Tuesday, March 16, 2010

Manifestasi Infeksi HIV dan Penyakit Terkait-HIV pada Kulit

PENDAHULUAN

Sejak munculnya penyakit AIDS pada tahun 1980an, penyakit-penyakit kulit telah diketahui sebagai petunjuk awal yang penting untuk diagnosa infeksi HIV dan juga merupakan petunjuk tentang kemungkinan adanya penyakit sistemik yang terkait. Karena perawatan di masa lampau hanya menekankan pencegahan morbiditas dan mortalitas, maka kesadaran akan banyaknya variasi penyakit kulit yang berkembang dikalangan pasien sangat penting.
   
Epidemiologi infeksi HIV dan komplikasinya telah berubah di berbagai belahan dunia sejak ditemukannya terapi antiretrovital yang sangat aktif (HAART) yang memiliki kapabilitas hampir dapat menghilangkan virus dari orang yang terkena infeksi. Sebagai konsekuensinya, banyak penyakit kulit yang terkait dengan penyakit HIV (misalnya sarcoma Kaposi) serta infeksi oportunis yang serius (Ols) juga terlihat kurang sering terjadi dan pasien bertahan hidup lebih lama. Dengan kelangsungan hidup yang lebih lama, masalah-masalah medis yang sebelumnya kurang umum mulai muncul, sebagia contoh kanker kuilt, seperti basal sel karsinoma, dan neoplasia intra-epithelial. Sedangkan kejadian Ols menurun secara temporer khususnya di negara-negara maju, resurgensi perilaku berisiko pada anak muda di era milenium bersama dengan adanya keyakinan yang keliru bahwa HAART akan 'menyelamatkan dan menyembuhkan' pasien yang terinfeksi, semua ini bisa menyebabkan meningkatnya infeksi HIV di masa mendatang. Di negara berkembang dimana HAART tidak tersedia, Ols masih umum dan sering menjadi sumber morbiditas dan mortalitas. Sehingga, para dokter harus tetap waspada terhadap berbagai infeksi HIV.

SEJARAH
   
Bulan Juni 2001 ditandai dengan perayaan ke-20 tahun sejak ditemukannya penyakit AIDS. Penyakit pertama ditemukan oleh Dr. Michael S. Gottlieb yang melaporkan lima kasus pneumonia Pneumocystis carinii pada pemudah sehat dari Los Angeles, California. Sejak itu, agen penyebab utamanya telah dikenali dan disebut sebagai virus HIV tipe 1 (HIV-1) dan homologinya dengan zoonosis Afrika telah diketahui. Transmisi lewat darah hubungan seks dan darah telah diketahui pada kelompok-kelompok yang berisiko tinggi (yang seringkali distigmatisasi). Penularan dari ibu-ke-anak telah melahirkan tindakan-tindakan pencegahan yang spesifik selama melahirkan dan menyusui. Tindakan pencegahan umum telah diadopsi dalam menangani cairan daerah dan tubuh dan HAART telah diperkenalkan.

EPIDEMIOLOGI
   
HIV/AIDS merupakan sebuah penyakit yang masih memberikan tantangan terbesar bagi kesehatan masyaraka blobal. Penyakit ini menimpanegara-negara miskin dan merugikan orang-orang seperti pekerja seks komersil, pengguna obat intravenous dna orang-orang yang tinggal di daerah miskin, serta pria homoseks.
   
Sekitar 36 juta orang di dunia saat ini mengalami infeksi HIV dan 25 juta telah meninggal sejak tahun 1981. Sebanyak 13 juta anak kehilangan orang tua. Sekitar 15.000 infeksi baru terjadi setiap hari pada tahun 2000 yang mewakili 5 juta infeksi baru di seluruh dunia dalam satu tahun. Infeksi ini telah memiliki efek merugikan di Afrika sub-Sahara dengan 23 juta orang hidup dengan infeksi HIV, 11,3 juta kematian, dan 12 juta anak-anak kehilangan orang tua. Harapan hidup berkurang 10 tahun dan kematian bayi meningkat dua kali lipat. Asia, yang merupakan benua berpenduduk paling padar, diperkirakan aka mengalami ledakan infeksi HIV yang sama selama beberapa puluh tahun yang datang karena tidak ada program pencegahan yang efektif dan infrastruktur tidak berkembang. Eropa Timur juga diperkirakan demikian.
   
Secara global, HIV sekarang ini menjadi penyebab ke-4 kematian di seluruh dunia. Salah satu pengecualiannya adalah  di Thailand dimana kejadianinfeksi HIV telah berkurang secara dramatis. Keberhasilan ini harus dijadikan sebagai bukti bahwa intervensi bisa memberikan perbedaan dalam mencegah penyebaran infeksi HIV. Upaya-upaya pencegahan memerlukan kepemimpinan politik, program nasional, pendanaan yang layak, serta kesadaran dan respon masyarakat.
   
Di Eropa Barat dan Amerika Serikat, kematian yang terkait HIV telah berkurang seiring dengan ditemukannya terapi antiretrovital. Akan tetapi, perilaku berisiko yang meningkat pada anak-anak muda bisa menyebabkan meningkatnya penyebaran HIV di masa mendatang.

PATOGENESIS
   
Virus HIV manusia merupakan sebuah virus RNA terbungkus yang termasuk ke dalam genus Lentivirus dalam family Retroviridae. Masa inkubasi berkisar antara 3 hingga 6 pekan bahkan bisa lebih singkat jika ditransmisikan secara hematogen dan apabila inokulum virus besar. Pada infeksi awal, virion terikat pada limfosit CD4+ T dan monosit-makrofage. Perubahan-perubahan konformasi dapat menginduksi fusi pembungkus virus dengan membran plasma. Selanjutnya, lapisan terluar lepas dan partikel virus mengalami internalisasi. Genom RNA dilepaskan ke dalam sitoplasma dan ditranskripsi oleh enzim transkriptase yang menghasilkan salinan DNA dari RNA HIV. Salinan DNA kemudian diintegrasikan ke dalam DNA host dan bisa ditampakkan sebagai gen selular. Sebagai akibatnya, ada transkripsi DNA viral ke dalam RNA, beberapa diantarannya menjadi genom dari partikel-partikel virus yang baru sedangkan beberapa diantaranya ditranslasi menjadi protein virus. Perpecahan selanjutnya menjadi komponen-komponen struktural dari virus dicapai dengan bantuan protease. Busar virus yang utuh kemudian dihasilkan dan sel-sel host dihancurkan. Sel-sel CD4+ dari sistem kekebalan utamanya yang terpengaruhi, secara signifikan mengganggu sistem imun host, khususnya sistem imun selular. Secara keseluruhan, lebih dari 1 milyar partikel HIV dihasilkan setiap hari karena peralihan virus yang cepat dengan berbagai peluang untuk bermutasi dan menurunkan jumlah sel CC4+ secara simultan.
   
Manifestasi infeksi HIV yang pertama pada kulit adalah sebuah exanthema maculopapular akut yang seringkali disertai dengan demam dan lumphadenopathy. Selama fase ini, virus tersebar luas, menumbuhi berbagai organ tempat-tempat pada tubuh lainnya seperti limfa. Dari waktu ke waktu, keadaan immunodefisiensi yang dikeal sebagai sindrom AIDS terjadi dan diperumit dengan Ols dan neoplasma, banyak yang memiliki manifestasi mucocutaneous. AIDS didefinisikan sebagai kondisi dimana jumlah sel CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 dan/atau adanya kondisi yang menentukan AIDS.
   
Virus HIV tipe 2 (HIV-2) merupakan retrovirus manusia lainnya yang menyebabkan defisiensi kekebalan sebagai akibat dari berkurangnya sel-sel CD4+. Struktur virus, cara transmisi, dan sindrom defisiensi kekebalan yang dihasilkan bisa dikatakan identik dengan yang diakibatkan oleh HIV-1. Infeksi dengan HIV-2 memiliki beberapa perbedaan dengan HIV-1 termasuk perbedaan genetik, ketertularan 5 sampai 8 kali lebih kecil, transmisi vertikal jarang terjadi, periode kelatenan yang lebih lama dan jumlah sel CD4+  yang berkurang dan progresi klinis. Akibat yang dibimtulkan pada pasien terinfeksi HIV-2 bisa sedikit lebih baik karena tingkat immunodefisiensi bisa kurang. Kebanyakan infeksi didiagnosa di daerah-daerah endemik, tapi serologi HIV-2 harus diuji pada individu-individu yang asli penduduk daerah endemik dan/atau yang melakukan hubungan seks atau bertukar jarum suntik dengan seseorang dari daerah endemik. HIV-2 utamanya ditemukan Afrika Barat (Benin, Burkina Faso, Cape Verde, Cote d'Ivore, Gambia, Nigeria, Sao Tome, Senegal, Sierra, Leone, dan Togo), umumnya bersama dengan infeksi HIV-1.

Pasien yang terinfeksi HIV yang juga diinfeksi oleh patogen lain bisa mengalami progresi penyakit secara lebih cepat. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa infeksi virus akut dapat meningkatan muatan virus HIV dan efek yang serupa telah diamati dengan infeksi non-virus akut. Meski demikian, signifikansi temuan-temuan ini belum diketahui.

PENYAKIT-PENYAKIT KULIT INFEKSI YANG TERKAIT HIV

Infeksi Virus

Exanthem HIV-serokonversi
   
Manifestasi infeksi HIV yang awal-awal terlihat kulit adalah exanthem yang terkait HIV akut. Infeksi HIV primer seringkali asimptomatik; 10 hingga 12% pasien, akan tetapi berkembang menjadi sindrom mirip-mononukleosis 3 hingga 6 pekan setelah  paparan yang disertai dengan rasa lelah, demam, sakit kepala, pharyngitis, mualgias, lumphadenopathy, dan erupsi cutaneous. Exanthem biasanya sembuh 4-5 hari dan ditandai dengan erupsi morbilliform yang melibatkan lengan atas, batang tubuh, dan terkadang telapak tangan dan telapak kaki yang biasanya sembuh secara spontan. Pendeteksian RNA virus dalam plasma atau pengisolasian antigen p24 dari daerah dan/atau cairan cerebrospinal bisa dilakukan untuk menguatkan diagnosa. Walaupun serokonversi tidak terjadi sebelum mendekati 6 pekan setelah penyakit akut, namun viermia bisa dideteksi mendekati 10 hari setelah infeksi.

Virus Herpes simplex
   
Infeksi virus herpes simplex pada kemaluan, bibir atau mulut pada pasien yang terinfeksi HIV umum terlihat. Ketika sistem imun mengalami penekanan signifikan, maka lesi-lesi bisa berkembang menjadi pembisulan dalam yang kronis yang melibatkan daerah perianal, kemaluan dan lidah. Infeksi bakteri sekunder juga bisa terlihat. Lesi-lesi orofacial terkait dengan pemakaian tabung nasogastris dan folliculitis herpes simplex telah diamati. Lesi-lesi ulceratif yang tidak diobati biasanya membesar secara perlahan atau menjadi verrocuous dan hyperplastis. Pada kasus-kasus yang diduga, memecahkan bisul untuk immunofluorsesnsi langsung dan kultur virus harus dilakukan, dan jika negatif, dilakukan biopsy kulit. Jika terjadi kegagalan perawatan, isolat-isolat virus harus diuji kekebalannya terhadap antiviral.

Virus varicella zoster
   
Pada individu yang terinfeksi HIV, Varicella primer bisa terjadi dengan status lunak atau bisa diperumit dengan keterlibatan pulmonary secara fatal. Pasien-pasien yang terinfeksi HIV memiliki risiko 7-15 kali lebih besar untuk mengalami herpes zoster, sebuah penyakit yang merupakan tanda dari perkembangan menjadi penekanan kekebalan yang parah, khususnya jika terkait dengan demam. Reaktivasi virus laten terjadi dengan depresi kekebalan termediasi sel. Erupsi dermatomal klasik bisa terlihat, walaupun zoster terkait HIV juga bisa multidermatomal, ulceratif, kronis, verrucous dan/atau tertular secara luas dengan keterlibatan sistemik. Superinfeksi bakteri, resisten acyclovir, kegagalan terapi, dan rekurensi ganda tidak umum terjadi. Vaskulitis dengan nekrosisi tulang dan exfoliasi gigi bisa terjadi jika suplai dareah ke rahang dan maxilla terganggu. Perkembangan herpes zoster merpakan tanda-tanda adanya faktor risiko HIV; jika positif atau jika ada tanda-tanda lain dari immunodefisiensi, maka pemeriksaan serology HIV harus dilakukan. Pasien-pasien yang terinfeksi HIV dan berinteraksi dengan dengan orang yang mengalami varicella atau vaksin terbaru bisa memerlukan profilaksis dengan VZG atau acyclovir. Herpes zoster merupakan salah satu dari kondisi yang bisa terjadi dalam sindom rekonstitusi kekebalan, yaitu memburuknya status klinik sebagai akibat dari kemampun yang meningkat untuk menghadirkan respon inflammatory dan sering muncul ketika jumlah sel CD4+ meningkat mencapai sekitar 250/mm.

Poxvirus
   
Molluscum contagiosum umumnya menimpa anak-anak (khususnya yang mengalami dermatitis atopik), orang dewasa yang aktif secara seksual, dan ndividu yang terganggu sistem kekebalannya, khususnya pasien yang mengalami infeksi HIV. Pasien yang terinfeksi HIV bisa megalami papula-papula umbilicated yang berbentuk kubah klasik yang bisa mencapai >1 cm dan lesi-lesi persisten yang sering tidak mempan terhadap pengobatan. Walaupun setiap bagian tubuh bisa terkena, namun lesi-lesi lebih menyukai wajah dan daerah intertrignious. Diagnosa banding antara lain basal cell carcinoma dan lesi-lesi cutaneous akibat Cryptocus dan jamur dimorfis. Pencukuran di daerah yang terkena harus dihindari untuk mencegah penyebaran dan autoinokulasi. Regresi spontan bisa terjadi dengan terapi antiretroviral. Akan tetapi, menariknya, kejadian infeksi poxvirus secara keseluruhan telah menngkat. Disamping metode-metode perawatan yang rutin, misalnya curettage, imiquimod telah digunakan dengan baik untuk mengobati molluscum contagiasum pada pasien-pasien yang terinfeksi HIV.
   
Vaccina merupakan sebuah penyakit kulit yang sangat tidak umum. Karena vaksin virus hidup dan tidak berkurang, maka orang-orang yang terganggu sistem kekebelan termediasi-sel nya bisa mengalami vaccina progresif akibat vaksinasi atau dengan inokulasi dari kulit sorang yang mendapatkan vaksin. Hampir semjua orang yang mendapatkan vaksin vaccina adalah para anggota militer. Vaccina umum dengan demam dan gejala toksik terjadi 6-9 hari stelah vaksinasi. Lesi-lesi kulit tampak seperti gelembung-gelembung umbilicated yang terlokulasi dan berkembang menjadi pustula-pustula dan sembuh serta meninggalkan bekas yang berlubang.

Papillomavirus manusia
   
Papillomavirus manusia (HPV) ditransmisikan melalui kontak yang dekat dan berulang yang bisa bersifat seksual termasuk kelamin ke kelamin dan digital-genital, serta kontak formite. Lesi-lesi yang diinduksi HPV umum terjadi pada populasi umum tapi lebih umum lagi pada orang-orang yang terinfeksi HIV. Lesi-lesi bisa tersebar dengan berbagai verrucae pada wajah, tungkai dan kemaluan yang bisa bergabung menjadi plak-plak besar. Susah buang air besar bisa terjadi jika lesi berkembang dalam area anogenital. HPV oncogenik tipe 16 dan 18 umumnya diisolasi dari lesi-lesi HPV pada pasien yang terinfeksi HIV, yang meningkatkan kekhawatiran tentang neoplasia cutaneous, anal dan cervical. Sehingga, penting untuk melakukan biopsy pada setiap bagian tubuh yang diduga untuk memastikan bahwa tidak ada karsinoma sel squamous serta melakukan smear Pap cervical setiap 6 bulan. Ketidakampuhan perawatan biasa meningkat pada saat tingkat immunosupresi juga meningkat.

Virus Epstein-Barr
   
OHL (oral hair leukoplakia) merupakan sebuah tanda awal dari infeksi HIV yang terjadi pada sekitar 25% individu yang terinfeksi HIV. Tanpa adanya terapi antiretroviral, perkembangan OHL merupakan sebuah penanda penurunan yang cepat dan perkembangan menjadi AIDS. Lesi-lesi asimptomatik yang biasanyat erjadi muncul sebagai plak-plak putih yang berkelok-kelok dengan proyeksi-proyeksi mirip rambut di sepanjang aspek laterallidah. Lesi-lesi ini biasnaya tidak diobati (misalnya dengan asam retinoat topikal) sebelum menyebabkan dysphagia. Terapi antiretroviral bisa menyebabkan perkembangan lesi.

Cytomegalovirus
   
Cytomegalovirus (CMV) merupakan sebuah penyebab infeksi oportunistik yang serius pada pasien yang mengalami AIDS parah. Komplikasi-komplikasi antara lain retinitis collitis dan encephalitis. Meskpun frekuensi viermia CMV yang tinggi, namun penyakit kulit relatif tidak umum. Pada kulit, CMV bisa tampak sebagai bisul, papula verrucous atau purpuric, gelembung, erupsi morbilliform dan plak hyperpigmentasi. Lesi-lesi ulceratif bisa disertai dengan HSV. Penunjukkan inklusi CMV intranuklear dalam sel endhotelial dermal biasanya menjadi pengujian yang lebih sensitif dibanding kultur-kultur virus.

Infeksi-Infeksi Bakteri
   
Pemasangan kateter venous yang tertanam bisa mengganggu integritas mucocutaneous, sehingga menciptakan portal-portal yang menjadi pintu masuk bagi bakteri yang bisa menyebabkan infeksi sekunder. Infeksi-infeksi bakteri tersebut akan dibahas berikut ini:

Leishmaniasis
   
Leishmaniasis merupakan sebuah infeksi protozoa yang ditransmisikan utamanya oleh lalat pasir dan diakibatkan oleh organisame yang berasal dari genus Leishmania. Leishmaniasis yang terkait HIV juga bisa terjadi baik pada daerah yang endemik maupun non-endemik di dunia. Banyak organ yang bisa menjadi lumpuh, dan apabila kulit terlibat, maka lesi-lesi biasanya muncul sebagia nodula-nodul bisul  pada ekstremitas. Demam, splenogegaly dan berbagai pancytipenia juga bisa terjadi. Diagnosa ditentukan dengan mikroskop, kultur in vitro atau dengan tehnik PCR investigasional. Histoplasma capsulatum intraselular merupakan sebuah stimulator histologis tapi tidak menunjukkan kinetoplast berbentuk-batang karakteristik. Pengobatan yang paling efektif adalah amphotericin B yang beraksi dengan mekanisme yang tidak tergantung sel T sehingga memiliki efikasi yang lebih baik ketimbang antimonial pentavaten.

Strongyloides
   
Strongyloides stereorutis merupakan sebuah penyakit cacing pada usus yang terjadi di daerah-daerah tropis dan sub-tropis di dunia. Ini juga penyakit yang terjadi di daerah tertentu di USA bagian timurlaut dan selatan. Strongyloidosis cutaneous yang terkait HIV bisa diakibatkan oleh penetrasi larva pada kulit dan vena-vena superficial yang menghasilkan erupsi urtikaria serpiginous yang bermigrasi dikenal sebagai larva cottens. Penularan bisa ditemukan pada individu yang tertekan sistem kekebalannya dan jika kulit yang terkena, maka lesi-lesi menyerupai beberapa kondisi lain seperti urticaria dan livedo reticularis.

Acanthamebiasis
   
Pada acanthamebiasis, penularan ke kulit dan sistem saraf pusat dapat ditemukan pada pasien yang terganggu sistem kekebalannya. Pemeriksaan bagian-bagian jaringan secara cermat akan menunjukkan kista-kista amebic, dan sel-sel mirip histiosit dengan erythrophagocytosis.
Infestasi-Infestasi Ectoparasitic

Scabies
   
Beberapa infestasi ectoparasitic bisa ditemukan pada pasien yang menderita infeksi HIV. Scabies, sebiah infestasi yang diakibatkan oleh Sarcoptes scabici  var hominis, merupakan infestasi kulit ectoparasitic yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV. Infestais parah bisa terjadi sebagai akibat dari kekebalan termediasi-sel yang berkurang. Disamping itu, pasien yang berubah status neurologisnya kemungkinan gagal melepaskan vektor penyakit ini sehingga menyebabkan meningkatnya jumlah. Lesi-lesi cutaneous bervariasi mulai papula biasa sampai dermatitis pruritus hingga plak-plak keratotik dan berkerak. Telinga, wajah, dan kulit kepala paling umum terkena pada pasien yang tertekan sistem kekebalannya.
   
Terapi untuk scabies dimaksudkan untuk menghilangkan ectoparasit penyebab dan meredakan gejala dengan antipruritus topikal atau sistemik. Individu penderita HIV yang mengalami scabies biasanya diobati dengan terapi standar, meski terkadang memerlukan banyak perawatan. Perawatan dengan ivermectin oral juga cukup efektif dan umum digunakan pada orang yang tidak merespon terhadap pengobatan standar.

Demodicosis
   
Demodicosis diakibatkan oleh tungau Demodex folliculorum dan Demodex brevis dan telah dilaporkan terkait dengan infeksi HIV. Demodicosis yang mirip rosacea biasanya lebih sering ditemukan pada pasien yang positif HIV. Erupsi-erupsi ini, biasanya ditemukan pada bagian kepala dan leher, dan morfologinya mirip dengan erupsi papular pruritus yang lain dan harus dibedakan. Scraping kulit dengan minyak mineral dapat memperlihatkan banyak tungau. Infeksi Demodex biasanya merespon terhadap perawatan dengan permethrin dengan heksaklorida benzen gamma topikal, metronidazol oral atau topikal; kasus yang sukar diboati kemungkinan memerlukan ivermectin.

Gigitan serangga
   
Reaksi-reaksi gigitan serangga bisa menjadi parah pada pasien terinfeksi HIV dan harus dibedakan dengan penyebab pruritus lainnya, khususnya yang terkait dengan infeksi HIV.

PENYAKIT-PENYAKIT KULIT NON-INFEKSI YANG TERKAIT INFEKSI HIV
   
Beberapa dermatose non-infeksi telah ditemukan dalam kaitannya dengan infeksi HIV. Terjadinya satu atau lebih dari kondisi ini harus dipertimbangkan oleh dokter sebagai kondisi yang terkait HIV.
Gangguan-Gangguan Papulosquamous
Dermatitis seborrheic
   
Dermatitis seborrheic merupakan penyakit kulit paling umum yang mengenai individu-individu yang terinfeksi HIV (sampai 85%) dan terlihat pada semua tahapan penyakit. Temuan klinis mirip dengan yang ditemukan pada populasi umum, dengan erythema dan skala kekuning-kuningan pada wajah, serta keterlibatan lokasi ekstrafacial seperti dada sentral dan puncak inguinal. Akan tetapi, persentasi yang bear dengan plak-plak wajah yang jelas juga bisa terlihat dan menunjukkan adanya kemungkinan infeksi HIV. Penyakit ini biasa lebih sulit dikontrol dengan terapi konvensional, termasuk yang ditujukan untuk spesies Pityrosporum.

Psoriasis
   
Kejadian psoriasis secara keseluruhan kemungkinan tidak akan meningkat karena adanya infeksi HIV walaupun presentasi klinis nya bisa dramatis. Penyakit ini bisa terjadi pada setiap tahapan infeksi HIV dan onset psoriasis eruptif yang cepat bisa berfungsi sebagai petunjuk yang penting untuk memahami infeksi HIV. Sebuah distribusi 'terbalik' yang melibatkan puncak-puncak inguinal  dan genitalia bisa diamati. Psoriasis seringkali agresif dan bisa terkait dengan distropi kuku yang signifikan, arthritis dan penyakit reites. Penyakit ini cenderung memburuk dengan menurunnya status imun. Infeksi bakteri sekunder dengan sepsis telah dilaporkan.

Penyakit Reiter
   
Semua pasien yang menderita penyakit Reiter akan mengalami pemeriksaan HIV karena hubungan antara kedua kondisi ini agak kuat. Antigen HLA-B27 bisa ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV. Pengobatan lesi-lesi cutaneous mirip dengan pengobatan untuk psoriasis.
Dermatose papulosquamous yang lain
   
Sebuah xerosis umum bisa terlihat pada pasien yang terinfeksi HIV dan bisa terkait dengan pruritus yang sukar sembuh. Apabila jumlah sel CD4+  berkurang di bawah 50 sel/mm3, maka ichthyosis umum dengan sisik besar bisa terjadi pertama pada kaki. Dermatitis atopik merupakan sebuah masalah yang sering terjadi pada anak-anak penderita AIDS dan sering sulit dikontrol dengan terapi konvensional.

Penyakit pruritus papular non-infeksi
   
Penyakit pruritus papular umum pada infeksi HIV dan bisa melemahkan karena ketidaknyamanan yang ekstrim. Akan tetapi, patogenesis dermatose pruritus ini belum sepenuhnya dimengerti. Reaksi-reaksi hypersensitifitas terhadap obat atau parasit, eosinophilia perifer dengan kadar immunoglobulin E yang meningkat, sel-sel mast dan basophil 'hyperaktif', dan pruritogen bersirkulasi yang terkait dengan gangguan sistemik semuanya bisa memberikan kontribusi bagi terjadinya penyakit-penyakit ini. Iritasi neural dari infeksi HIV langsung serta disfungsi otonom dengan keringat yang berkrang dan sekresi kelenjar sebacceous yang berkurang bisa memberikan kontribusi bagi pruritus.
Erupsi-erupsi pruritus papular dari AIDS
   
Erupsi pruritus papular dari AIDS (PPE) merupakan sebuah erupsi non-deskript, erythematous pada batang tubuh dan ekstermitas yang tidak bisa disubkelompokkan ke dalam kategori tertentu dan mewakili sebuah spektrum gangguan pruritus. Secara klinis, lesi-lesi biasanya tersebar secara simetris, non-follicular, pruritus, papula-papula steril dan pustula-pustula. Kebanyakan ahli menganggap PPH mewakili varian eosinophilic folliculitis dari prurigo subakut (aitu dermatitis papular, penyakit 'itchy red bump').

Eosinophilic folliculitis
   
Eosinophilic folliculitis (EF) merupakan salah satu dari dermatose pruritus yang paling karakteristik dan paling umum yang terkait dengan penyakit HIV. Ada salah satu teori yang menyebutkan bahwa penyakit ini merupakan reaksi yang berlebihan terhadap jamur Pityrosporum atau organisme lain yang biasanya terdapat dalam follicular infundibula pada pasien yang terinfeksi HIV dan merupakan sebuah refleksi darirespon imun Th/Th1 yang tidak normal.

Rambut dan Kuku
   
Sebuah varietas gangguan pada rambut dan kuku telah ditemukan pada individu-individu yang terinfeksi HIV. Alopecia yang terkait dengan tinea capitis yang parah bisa terlihat dan infeksi serius dengan demam bisa menyebabkan telogen effluvium. Walaupun alopecia telah dilaporkan dengan analog nukleosida, namun pertumbuhan-ulang rambut telah diamati setelah melakukan terapi zidovudin.
   
Rambut pasien yang terinfeksi HIV bisa menjadi lurus secara sponta dan menjadi lebih halus dan lebih mengkilat, atau bisa tidak berkulau dan menjadi kusut. Rambut yang tiba-tiba berubah menjadi abu-abu telah diamati dengan infeksi HIV dan bisa terjadi melalui mekanisme yang mirip dengan alopecia aerata atau vitiligo terkait HIV.
   
Penyakit-penyakit kuku juga umum terjadi pada pasien HIV-seropositif. Onychomycosis subungual putih proksimal merupakan sebuah refleksi dari penekanan sistem kekebalan termasuk infeksi HIV. Candidiasis kronis dengan paronuchia dan kerutan kuku bisa diamati sebagai infeksi kuku dengan Scopulariopsis brevicaulis dan Alternaria.

Vaskulitis
   
Vaskulitis sistemik bisa diduga pada infeksi HIV jika pasien memiliki demam yang tidak diketahui asal-usulnya atau penyakit multisistem yang tidak dapat dijelaskan. Penyebabkan vaskulitis pada pasien yang terinfeksi HIV berkisar mulai dari agen infeksi spesifik sampai idiopathic. Arteri dan vena dari semua ukuran bisa terlibat dan setiap orang yang mencakup otak, kulit, dan jaringan neuromuskular bisa dipengaruhi. Patogenesis mencakup penyakit kompleks imun serta kerusakan dinding pembuluh darah langsung akibat agen-agen infeksi.
Reaksi-Reaksi Fotosensitifitas
Hypersensitifitas ultraviolet
   
Hypersensitifitas sinar ultraviolet bisa menjadi sebuah persentasi dari penyakit HIV atau terkait dengan pengobatan fotosensitisasi, misalnya sulfonamida. Lesi-lesi cutaneous biasanya pruritic, lichenoid, plak-plak violaceous pada bagian yang terpapar sinar matahari, yaitu reaksi fotolichenoid.
Perubahan-perubahan Metabolisme
   
Perubahan distribusi lemak tubuh umum diamati pada pasien yang mendapatkan perawatan HAART dan ini disebut sebagai lipodystrophy atau sindrom redistribusi lemak. Para pasien terlihat Cushingoid dan mengalami konstellasi temuan termasuk akumulasi lemak visceral, lipomatosis, penipisan facial, obesitas sentral, dan lipoatrophy periper. Hypertrigliseridemia dan resistens insulin juga umum diamati. Mekanisme untuk distribusi lemak masih belum diketahui tapi kemungkinan diakibatkan oleh banyak faktor, sehingga mencerminkan karakteristik host dan penyakit.
   
Intervensi-intervensi antara lain pengiriman lemak ke area yang kekurangna lemak. Stimulan nafsu makan (megesterol asetat, dronabinol), agen-agen anabolik, dan thalidomida telah dicoba dan dan ada yang berhasil. Berganti-ganti obat tidak memberikan hasil yang konsisten.

Malnutrisi
   
Selera makan yang berkurang dan intake makanan yang menurun bersama dengan nausea dan malabsorpsi umum ditemukan pada infeksi HIV karena pasien-pasien ini seringkali menderita efek samping obat dan diare infeksi. Manifestasi cutaneous dari malnutrisi bisa dialami termasuk yang terkait dengan kwashiorkor dan kekurangan vitamin B12, E dan A.

PENYAKIT KULIT NEOPLASTIS YANG TERKAIT HIV
   
Beberapa penyakit neoplastis yang berbeda bisa terjadi pada pasien yang menderita penyakit HIV. Diagnosas ditentukan berdasarkan kenampakan klinis dan pemeriksaan histologi. Perawatan agresif dan kesadaran yang meningkat diperlukan untuk meningkatkan prognosis.

Neoplasma Cutaneous Primer

Karsinoma sel squamous dan karsinoma sel basal
   
Serupa dengan individu yang immunokompeten, kulit yang sehat, riwayat kanker kulit,dan paparan berulang terhadap sinar matahari merupakan faktor-faktor risiko untuk terjadinya karsinoma sel basal (BBC) dan karsinoma sel squamous (SCC). Pada infeksi HIV, jika dibandingkan dengan populasi umum, tumor-tumor ini tampak lebih awal dan lebih sering pada tempat-tempat yang terpapar sinar matahari seperti batang tubuh dan ekstermitas.
   
Strategi pengobatan agresif seringkali diperlukan untuk mencegah rekurensi dan metastase. Screening rutin, termasuk pemeriksaan penglihatan, cytologi ana dan cervical serial, dan biopsy setiap lesi yang dicurigai direkomendasikan. Terapi imiquimod topikal dievaluasi untuk neoplasia intrapeithelial yang terkait HPV.
Malignansi cutaneous primer lainnya
   
Beberapa malignansi cutaneous yang lain telah dilaporkan pada pasien yang seropositif HIV. Perkembangan berbagai nevi dysplastis telah diamati. Nevi ini cenderung lebih besar ukurannya dan memiliki variabilitas pigmen. Melanoma juga telah dilaporkan dalam kaitannya dengan infeksi HIV walaupun prognosis tidak berubah jika dibandingkan dengan host-host immunokompeten.
   
Tumor otot halus, termasuk leiomyoma  dan leiomyosarcoma, sangat jarang pada anak yang sehat. Akan tetapi, lebih sering pada pasien-pasien anak yang terinfeksi HIV.
Malignansi Lymphoreticular
   
Malignansi lymphoreticular dari  sel B dan T bisa terjadi pada orang dewasa dan anak-anak yang terinfeksi HIV, seringkali apabila terjadi penekanan sistem imun dengan jumlah CD4+ yang kurang dari 200 sel/mm3. Limfoma sel-T cutaneous (CTCL), khususnya varian mycosis fungoides, terjadi pada pasien yang mengalami infeksi HIV, meskipun jauh lebih tidak sering dibandnig limfoma sel B. Kemungkinan leukemia sel-T dewasa dan limfoma yang diakibatkan oleh virus T-lymphotrofis manusia tipe 1 (HTLV-1) perlu dipertimbangkan dan dipastikan tidak ada keberadaannya.

Sarcoma Kaposi
   
Perkembangan sarcoma kaposi yang terkait HIV belum dapat dibuktikan terkait dengan tingkat penekanan sistem kekebalan dan bisa dilihat pada setiap tahap infeksi HIV. Utamanya terlihat pada orang laki-laki yang homoseks, KS merupakan sebuah neoplasma vaskular yang diamati sebelum onset penyakit AIDS pada sebagian kecil individu. Dengan ditemukannya HAART, kejadian KS telah berkurang di negara-negara maju. Akan tetapi, di daerah lain masih tetap menjadi sumber morbidias yang umum, khususnya di Afrika Sahara dimana agen etiologi virus HHV-8 diduga ditularkan dari ibu ke bayi melalui saliva yang terinfeksi  dari makanan yang telah dikunyah terlebih dahulu.

DIAGNOSA DAN DIAGNOSA BANDING

Diagnosa Banding
   
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, orang-orang yang terinfeksi HIV bisa mengalami gangguan inflammatory dan neoplastis infeksi pada kulit, banyak diantaranya yang sangat mirip satu sama lain. Erupsi-erupsi cutaneous memiliki banyak bentuk dan menylitkan diagnosa. Penyakit yang serius dan berpotensi fatal harus dipertimbangkan dan dibedakan paling dahulu. Secara khusus, infeksi jamur sistemik dan reaksi obat yang berbahaya bisa mengancam nyawa dan memerlukan intervensi dini dengan agen-agen anti-jamur intravenous atau penarikan diri dari pengobatan, masing-masing.

Diagnosis
   
pada pasien yang terinfeksi HIV, diagnosa penyakit cutaneous ditentukan dalam konteks kenampakan klinis bersama dengan pemeriksaan seperti scraping, biopsy dan uji-uji serologis.
   
Serokonversi HIV  biasanya terjadi 6 pekan setelah infeksi awal. Kriteria untuk seropositivitas HIV antara lain ELISA positif yang berulang yang dikuatkan dengan pemeriksaan Western blot positif. Haisl negatif-keliru terkadang diperoleh selama sebuah pembukaan seronegatif yang biasanya berakhir 1-4 bulan setelah infeksi primer, bahkan bisa mencapai 3 tahun. Itulah sebabnya jika infeksi HIV sangat diduga, maka uji-uji yang lebih spesifik harus diberikan dan diulangi beberapa bulan.

Hasil-hasil yang keliru positif biasanya terjadi sebagai akibat dari kesalahan penulisan. Serokonversi, penyakit HIV parah, infeksi HIV-2, keberadaan alloantibodi atau autoantibodi bisa menyebabkan hasil tes yang tidak menentu.

PENGOBATAN
   
Walaupun perkembangan utama dalam bidang pengobatan infeksi HIV telah dicapai sejak 15 tahun yang lalu, namun yang paling penting adalah perkembangan sebuah resimen obat  kombinasi yang dikenal sebagai HAART. Dari berbagai resimen HAART, yang paling umum terdiri dari dua obat inhibitor transkriptase terbalik nukleosida yang dikombinasikan dengan sebuah inhibitor protease. HAART memiliki kapabilitas untuk menekan replikasi virus sehingga menyebabkan rekonstitusi jmlah limfosit CD4+ disertai dengan penurunan morbiditas dan mortalitas. Sebagai konsekuensinya, mortalitas tahunan akibat AIDS telah menurun 75% sejak tahun 1995. Tiga kelompok agen antiretroviral utama mengargetkan aspek-aspek yang berebda dari siklus hidup HIV. Inhibitor protease menghambat enzim protease yang berpartisipasi dalam pemrosesan dan perakitan virus. NRTI dan NNRTI menghentikan sintesis rantai DNA dengan menghambat enzim transkriptase pembalik.

Kesimpulan
   
Jumlah dan varietas manifestasi infeksi HIV pada kulit lebih besar dari yang terlihat pada organ tubuh lainnya. Komplikasi-komplikasi ini merupakan sumer morbiditas yang umum dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan mortalitas. Walaupun kejadiannya terus berkurang, namun dengan mengetahuinya secara lebih baik serta melakukan uji-uji diagnostik yang tepat, maka perawatan bisa diberikan dengan cara yang lebih tepat waktu sehingga dapat meminimalisir komplikasi-komplikasi.

7PXHQZX5A64V

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...