Wednesday, June 2, 2010

Root Coverage pada resesi-resesi gingiva terisolasi dengan menggunakan autograf dan allograf: sebuah studi pendahuluan

Abstrak

Latar belakang: Berbagai tehnik bedah telah digunakan untuk mengobati resesi-resesi gingiva. Studi pendahuluan ini membandingkan berbagai hasil klinis dari  perawatan kelaian gingiva terisolasi dengan menggunakan flap yang dipasang secara koronal dan terkait dengan okulasi (cangkokan) jaringan konektif sub-epithelial (SCTG) atau sebuah okluasi (cangkokan) matriks dermal aseluler (ADM).

Metode:
Kedalaman probing (PD), tingkat perlekatan klinis (CAL), kedalaman resesi gingiva (GRD), dan lebar (KT) dan ketebalan (GT) jaringan keratin diukur pada awal penelitian dan 6 bulan setelah bedah.

Hasil: Nilai mean cakupan akar adalah 50% pada kelompok uji (mewakili pergeseran margin gingiva 2,1 ± 0,99 mm) dan 79,5% pada kelompok kontrol (mewakili pergeseran gingiva 3,5 ± 1,20 mm). Hasil-hasil ini secara statistik berbeda pada perbandingan intra-kelompok dan antar-kelompok (P < 0,05). Perbandingan antar kelompok menunjukkan pertambahan CAL, GRD dan GT lebih besar yang signifikan secara statistik pada kelompok kontrol (P ≤ 0,05); tidak ada perbedaan ditemukan untuk PD atau KT (P ≥ 0,05).

Kesimpulan: Flap yang dipasang secara koronal yang terkait dengan cangkokan (okulasi) jaringan konektif sub-epitelial (SCTG) atau sebuah cangkokan (okulasi) matriks dermal aseluler (ADM) terbukti efekti pada pencakupan akar. Akan tetapi, flap yang dipasang secara koronal yang terkait dengan cangkokan (okulasi) jaringan konektif memberikan hasil klinis yang lebih mendukung. Diperlukan banyak penelitian untuk menguatkan hasil pada penelitian kali ini.


Resesi gingiva didefinisikan sebagai pemindahan (displacement) jaringan lunak secara apikal dalam kaitannya dengan cemento-enamel junction (CEJ). Kondisi klinis ini sering ditemukan pada populasi umum dan bisa menimbulkan pengaruh yang bisa mengganggu estetik, serta kerentanan yang meningkat terhadap karies akar dan hypersensitifitas dentin. Patogenesis resesi gingiva terkait dengan inflamasi jaringan yang diakibatkan oleh akumulasi biofilm atau penyikatan traumatis.
   
Flap-flap jaringan, yang terkait dengan atau tanpa autograft atau allograft, telah digunakan untuk menangani resesi gingiva dan menunjukkan potensi yang tinggi untuk pencakupan akar. Integritas tulang proksimal sangat perlu untuk menentukan kemungkinan hasil dalam hal cakupan akar, tanpa tergantung pada tehnik bedah yang digunakan.
   
Cangkokan (okulasi) jaringan konektif subepitelial (SCTG) merupakan sebuah tehnik yang dapat diprediksi hasilnya dan serba-guna dimana pada teknik ini dibentuk sebuah lingkungan vaskular bilaminar untuk memberi nutrisi pada cangkokan (okulasi). Akan tetapi, pemanenan (harvesting) pada daerah-daerah palatal dapat meningkatkan morbiditas postoperatif dan membutuhkan banyak waktu. Matriks dermal aseluler (ADM) dibuat untuk menggantikan cangkokan (okulasi) jaringan konektif otogenous pada prosedur-prosedur plastis periodontal, dan hasilnya tidak jauh beda sebagaimana yang telah dilaporkan.
   
ADM merupakan sebuah allograft dermal yang berproses untuk mengekstrak komponen-komponen sel dan epidermis, disamping mempertahankan perancah kolagenous. Lapisan dermal sisa dicuci dalam larutan deterjen untuk menonaktifkan virus-virus dan untuk mengurangi penolakan ketika dipasang dan kemudian di krio-proteksi lalu dikeringbekukan dengan cepat melalui proses yang cocok untuk mempertahankan integritas biokimia dan integritas strukturalnya.
   
ADM telah digunakan dalam kaitannya dengan desain flap Langer dan Langer klasik, yang mencakup incisi-incisi vertikal. Studi pendahuluan kali ini membandingkan hasil-hasil klinis dari perawatan resesi gingiva Kelas I dan II dengan menggunakan flap yang dipasang secara koronal (CPF), tanpa incisi-incisi vertikal, yang terkait dengan cangkokan (okulasi) SCTG atau AMD.

BAHAN DAN METODE
   
Protokol penelitian yang digunakan telah disetujui oleh Komite Etika Institusional dari Sao Leopoldo Mandic Dental Research Institute, dan semua subjek yang dimasukkan dalam penelitian ini bersedia menandatangani sebuah format izin tertulis. Para subjek dipilih dari pasien-pasien yang dirujuk ke Sao Leopolodo Mandic Dental Research Institute untuk perawatan gigi reguler. Pemilihan pasien, pembedahan, dan follow-up dilakukan antara Januari dan September 2004.
   
Sepuluh subjek yang terdiri dari enam laki-laki dan empat perempuan yang berusia antara 27 hingga 51 tahun, dimasukkan ke dalam penelitian. Kriteria inklusi adalah kelainan resesi Kelas I atau Kelas II Miller bilateral (≥ 3 mm kedalamannya) yang melibatkan gigi kaninus atau premolar atas (perbedaan kedalaman resesi antara kelainan sebalah kiri dan kanan ≤ 2 mm), CEJ yang bisa diidentifikasi, kesehatan periodontal, kebiasaan tidak merokok, tidak ada gangguan oklusal, tidak ada kontraindikasi untuk bedah periodontal, dan tidak sedang mengkonsumsi obat yang diketahui dapat mengganggu kesehatan atau penyembuhan periodontal. Pasien yang memiliki kelainan-kelainan resesi yang terkait dengan karies atau restorasi dan pasien yang memiliki gigi yang menunjukkan patologi pulpa dikeluarkan dari penelitian.
   
Protokol penelitian ini melibatkan sebuah konsultasi screening yang diikuti dengan terapi awal untuk membentuk kontrol biofilm dan kesehatan gingiva yang optimal, terapi bedah, konsultasi pasca-bedah, dan evaluasi pasca-bedah 6 bulan kemudian.

Terapi awal dan pengukuran-pengukuran klinis
   
Terapi periodontal awal terdiri dari instruksi-instruksi tentang kesehatan mulut, instrumentasi ultrasonik, dan pemolesan koronal 1 sampai 2 bulan sebelum bedah. Kebutuhan akan perawatan restoratif pada kelompok kontrol juga diperhitungkan. Pencetakan rahang atas dengan alginat dilakukan, dan cast dibuat. Cast digunakan untuk meghasilkan stent acrylic buatan. Stent-stent ini digunakan selama penilaian parameter klinis untuk memastikan reprodusibilitas posisi probe dan angulasi hanya dalam dua evaluasi, tidak sebagai sebuah titik acuan untuk pengukuran klinis.
   
Indeks perdarahan gingiva (GBI) dan indeks plak terlihat (VPI) digunakan untuk menilai kesehatan gingiva selama penelitian.
   
Seorang pemeriksa terlatih melakukan semua pengukuran klinis pada aspek bukkal-tengah dari masing-masing tempat yang dipilih dengan menggunakan sebuah probe periodontal. Sebelum bedah (titik acuan awal) dan 6 bulan setelah bedah, parameter-parameter klinis berikut dicatat dalam satuan milimeter: 1) kedalaman resesi gingiva (GRD); 2) kedalaman probing (PD): jarak dari GM ke dasar sulcus gingiva; 3) tingkat perlekatan klinis (CAL): jarak dari CEJ ke dasar sulcus; 4) lebar apico-koronal dari jaringan keratin (KT); jarak dari mucogingival junction (MGJ) ke GM; lokasi MGJ ditentukan dengan menggunakan metode visual; dan 5) ketebalan jaringan gingiva (GT): dinilai pada pertengahan lebar apico-koronal dari KT dengan menggunakan sebuah penyebar jari (finger spreader) endodontik yang dipasang pada sebuah stopper karet yang disisipkan tegak lurus ke dalam jaringan gingiva; ketebalan diukur menggunakan caliper.

Prosedur-prosedur bedah
   
Antisepsis ekstraoral dilakukan dengan 2,0% larutan kloheksidin, dan antisepss intraoral dilakukan dengan 0,12% obat kumur klorheksidin. Anestesi diberikan dengan 2,0% lidocaine yag mengandung 1:100.000 epinefrin.
   
Perancangan flap dimulai dengan incisi instrasulkular pada aspek vestibular dari gigi yang ditargetkan, lalu diperluas ke gigi di sekitarnya pada setiap sisi. Sebuah incisi horizontal pada level CEJ yang menghubungkan gigi berdekatan, dilakuka untuk melengkapi perancangan flap. Flap dengan ketebalan-terbagi (split-thickness) ditingkatkan dengan diseksi tajam dan diperluas sejauh yang diperlukan untuk memungkinkan perluasan flap ke CEJ tanpa tegangan. Epithelium vestibular dari interdental papillae dikeluarkan untuk menyediakan alas luka yang baik bagi resposisi flap. Permukaan-permukaan akar dipersiapkan secara menyeluruh dengan pengskala (scaler) manual untuk menghasilkan sebuah permukaan datar dan dikondisikan dengan hidroklorida tetrasiklin, 50 mg/ml, selama 3 menit. Gulungan kapas yang direndam dalam larutan ini digosokkan pada permukaan akar dan diganti setiap 30 detik. Pengaliran air-garam yang melimpah dilakukan untuk menghilangkan tetrasiklin yang berlebihan.
   
Kelainan-kelainan bilateral ditentukan secara acak untuk kelompok uji (CPF + ADM) atau kelompok kontrol (CPF + SCTG). Untuk kelainan pada kelompok uji, sebuah allograf ADM digunakan setelah rehidrasi menurut instruksi standar dan direkatkan pada tingkat CEJ yang menutupi seluruh kelainan dengan menggunakan jahitan proksimal bioabsorbable. Terakhir, flap dipasang sejajar dengan CEJ atau sedikit ke arah koronal dan direkatkan dengan jahitan-jahitan. Kedua pembedahan dilakukan selama kunjungan yang sama. Tidak ada penutup periodontal yang digunakan.

Protokol pasca-bedah
   
Analgesik (asetaminofen, 750 mg, empat kali sehari) dan obat-obatan non-steroid (7,5 mg, sekali sehari) diberikan untuk hari pertama, dan masing-masing dikonsumsi selama 3 hari.
   
Para pasien diinstruksikan untuk tidak menyikat atau menyela-nyela gigi di sekitar daerah bedah sampai jahitan dilepaskan (14 hari pasca-bedah) dan diinstruksikan agar hanya memakan makanan biasa selama pekan pertama setelah bedah. Mereka juga diminta untuk menghindari segala bentuk trauma mekanis pada bagian yang dirawat. Selama 4 pekan, pasien menggunakan obat-kumur larutan klorheksidin 0,12% selama 1 menit dua kali dalam sehari.
   
Semua pasien dipanggil kembali untuk pengontrolan biofilm supragingiva setiap dua pekan selama 4 pekan pertama dan tiap bulan setelah itu.

Analisis statistik
   
Statistik deskriptif dinyatakan sebagai nilai mean ± SD. Persentase pencakupan akar 6 bulan setelah bedah dihitung. Data dibandingkan dengan uji t student bagi pengamatan-pengamatan berpasangan untuk menilai perubahan-perubahan dalam dan antar kelompok. Tingkat signifikansi untuk penolakan hipotesis null ditentukan pada α=0,05. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan SPSS.

HASIL
   
Semu pasien dapat mentolerir prosedur bedah dengan baik, tidak mengalami komplikasi post-operatif, dan mematuhi protokol penelitian. GBI dan VPI selama satu bulan dipertahankan pada <20%. Gigi target bebas plak dan inflamasi gingiva sebelum bedah dan pada akhir penelitian.
   
Statistik deskriptif untuk parameter-parameter klinis yang dikur pada awal penelitian dan 6 bulan pasca-bedah disajikan pada Tabel 1. Pada awal penelitian, tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik ditemukan antara kedua kelompok untuk setiap parameter yang dievaluasi. Perbedaan intra-kelompok yang signifikan secara statistik ditemukan untuk GRD, CAL, KT dan GT untuk kelompok kontrol dan kelompok tes (P ≤ 0,05). PD tidak berubah dari waktu ke waktu (Pc 0,05). Pada kelompok kontrol, GRD berkurang sebesar 3,5 ± 1,2 mm, yang mewakili pencakupan akar rata-rata 79,5%; ditemukan pertambahan CAL sebesar 3,5 ± 1,2 mm. KT meningkat sebesar 1,2 ± 0,75 mm, dan GT meningkat sbesar 1,3 ± 0,58 mm. Perubahan-perubahan yang berkesesuaian untuk GRD, CAL, KT, dan GT dalam kelompok uji masing-masing adalah 2,1 ± 0,99 mm (cakupan akar rata-rata 50%), 2,1 ± 0,99 mm, 1,1 ± 1,5 mm, dan 0,72 ± 0,35 mm.
   
Perbandngan antar-kelompok menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik antara CAL, GRD, dan GT (P ≤ 0,05). Tidak ada perbedaan signifikan secara statistik antara PD dan KT (P ≥ 0,05).
   
Resesi gingiva awal, ADM atau otograft yang dipasang, mobilisasi koronal dan jahitan, dan hasil setelah 6 bulan pada kelompok uji dan kelompok kontrol ditunjukkan pada Gbr. 1A sampai 1D.

PEMBAHASAN
   
Berbagai percobaan klinis telah menunjukkan kelebihan dari SCTG yang digunakan untuk mempromosikan pencakupan akar. Integritas jaringan-jaringan proksimal akan menentukan besarnya pencakupan akar, tanpa memperhitungkan hubungan dengan pertambahan flap atau SCTG. Akan tetapi, peningkatan KT dan GT merupakan hasil klinis yang penting yang menjustifikasi penggunaan SCTG. Meski demikian, pemindahan cangkokan (okulasi) dari daerah palatal memerlukan banyak waktu dan meningkatkan kemungkinan timbulnya nyeri dan pedarahan. Penggunaan ADM dapat mengatasi masalah-masalah seperti ini dan merupakan sebuah sumber material yang cukup melimpah utuk kasus-kasus yang memerlukan banyak jaringan cangkokan (okulasi).
   
Penelitian pendahuluan ini membandingkan hasil prosedur-prosedur cakupan akar dengan menggunakan sebuah CPF yang terkait dengan SCTG atau ADM masing-masing pada kelompok uji dan kelompok kontrol. Hasil yang lebih mendukung, dari segi resolusi resesi, ditemukan pada kelompok kontrol (CPF+SCTG), dengan 79,5% pencakupan akar rata-rata, versus 50% pada kelompok uji. Hasil ini relevan secara klinis dan signifikan secara statistik. Analisis kekuatan (power) menunjukkan bahwa dengan 10 subjek, penelitian ini memiliki kekuatan 79% untuk mendeteksi perbedaan kedalaman resesi gingiva antara kedua kelompok. Beberapa penelitian mendukung hasil ini, yang menunjukkan cakupan akar yang lebih besar pada tempat-tempat yang dirawat menggunakan SCTG. Akan tetapi, penelitian-penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik antara tehnik SCTG dan ADM. Perbedaan antara hasil yang kita peroleh dengan hasil-hasil ini bisa dijelaskan sebagian dengan perbedaan protokol bedah yang digunakan. Walaupun penelitian-penelitia tersebut menggunakan perancangan flap Langer dan Langer klasik, yang mencakup incisi vertikal sehingga memungkinkan pelebaran flap yang lebih besar, namun incisi-incisi vertikal tidak dilakukan pada penelitian ini. Perancangan flap melindungi suplai darah lateral, mempromosikan penyembuhan pasca-bedah yang lebih baik, dan menghilangkan kemungkinan scarring; akan tetapi, bis amenyebabkan tegangan flap yang lebih besar, sehingga mempermudah pergerakan flap selama penyembuhan awal, yang mana bisa membahayakan cakupan akar melalui paparan cangkokan (okulasi) dini.
   
Pada kelompok kontrol (CPF+SCTG), keterpaparan cangkokan (okulasi) tidak menjadi kekurangan yang signifikan karena suplai darah di sekitarnya dapat menjamin vitalitas cangkokan (okulasi) selama fase-fase penyembuhan awal. Akan tetapi, keterpaparan ADM awal pada prosedur cakupan akar bisa membatasi vaskularisasi cangkokan (okulasi), yang selanjutnya bisa mengurangi potensi pencakupan akar. Lebih lanjut, ADM yang terpapar akan hilang akibat nekrosis, dan cakupan akar yang tidak lengkap ditemukan pada penelitian-penelitian yang lain. Pada penelitian kali ini, hasil pencakupan akar yang berkurang pada tempat uji terkait dengan keterpaparan ADM awal. Empat dari 10 pasien menunjukkan keterpaparan ADM. Pada kasus-kasus ini, nilai mean pencakupan akar berkisar antara 20% hingga 30%.
   
GT memegang sebuah peranan penting dalam patogenesis kelainan resesi, yaitu, jaringan gingiva yang lebih tipis meningkatkan kemungkinan resesi gingiva. Peningkatan nilai GT diamati pada kedua kelompok; akan tetapi, peningkatan yang lebih besar ditemukan pada kelompok kontrol (1,27 ± 0,58 mm) dibandingkan dengan kelompok uji (0,72 ± 0,35 mm). Sebaliknya, Paolantonio dkk., tidak menemukan perbedaan pertambahan GT ketika membandingkan SCTG dengan ADM. Ketidaksesuaian antara hasil kali ini dengan hasil Paolantonio dkk bisa disebabkan oleh SCTG seragam yang diperoleh dalam penelitian kali ini karena cangkokan (okulasi) yang lebih seragam kelihatannya menghasilkan hasil yang lebih mendukung. Akan tetapi, ADM diperlakukan seragam ketebalannya.
   
GT mempengaruhi hasil-hasil estetika setelah bedah pencakupan akar. Cangkokan (okulasi) yang lebih seragam beradaptasi dengan lebih baik terhadap tempat penerima dan lebih mudah dijahit. Walaupun aspek-aspek estetik tidak dinilai dalam penelitian ini, namun kontur gnigiva dan kecocokan warna kelihatannya lebih baik pada tempat-tempat yang dirawat dengan ADM; ini sesuai dengan temuan oleh Wei dkk. Zucchelli dkk mengkaitkan bahwa nilai SCTG ketebalan sebesar 1,0 mm cukup ideal untuk memperoleh kontur gingiva estetik yang baik. Akan tetapi, sangat sulit untuk mengambil cangkokan (okulasi) yang seragam. Perbedaan revaskularisasi dan perbedaan proses repopulasi sel antara SCTG dan AMD juga bisa mempengaruhi hasil estetik. ADM menyediakan sebuah perancah (scaffold) untuk pertumbuhan-kedalam sel dan pembuluh yang diakibatkan oleh ligamen periodontal dan jaringan konektif di sekitarnya, yang menghasilkan penyembuhan dengan kesesuaian warna yang baik dengan daerah sektiarnya. Sebaliknya, penyembuhan pada tempat-tempat SCTG bisa melindungi karakteristik palatal tertentu karena sel-sel cangkokan (okulasi jaringan konektif) tetap hidup dan menentukan keratinisasi lokal yang mengganggu kesesuaian warna gingiva. Aichelmann-Reidy dkk., menunjukkan bahwa tempat-tempat ADM menunjukkan kenampakan yang lebih alami jika dinilai oleh dokter atau pasien, yang sesuai dengan hasil yang kita peroleh pada penelitian kali ini.
   
KT meningkat sebesar 1,1 dan 1,2 mm masing-masing pada kelompok uji dan kelompok kontrol. Akan tetapi, tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok-kelompok ini, seperti yang juga ditemukan pada penelitian-penelitian lain. Novaes dkk., mengamati bahwa 3 bulan setelah terapi, tempat-tempat SCTG menunjukkan pertambahan yang lebih besar pada KT dibanding pada tempat-tempat ADM. Perbedaan ini tidak kelihatan lagi setelah 6 bulan pengamatan, sehingga menunjukkan bahwa cangkokan (okulasi) ADM memerlukan lebih banyak waktu untuk sembuh. Akan tetapi, penelitian-penelitian lain menemukan peningkatan yang lebih besar dengan menggunakan SCTG. Meski demikian, perbedaan KT antara kedua cangkokan (okulasi) tidak relevan secara klinis karena KT tidak mengganggu kesehatan gingiva atau perkembangan resesi. Keratinisasi jaringan gingiva pada daerah cangkokan (okulasi) bisa ditentukan menurut ketebalan flap, yang bisa menjelaskan perbedaan hasil antara berbagai penelitian.
   
Walaupun penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih menjanjikan untuk kelompok SCTG pada evaluasi jangka pendek, namun penelitian-penelitian lain mengklaim bahwa kedua perawatan (SCTG dan ADM) ini tidak jauh beda. Harris membandingkan cangkokan (okulasi) SCTG dan ADM setelah periode jangka-pendek dan jangka-panjang; tempat-tempat yang dirawat dengan menggunakan ADM cenderung gagal seiring dengan waktu, sedangkan tempat-tempat SCTG tetap stabil. Hirsch dkk menunjukkan hasil klinis yag stabil untuk follow-up selama 2 tahun ketika membandingkan cangkokan (okulasi) ADM dengan SCTG. Stabilitas hasil akhir bisa dipertimbangkan ketika memilih tipe cangkokan (okulasi) yang akan digunakan.

KESIMPULAN
   
CPF yang terkait dengan SCTG atau cangkokan ADM cukup efektif dalam menyediakan pencakupan akar. Akan tetapi, CPF yang terkait dengan SCTG memberikan hasil yang lebih baik. Lebih banyak penelitian yang diperlukan untuk menguatkan hasil-hasil ini.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...