi. Ini mungkin tidak mudah – meskipun sangat banyak SNP 9lebih dari 2 juta) yang telah menumpuk dalam Database SNP, sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa, untuk beberapa gen kandidat, SNP yang tersedia tidak cukup untuk menjelaskan variasi yang ada. Sehingga, banyak penelitian pendahuluan tentang definisi SNP, identifikasi SNP dan pemilihan SNP dalam gen kandidat yang diharapkan pada tahun-tahun yang akan datang, walaupun beberapa kelompok sebelumnya telah menghasilkan banyak data yang menunjukkan seringnya SNP muncul pada urutan exonic dan 5' untuk beberapa gen kandidat bagi PJK.
   
Fasiltias yang meningkat yang bisa digunakan untuk mentipekan SNP, ketersediaan berbagai SNP dalam database, dan informasi terbaru tentang struktur LD pada berbagai daerah genomik, meningkatkan kemungkinan bahwa eksperimen “hipotesis umum” bisa dilakukan dalam beberapa tahun. Sebuah manfaat dari pendekatan seperti adalah sifatnya yang tidak bias dan potensinya untuk menemukan gen-gen yang berpartisipasi pada jalur-jalur kausatif terbaru, yang mungkin belum diteliti pada sebuah pendekatan gen kandidat. Perkembangan lebih lajut dalam teknologi genotyping, khususnya dari segi biaya da proses, akan diperlukan sebelum pendekatan seperti ini bisa diimplementasikan dengan sukses; dan juga, interpretasu berbagai data yang akan dihasilkan oleh eksperimen seperti ini memberikan banyak tantangan yang unik.
Mengapa hasil-hasil yang ada sejauh ini tidak bisa diandalkan?
   
Keberhasilan epidemiologi klasik dalam meneliti PJK selama lebih dari 30 tahun silam memiliki dua dasar utama. Pertama, faktor-faktor yang telah berhasil diamati untuk hubungan dengan penyakit bisa diukur ssecara akurat; dan kedua, ukuran efek faktor risiko yang ditentukan pada penyakit cukup besar. Bagaimana penelitian-penelitian epidemiologi genetik tentang PJK mengukur tolok ukur ini? Tentunya, data genotip sangat terpercaya jika dibandingkan dengan pengukuran sebuah faktor risiko plasma seperti kadar fbirinogen; data genotip tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu sehingga isu-isu “regression dilution” tidak muncul. Akan tetapi, seperti yang telah dibahas, besarnya efek setiap polimorfisme tertentu terhadap risiko kemungkinan sangat jauh lebih kecil efek faktor-faktor risiko “lingkungan”, seperti merokok, yang telah diidentifikasi dalam studi-studi klasik. Sudah menjadi prinsip epidemiologi bahwa semakin kecil efek yang dicari, maka semakin besar pengamatan terencana yang harus dilakukan untuk menghasilkan hasil yang dapat diandalkan; semua optimisme yang keliru tentang kemungkinan besarnya efek gen telah menyebabkan banyaknya studi yang kontradiksi yang terdapat dalam literatur tentang epidemiologi genetik dari PJK. Menurut pandangan saya, kita sangat memerlukan perubaha radikal dalam hal pendekatan yang digunakan para peneliti dan para edtor jurmal untuk meamstikan bahwa bidang ini tidak menjadi buruk di mata umum. Sayangnya, studi-studi hubungan genetik yang dilakukan sejauh ini terlalu kecil untuk bisa memberikan dukugan kuat dan cenderung diterima untuk publikasi jika hasil-hasil positif diperoleh. Ini khususnya benar jika sebuah wawasan etiologi yang terbaru telah diperoleh. Beberapa meta-analisis dengan meyakinkan telah menunjukkan adanya bias publikasi seperti ini untuk beberapa polimorfisme yang diamati secara intensif, termasuk polimorfisme I/D dari gen ACE.
   
Mungkin kesulitan konseptual mendasar dalam pelaksanaan penelitian-penelitian ini adalah bahwa sudut-pandang yang jauh lebih bersifat Bayesian dibanding yang biasa dalam berbagai eksperimen biologi, sangat diperlukan. Diperkirakan ada sekitar 5 juta polimorfisme nukleotida tunggal dengan frekuensi alel kecil >= 10%, dan 11 juga SNP dengan frekuensi alel kecil >= 1%. Kemungkinan terdahulu bahwa setiap dari polimorfisme ini berhubungan sebab-akibat dengan PJK terbukti sangat kecil kebenarannya. Bahkan apabila polimorfisme dipilih secara acak pada gen-gen kandidat yang dikenal atau diduga terletak dalam sebuah jalur sebab-akibat penyakit, kemungkinan terdahulu tentang hubungan, meskipun tidak dapat dihitung secara komersial, harus tetap rendah. Dalam situasi ini, perbedaan frekuensi alel antara kasus dan kontrol yang signifikan pada tingkat P < 0,05 yang diterima secara konvensional kemugkinan besar menunjukkan sebuah hasil positif keliru ketimbang hasil positif yang sebenarnya, karena perbedaan seperti ini sangat kecil kemungkinannya sebagia akibat dari hubungan sebab akibat. Masalah ini cenderung semakin susah akibat mudahnya polimorfisme genetik ditipekan dan berbagai hipotesis yang diuji denga pertimbangan post hoc. Walaupun ambang batas yang sesuai untuk signifikan pada studi-studi ini tidak disetujui sejauh ini, namun beberapa pemerintah telah menganjurkan bahwa ambang batas tersebut jauh lebih ekstrim dibanding yang digunakan sampai sekarang ini (sebagai contoh Risch telah menunjukkan P =  5 x 10-8 untuk SNP yang dipilih secara acak). Untuk memberikan kapabilitas yang layak dalam mendeteksi efek-efek kecil bahkan dengan kriteria signifikansi yang secara substansial kurang tegas (misalnya, P < 0,001, yang jika diadopsi masih akan menghasilkan pengklasifikasian ulang kebanyakan studi hubungan-gen kasus-kontrol PJK 'positif' sebagai negatif), studi-studi yang jauh lebih besar dibanding yang biasa diperlukan.
   
Bisa disarankan untuk merevisi perkiraan sebuah tingkat signifikansi yang sesuai berdasarkan faktor-faktor yang pada kasus polimorfisme tertentu, bisa secara signifikan mempengaruhi kemungkinan adanya hubungan sebab-akibat sebelumnya. Pada kasus polimorfisme ApoE ɛ2/ɛ3/ɛ4, genotip secara signifikan mempengaruhi kadar kolesterol dalam plasma dan sub-sub fraksinya, kelainan genetik tertentu pada ApoE terkait dengan abnormalitas lipid yang parah dan PJK prematur, dan isoform-isoform PJK yang berbeda telah terbukti memiliki sifat-sifat yang berbeda signifikan secara biologis dalam hal berbagai aksi yang berpotensi relevan dengan perkembangan atherosclerosis. Semua faktor ini bertindak untuk meningkatkan kemungkinan sebelumnya bahwa hubungan antara genotip ApoE dengan PJK yang ditemukan pada tingkat signifikansi statistik tertentu bersifat sebab-akibat. Riwayat hubungan-hubungan genetik yang kuat pada lokus HLA yang membawa berbagai penyakit autoimmune (kebanyakan diantaranya pada awalnya ditemukan dan direplikasi oleh studi-studi hubungan pada kasus dan kontrol unilateral, dan selanjutnya dikuatkan dengan studi-studi family) memberikan contoh lain yang dengan kuat mendukung yang menyatakan bahwa studi-studi kasus-kontrol bisa mendeteksi efek-efek genetik dengan baik jika probailitas sebelumnya tentang hubungan sebab-akibat cukup tinggi.
   
Ada kemungkinan besar bahwa individu-individu yang memiliki genotip tertentu memiliki kerentanan yang berbeda terhadap efek paparan lingkungan, dimana terdapat konsekuensi berbahaya dari sebuah paparan lingkungan pada genotip tertentu ini ('interaksi lingkungan gen'). Beberapa penelitian telah difokuskan pada upaya-upaya untuk mengidentifikasi 'interaksi-interaksi' seperti ini dengan menguji efek paparan lingkungan pada sub-sub kelompok kasus-kasus genotip dan kontrol. Hampir pada setiap kasus, analisis seperti ini mencakup jumlah kasus dan kontrol yang sangat sedikit dalam sub-sub kelompok yang diklaim menunjukkan perbedaan dan kekurangan epidemiologi klasik tentang penekanan tak-beralasan terhadap hasil-hasil dari analisis ini tidak diperhatikan. Karena efek yang mungkin dari alel tertentu secara keseluruhan kemungkinnnya kecil, maka upaya-upaya untuk mendeteksi heterogenitas antara sub-sub kelompok individu yang membawa sebuah alel seperti in ikemungkinan sangat tidak bisa dipercaya sebelum dilakukan dalam jumlah kasus penyakit yang lebih besar (beberapa ribu) dibanding yang biasa dilakukan sampai sekarang ini. Dari segi praktis, Clayton dan McKeigue baru-baru ini telah menemukan bahwa manfaat terhadap kesehatan-masyarakat dari pentargetan intervensi terhadap individu-individu yang memiliki genotip khusus yang rentan terhadap faktor lingkungan berbahaya spesifik kemugnkinan terbatas, sehingga manfaat yang lebhi besar kemungkinan bisa diperoleh dari intervensi-intervensi yang diarahkan pada seluruh populasi. Ini mempertanyakan penekanan terhadap interaksi lingkungan gen yang saat ini mempengaruhi desain beberapa studi kohort skala besar lebh engarah kepada epidemiologi genetik penyakit kompleks, yang mencakup sebuah penelitian terhadap 500.000 individu selama 10 tahun di Inggris (untuk lebih rincinya silahkan lihat http://www.wellcome.ac.uk/en/1/biovenpop.html).
   
Dengan demikian ada tiga isu – ukuran efek genetik terantisipasi yang kecil, kebutuhan akan tingkat signifikansi yang tinggi untuk mengimbangi probabilitas hubungan terdahulu yang sangat kecl, dan tujuan beralasan untuk meneliti efek polimorfisme tertentu pada jumlah sub-kelompok terpilih yang terbatas – yang semuanya mengacu pada kesimpulan bahwa penelitian-penelitian yang jauh lebih besar dari yang banyak digunakan sekarang ini (yang melibatkan ribuan kasus penyakit dan kontrol) diperlukan dalam bidang ini untuk memperoleh hasil yang dapat diadalkan. Akan tetapim jumlah dari studi-studi yang berskala sangat besar ini akan sedikit – lalu dimana tempat para pengamat yang memiliki akses terhadap kohort yang berukurang kecil atau sedang yang ingin memberikan kontribusi bagi bidang ini, dan bagaimana replikasi dari hasil studi yang berskala sangat besar ini akan terjad? Menurut pandangan saya, diperlukan upaya-upaya kerjasama yang melibatkan deposisi data mentah genotip dan fenotip, yang dianonimisasi secara tepat, pada sebuah database sentral bisa diakses dan dianalisis oleh semua kontributor. Database-database seperti ini bisa dibuat oleh kelompok-kelompok tertentudengan tanggungjawab koordinasi yang telah disepakati, oleh perwakilan dana nasional, atau oleh jurnal-jurnal yang memiliki kepentingan khusus untuk memecahkan apakah hubungan khusus yag dihipotesiskan benar-benar ril. Sains yang dikejar menurut model kompetitif tradisional belum menunjukkan hasil yang mengesankan dalam bidang ini dan banyak dana yang mungkin telah dihabiskan dalam studi-studi genotyping yang sebenarnya terlalu kecil utuk bisa menghasilkan hasil yang akurat.

Hubungan-hubungan genetik sebagai sebuah uji kausalitas
   
Salah satu kontribusi penting yang akan diberikan oleh studi-studi epidemiologi genetik terhadap pemahaman tentang patogenesis PJK adalah dengan mengatasi beberapa kekurangan trial klinis dan epidemiologi klasik melalui “pengacakan Mendelisme” untuk menguji hipotesis tentang kauslitas jalur-jalur tertentu dalam PJK. Pada berbagai faktor yang bisa diukur dalam plasma (misalnya, fibrinogen, protein C-reaktif, dan homocystein) telah diusulkan sebagai faktor risiko independen untuk PJK, akan tetapi, sifat kausatif dari hubungan-hubungan yang telah diamati masih belum pasti. Estimasi tentang apakah ada hubungan yang sebenarnya cukup sulit dilakukan, tidak sekedar karena faktor-faktor ini cenderung terkait dengan keberadaan faktor-faktor risiko pasti (seperti merokok, dan kadar kolesterol plasma) dengan mana faktor-faktor ini berbaur. Walaupun pertimbangan statistik bisa dilakukan pada studi-studi prospektif dan studi kasus-kontrol terhadap faktor-faktor dan risiko ini, namun kemungkinan tidak sempurna. Sebuah pendekatan alternatif adalah intervensi farmakologi langsung pada sebuah trial klinis untuk mengubah tingkat faktor risiko; akan tetapi, agen-agen spesifik yang cocok tidak selamanya tersedia (misalnya, fibrates yang mengurangi kadar fibrinogen dalam plasma, juga mempengaruhi kadar lipid dalam plasma). Apakah studi-studi genetik bisa mengklarifikasi situasi ini? Anggap sebuah polimorfisme tersedia yang terkait dengan perbedaan kadar plasma dari salah satu faktor risiko yang dhipotesiskan. Individu-individu bisa dianggap telah diacak pada saat konsepsi, dengan cara Medlisme, terhadap berbagai perbedaan kadar plasma dari faktor risiko. Dengan polimorfisme yang beraksi hanya untuk merubah kadar faktor risiko plasma, dan tidak menghasilkan sebuah protein yang memiliki karakteristik fungsional yang cukup berbeda, maka setiap hubungan antara genotip dan penyakit yang ada diduga dapat diprediksi dari hubungan-hubungan “komponen” antara genotip dan kadar faktor risiko dalam plasma, dan antara faktor risiko dengan penyakit. Jika tidak ada hubungan genotip dan penyakit yang ditemukan, meski terdapat hubungan antara genotip dan faktor risiko, dan antara faktor risiko dan penyakit, maka bisa disimpulkan bahwa hubungan antara faktor risiko denga penyakit ditentukan secara keliru, karena hasil gentik tidak tergantung pada kesalahan pengukuran dan perbauran (kecuali oleh polimorfisme terkait yang tidak ditipekan yang mempengaruhi fungsionalitas protein). Dengan cara ini, kauslaitas faktor risiko bisa dinilai. Akan tetapi, utuk memiliki kapabilitas yang cukup untuk mendeteksi apakah ada perbedaan signfikan antara hubungan “terduga” dengan hubungan “teramati” dari setiap polimorfisme dengan penyakit, maka studi-studi skala besar diperlukan – sebagai contoh, sebuah studi dengan lebih dari 4000 kasus diperlukan untuk membuktikan atau mengeliminasi risiko relatif terduga sebesar 1,2 untuk PJK yang terkait dengan sebuah polimorfisme dari promoter beta-fibrinogen. Polimorfisme telah ditemukan yang mana akan cocok untuk menetukan tupe dengan cara yang sama untuk menilai kausalitas kadar plasma dari homocystein dan protein C-reaktif. Sebuah polimorfisme (C677T) dari gen MTHFR telah diketahui terkait dengan homocystein yang meningkat pada berbagai penelitian, dan pada beberapa diantaranya risiko PJK telah diamati untuk hubungan dengan genotip. Akan tetapi, jumlah kejadian paa studi-studi ini terlalu kecil untuk bisa mencapai kesimpulan yang kuat, dan hipotesis memerlukan pengujian pada sebuah studi berskala besar. Baru-baru ini, sebuah polimorfisme (-174C/T) dari gen interleukin-6 telah ditunjukkan pada salah satu penelitian terkait dengan kadar dasar plasma CRP, namun penelitian ini masih menunggu pembuktian. Kapasitas studi epidemiologi genetik untuk membedakan antara hubungan kausal dan non-kausal (pada jalur-jalur yang berpotensi sesuai dengan intervensi) bisa menjadi kontribusi paling signifikan dari studi-studi seperti ini terhadap kesehatan pasien.

Kesimpulan
   
Studi-studi epidemiologi-genetik terhadap PJK (penyakit jantung koroner) telah disertai dengan optimisme yang berlebihan berkenaan dengan kemungkinan ukuran efek genetik yang ada yang mana lebih lanjut telah menyebabkan hasil yang diperoleh tidak bisa diandalkan. Studi-studi lebih lanjut harus memiliki skala yang lebih besar untuk memberikan hasil yang dapat diandalkan. Data-data terbaru tentang pola-pola disequilibrium pertalian dalam genom manusia meunjukkan bahwa evaluasi yang jauh lebih rinci tentang gen-gen kandidat atau tentang seluruh genom dalam studi 'hipotesis umum' sebentar lagi akan tersedia. Pentingnya 'interaksi lingkungan-gen' telah banyak disebutkan dalam penelitian-penelitian sejauh ini, dan pada kebanyakan kasus, interaksi-interaksi yang diklaim seperti ini kemungkinan keliru, yang diakibatkan oleh penekanan selektif terhadap hasil pada sub-sub kelompok yang kecil. Pembedaan antara hubungan kausal dan non-kausal pada PJK dengan faktor risiko terduga melalui “pengacakan Mendelian” bisa terbukti sebagai sebuah kontribusi utama dari studi-studi ini terhadap pemahaman tentang etiologi PJK.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...