Monday, March 8, 2010

Diagnosa cepat demam tifoid dengan pendeteksian antigen Salmonella serotype typhi menggunakan pengujian immunosorbent terkait-enzim dalam urin

Abstrak

Penelitian ini mengembangkan dan mengevaluasi uji immunosorbent terkait-enzim (ELISA) yang menggunakan antibodi-antibodi monoklonal untuk menangkap antigen 9 somatik (O9), antigen flagellar d (Hd), dan antigen polisakarida kapsular Vi (Vi) dari urin orang-orang yang menderita demam tifoid dan yang tidak menderita demam tifoid. Sampl-sampel urin diambil secara berurutan dari 44 pasien yang dibuktikan mengalami demam tifoid melalui kultur darah dan dari dua kelompok kontrol. Kelompok kontrol pertama mencakup pasien-pasien yang mengalami brucellosis (n=12) dan mereka yang mengalami penyakit demam akut, non-tifoid yang didiagnosa secara klinis (n=27). Kelompok kontrol kedua adalah sebuah sampel dari pekerja laboratorium yang sehat (n=11). Ketika dinilai relatif terhadap tanggal onset demam, kesensitifan paling tinggi selama pekan pertama untuk ketiga antigen adalah: Vi dideteksi dalam urin dari 9 pasien (100%), O9 pada 4 (44%) pasien, dan Hd pada 4 (44%) pasien. Pengujian dua sampel urin secara berurutan dari pasien yang sama memperbaiki kesensitifan test. Pengujian gabungan untuk Vi dengan O9 dan Hd menghasilkan sebuah kecenderungan terhadap kesensitifan meningkat tanpa spesifitas yang menganggu. Spesifitas untuk Vi melebihi 90% ketika dinilai diantara subjek kontrol yang sehat dan demam, tetapi hanya 25% ketika dinilai diantara pasien yang mengalami salmonellosis. Pendeteksian antigen Vi urin dengan ELISA ini menunjukkan prospek bagi diagnosa demam tifoid, khususnya ketika digunakan dalam pekan pertama setelah onset demam. Akan tetapi, reaksi-reaksi positif untuk antigen Vi pada pasien-pasien yang mengalami brucellosis harus dipahami sebelum pendeteksian antigen Vi urin bisa dikembangkan lebih lanjut sebagai sebuah uji diagnostik yang cepat dan bermanfaat.

Pendahuluan
   
Demam tifoid merupakan sebuah infeksi akut dan rampat pada sistem retikuloendothelial. Demam ini disebabkan oleh Salmonella enterica subspesies enterica serotipe Typhi (Salmonella Typhi), yang menyebabkan sekitar 16 juta penyakit dan 600.000 kematian di seluruh dunia tiap tahun. Demam typhoid sudah menjadi endemik di Mesir. Penelitian-penelitian berbasis populasi menunjukkan bahwa kejadian demam typhoid adalah sekitar 10-100/100.000/tahun, dengan puncak tahunan pada bulan Agustus. Demam typhoid sulit dibedakan secara klinis dari penyebab-penyebab demam lainnya. Negara-negara dengan laju penyakit yang tinggi sering kekurangan kapasitas untuk melakukan kultur darah dalam rangka menguatkan diagnosa, yang mana bisa menunda dilakukannya terapi antimikroba dan menyebabkan meningkatnya mortalitas pada pasien yang menderita demam typhoid. Dengan demikian, pembuatan sebuah uji diagnostik yang cepat dan murah untuk demam typhoid yang sensitif dan spesifik telah menjadi prioritas kesehatan masyarakat. Dalam penelitian ini kita membuat dan mengevaluasi ELISA menggunakan antibodi monoklonal dalam upaya untuk menangkap antigen somatik 9 (O9), antigen flagellar d (Hd), dan antigen polisakarida kasular Vi (Vi) dari urin orang-orang yang menderita dan yang tidak menderita demam tyfoid sebagaimana dibuktikan dengan kultur darah.

Bahan dan Metode
   
Seleksi kasus: Sampel-sampel urin dikumpulkan dari pasien-pasien yang dirujuk ke Rumah Sakit Abbasia (Cairo, Mesir), dari Juni 2000 sampai Spetember 2001 yang telah memiliki kultur darah positif untuk Salmonella Thypi.
   
Seleksi kontrol: Sampel urin dikumpulkan dari dua kelompok kontrol. Kelompok kontrol pertama mencakup 39 pasien demam. Kultur darah dari pasien yang negatif untuk S. Typhi, Brucella spp. diisolasi dari darah 12 (31%) pasien ini. Sisanya sebanyak 27 (69%) mengalami penyakit demam akut non-typhoid yang didiagnosa secara klinis. Kelompok kontrol kedua adalah sampel dari pekerja lab yang sehat yang menyumbangkan urin untuk penelitian ini.
   
Penanganan spesimen: Sampel-sampel urin dikumpulkan saat masuk ke rumah sakit untuk setiap pasien. Selanjutnya, urin dikumpulkan setiap hari sampai waktu keluar dari rumah sakit. Sampel-sampel urin disimpan dalam tiga jam pengumpulan pada suhu -20oC.
   
Kultur darah: kultur darah dilakukan menggunakan sistem kultur darah biphasic Phase2TM. Botol-botol diinkubasi selama 14 hari pada suhu 35oC dan diamati setiap hari untuk melihat tanda pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan pada kaldu dan pada agar diuji dengan Gram stain dan disubkulturkan ke dalam media padat. Koloni-koloni diidentifikasi dengan metode-metode standar.
   
Pengujian immunoabsorbent yang terkait-enzim: uji ELISA berlapis dikembangkan untuk pendeteksian serotipe Salmonella Typhi antigen O9, Hd, dan Vi. Antigen-antigen bakteri murni yang mencakup antigen somatis (O9), serotipe Salmonella Hd dan antigen kapsular Vi digunakan untuk membuat dan mengkarakterisasi ELISA-ELISA berbda untuk pendeteksian antigen. Setiap tahapan pengujian dioptimalkan dengan titrasi checkerboard.
   
Metode statistik: Nilai densitas optik ELISA (OD) yang secara maksimal memisahkan pasien yphoid dari subjek kontrol ditentukan berdasarkan pembacaan sampel kontrol sehat ditambah dua standar deviasi. Kesensitifian dan spesifitas ditentukan menggunakan sampel-sampel urin baseline.
   
Kesensitifan pada awalnya dievaluasi dengan menggunakan sampel-sampel urin baseline dari pasien yang mengalami demam tifoid. Untuk sampel-sampel ini, kesensitifan dinilai pertama-tama untuk antigen O9, Hd, dan Vi masing-masing kemudian untuk antigen Vi dalam kombinasinya dengan O9, Hd, atau keduanya. Perubahan kesensitifan untuk kombinasi antigen dengan Vi dinilai dengan perbandingan dengan menguji antigen Vi sendiri menggunakan uji chi-square untuk proporsi. Kesensitifan lebih lanjut dinilai untuk sampel urin dari pasien yang mengalami demamtifoid pada pekan mulai dari tanggal onset demam untuk O9, Hd dan Vi masing-masing.
   
Spesifitas dinilai menggunakan sampel-sampel urine baseline dari pasien yang menderita penyakit febrile non-typhoid, termasuk brucellosis yang dikuatkan dengan kultur darah, penyakit demam akut lainnya, dan kontrol-kontrol sehat.

Hasil
   
Karakteristik subjek penelitian. Sampel-sampel urin diperoleh dari pasien yang mengalami demam tifoid sebagaimana dibuktikan dengan kultur darah (n = 44) yang diidentifikasi diantara pasien demam yang dimasukkan ke rumah sakit Abbasia di Cairo dari Juni 2000 sampai september 2001.
   
Pendeteksian antigen Typhi dalam urin. Pendeteksian antigen S. Typhi dalam urin dievaluasi dalam kaitannya dengan beberapa parameter, yakni: sampel urin baseline, tanggal onset demam, dan setelah pemberian agen-agen antimikroba.
   
Sampel baseline. Apabila analisis dibatasi pada sampel urin baseline (yakni, sampel urin pertama yang diambil setelah dimasukkan rumah sakit dari pasien yang mengalami demam tifoid sebagaimana dibuktikan dengan kultur darah), antigen Vi dideteksi pada 32 (73%), antigen O9 pada 19 (43%), dan antigen Hd pada 16 (37%) dari 44 pasien. Nilai mean, standardeviasi, dan range nilai OD untuk kelompok penelitian tidunjukkan pada Tabel 1.
   
Tanggal onset demam. Untuk menilai penentuan waktu optimal untuk pengumpulan sampel urin untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang mengalami demam tifoid, kita mengevaluasi pendeteksian antigen dalam sampel yang dikumpulkan selama pekan 1 sampai 4 setelah tanggal onset demam. Sampel-sampel urin diuji mencakup sampel baseline dan follow-up dari masing-masing kasus. Semua sampel urin yang dikumpulkan dari masing-masing pasien terkait dengan tanggal onset demam untuk pasien tersebut. Selama pekan 1, Vi dideteksi pada urin dari kesembilan pasien (100%0; O9 dan Hd dideteksi pada empat (44%) dari sembilan pasien. Selama paken 2, Vi dideteksi pada urin dari 71 (70%) dari 102 pasien, O9 pada 34 (33%) dari 102 pasien, dan Hd pada 26 (26%) dari 101 pasien. Selama pekan 3, Vi dideteksi dalam urin dari 58 (62%) dari 93 pasien, O9 pada 31 (36%) dari 87 pasien, dan Hd pada 25 (29%) dari 86 pasien. Selama pekan 4, Vi dideteksi dalam urin dari 16 (67%), O9 pada enam (25%), dan Hd pada empat (20%) dari 24 pasien (Gambar 1).
   
Setelah pemberian agen antimikroba. Antigen Vi urin dideteksi pada 17 (81%) dari 21 pasien yang sampelnya diuji pada hari pengumpulan kultur darah positif, dan pada 18 (81%) dari 21 pasien yang urinnya diuji pada hari setelah pengumpulan kultur darah positif. Walaupun pendeteksian antigen Vi urin berkurang setelah itu, namun antigen Vi masih dapat dideteksi dari satu (25%) dari empat pasien yang diuji 10 hari setelah pengumpulan kultur darah positif (Gambar 2). Antigen O9 urin dideteksi pada tujuh (33%) dari 21 pasien yang spesimennya diuji pada hari pengumpulan kultur darah positif, dan pada enam (29%) dari 21 pasien yang diuji pada hari setelah pengumpulan kultur darah positif. Pantigen O9 dan Hd urin tidak terdeteksi dalam urin semua pasien pada hari ke 10 (Gambar 2).
   
Kesensitifan pengujian. Disamping mengevaluasi kesensitifan baselung pengujian dan sampel urin selanjutnya, kita mengkaji dampak kombinasi pengujian antigen dan kombinasi berbagai pengujian sampel urin dari pasien yang sama terhadap kesensitifan. Hasil pengujian berbagai antigen dalam kombinasi ditunjukkan pada Tabel 2. Hasil pengujian berbagai sampel urin harian dari pasien yang sama ditunjukkan pada Tabel 3. Vi dideteksi dalam urin dari 22 (73%) dari 300 pasien setelah satu sampel diambil, ppada 28 (93%) dari 30 setelah dua sampel diambil, pada 29 (97%) dari 30 setelah tiga sampel diambil, dan pada 29 (97%) dari 30 pasien setelah empat sampel diambil. O9 dideteksi dalam urin dari 12 (40%) dari 30 pasien setelah satu sampel dan pada 16 (53%) dari 30 pasien yang memiliki dua, tiga, atau empat sampel. Hd dideteksi pada urin dari 10 (33%) dari 30 pasien setelah pengumpulan satu sampel dan pada 16 (53%) dari 30 pasien yang memiliki dua, tiga, atau empat sampel yang dikumpulkan.
   
Spesifitas pengujian. Untuk sampel-sampel urin baseline dari pasien yang mengalami brucellosis sebagaimana dibuktikan dengan kultur darah, Vi dideteksi pada urin dari sembilan (75%) dari 12 pasien, antigen O9 pada urin dari dua (1%) dari 12 pasien, dan antigen Hd dalam urin dari satu (8%) diantara 12 pasien. Untuk sampel baseline pasien yang mengalami penyakit demam, Vi dideteksi pada urin dari dua (7%) dari 27 pasien, natigen O9 dalam urin dari nol (0%) dari 27 pasien, dan antigen Hd dalam urin dari nol (0%) dari 27 pasien. Untuk sampel baseline dari pasien kontrol yang sehat, antigen Vi, O9, dan Hd dideteksi pada nol (0%) dari 11 yang diuji (Tabel 1). Spesifitas juga dievaluasi untuk antigen Vi dalam kombinasinya dengan antigen O9, antigen Hd, atau keduanya. Penggabungan pengujian dengan O9, Hd, atau keduanya tidak mengurangi spesifitas pengujian dibandingkan dengan pengujian antigen Vi saja (Tabel 2).

Pembahasan
   
Dalam upaya untuk membuat sebuah uji yang cepat, handal, spesifik dan sensitif untuk diagnosa dema tifoid, disini dirancang dan dievaluasi ELISA sandwich menggunakan antibodi-antibodi monoklonal untuk menangkap antigen S. Thypi dalam sampel urin pasien tifoid. Urin dipilih karena mudah didapat dan akan cocok untuk untuk kajian screening massal.
   
Pada penelitian kali ini, ELISA mendeteksi antigen Vi pada 100% kasus yang dimasukkan selama pekan pertama onset demam. Juga diamati bahwa kadar antigenuria berkurang seiring dengan waktu. Antigen O9 dan Hd mengikuti sebuah pola yang sama (berkurang seiring dengan waktu mulai dari tanggal onset demam dan pembersihan dari urin), seperti pada antigen Vi, walaupun proporsi kasus yang dideteksi jauh lebih kecil dibanding yang dideteksi dengan antigen Vi.
   
Ketika metode pengujian ini digunakan untuk menguji sampel-sampel dari pasien tifoid setelah terapi antimikroba, antogen O9 dan Hd dapat dideteksi sampai empat hari setelah pengumpulan kultur darah positif. Akan tetapi, antigen Vi dideteksi 10 hari setelah pengumpulan kultur darah positif. Ini menunjukkan bahwa pengujian pendeteksian antigen bisa digunakan untuk diagnosa pasien tifoid bahkan jika mereka telah mendapatkan terapi antimikroba.
   
Spesifitas pengujian Vi melebihi 90% ketika dinilai diantara subjek-subjek demam dan subjek-subjek sehat tanpa demam tifoid yang dibuktikan dengan kultur darah. Akan tetapi, mengejutkannya, spesifitas hanya 25% ketika dinilai diantara pasien-pasien yang mengalami brucellosis yang dibuktikan dengan kultur darah, meskipun digunakan antibodi monoklonal bagi Vi. Ini menandakan bahwa spesies Brucella bisa membawa antigen mirip Vi, atau antigen mirip Vi dilepaskan ke dalam urin pasien yang mengalami infeksi aliran darah, mungkin sebagai bagian dari komponen ginjal dari respon fase akut.
Kesimpulan
   
Dalam penelitian ini telah dikembangkan sebuah uji ELISA yang cepat, non-invasif dan sensitif untuk pendeteksian antigen-antigen S. Thypi dalam spesimen urin yang diperoleh dari pasien-pasien yang mengalami demam tifoid. Pengujian urin selama pekan pertama onset demam untuk antigen Vi menggunakan ELISA dengan sebuah antibodi penangkapan Vi monoklonal dapat mendeteksi kebanyakan pasien yang mengalami demam tifoid. Pengujian ini sangat spesifik ketika dievaluasi dengan subjek kontrol yang demam dan sehat dengan penyakit selain brucellosis. Akan tetapi, reaktivitas silang yang terlihat diantara pasien yang mengalami brucellosis masih memerlukan pengamatan-pengamatan lebih lanjut. Disamping itu, pasien-pasien tifoid dari kelompok usia berbeda dan area geografis berbeda juga haris diteliti. Pasien-pasien dengan berbgai penyebab infeksi aliran darah lain harus didaftarkan sebagai sebuah kelompok kontrol tambaan untuk evaluasi lebih lanjut dalam pengujian ini.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...