Friday, April 9, 2010

Macam-Macam Kelainan Dentofacial Dan Penatalaksanaannya Pada sebuah Populasi Asia Multi-etnis

ABSTRAK

Tujuan : Tujuan dari penelitian retrospektif ini adalah untuk mengamati berbagai bentuk kelainan dentofacial dan penatalaksanaannya pada sebuah komunitas Asia multi-etnis.

Bahan dan Metode : Selama periode 3 tahun (2001 sampai 2003), sebanyak 212 pasien yang mengalami kelainan dentofacial dan telah mengalami bedah ortognatik pada sebuah specialist center tersier nasional di Singapura direview dalam penelitian ini. Pasien-pasien dengan bibir dan langit-langit mulut yang retak atau menderita sindrom, dikeluarkan dari penelitian ini.

Hasil: Usia rata-rata (rentang: 16 sampai 58 tahun) pasien adalah 24,0 tahun (Standar Deviasi 6,4) dan rasio antara wanita dan pria adalah 1,3:1. Kelompok etnis yang dominan adalah China (91,5%). Mayoritas pasien mengalami kelainan pola Kelas III skeletal (68%). Asimetri didiagnosa pada 36% dari semua kasus dan pada 48% kasus Kelas III skeletal. Kelebihan maxillary vertikal didiagnosa pada 21% dari semua kasus dan pada 47% dari kasus Kelas II skeletal. Bedah bimaxillary yang melibatkan osteotomi LeFort dan sagittal bilateral dilakukan pada 84% kasus kelas III skeletal dan pada 73% dari semua kasus. Osteotomi segmental dan genioplasti dilakukan pada 41% kasus.

Kesimpulan : Temuan ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien adalah orang China yang masih mudah dengan kelainan pada kedua rahang dan memerlukan bedah bimaxillary dengan osteotomi genoplasty atau segmental. Temuan ini bisa mencerminkan keparahan kelainan dentofacial yang lebih besar pada pasien-pasien di komunitas Asia.

Kata kunci : Bedah ortognatik, Kelainan dentofacial, Populasi multietnis.

PENDAHULUAN
   
Kelainan dentofacial adalah kelainan yang mempengaruhi utamanya rahang dan pertumbuhan-gigi serta menimpa sebagian besar penduduk di berbagai masyarakat. Akan tetapi, masih sedikit data yang tersedia tentang prevalensi kelainan dentofacial karena kebanyakan penelitian telah membatasi penelitian mereka terhadap evaluasi oklusi-oklusi dentofacial dan maloklusi tanpa memberikan perhatian yang cukup pada bentuk facial yang bersangkutan.
   
Perkembangan penting alat perencanaan pengobatan dan diagnostik serta tehnik bedah telah menjadikan bedah ortognatik sebagai sebuah prosedur yang umum dan aman dalam penatalaksanaan kelainan dentofacial. Literatur terbaru tentang estetika-estetika wajah dan stabilitas bedah juga telah menghasilkan trend-trend yang terus berubah dalam penatalaksanaan pasien-pasien ini.
   
Singapura merupakan sebuah negara multiras yang terdiri dari ras China, Malaysia, india, dan berbagai etnis yang berbeda. Penelitian ini adalah sebuah review retrospektif terhadap pasien-pasien yang mengalami kelainan dentofacial dan telah menjalani bedah ortognatik dan akan memberikan pengetahuan tentang berbagai bentuk kelainan dentofacial dan penatalaksanaannya di daerah ini.

BAHAN DAN METODE
   
Penelitian adalah sebuah penelitian retrospektif terhadap pasien-pasien ortognatik yang didasarkan pada pemeriksaan catatan-catatan pasien dari klinik kelainan dentofacial yang dilakukan setiap dua pekan di National Dental Center di Singapura. Pemeriksaan setiap pasien dilakukan menurut sebuah protokol terbatas yang mencakup data radiografis dan klinis, penelitian cast gigi, dan analisis cephalometri terkomputerisasi dan simulasi bedah. Masing-masing kasus diberikan ke sebuah tim ahli-ortodontik dan ahli-bedah mulut dan maxillofacial untuk mencapai sebuah diagnosa dan rencana bedah ortodontik. Dalam mencapai sebuah diagnosis, aturan-aturan cephalometri di China turut diperhitungkan. Berbagai macam kelainan dentofacial dikategorikan secara rutin menjadi tiga kelompok skeletal menurut pola skeletal anteroposterior (Kelas I, II, atau III). Keberadaan kelebihan maxillary vertikal, asimetri, atau penonjolan bimaxillary juga dicatat secara rutin.
   
Catatan dari 212 pasien ortognatik yang diobati secara konsekutif dari klinik dan dirawat selama periode 3 tahun (2001-2003) direview. Pasien-pasien yang memiliki kelainan retakan pada bibir atau sindrom dikeluarkan dari penelitian. Semua pasien telah menjalani ortodontik pra-bedah sebelum pembedahan. Usia, ras, dan jenis kelamin pasien juga dicatat. Tipe prosedur bedah untuk osteotomi dicatat sebagai salah satu dari berikut ini: osteotomi split sagittal bilateral (BSSO), osteotomi Le Fort, osteotomi bimaxillary (yaitu, BSSO dan osteotomi Le Fort), osteotomi segmental anterior, dan genioplasty.

Analisis Statistik
   
Disamping statistik deskriptif, uji-uji chi-square digunakan untuk menganalisis perbedaan antara tiga kelompok skeletal. Jika sesuai, nilai P yang sama dengan atau kurang dari 0,05 dianggap signifikan.
   
Analisis statistik dilakukan dengan SPSS versi 12.0.

HASIL
   
Usia rata-rata dari pasien adalah 24,0  6,4 tahun dengan range 16 sampai 59 tahun (Tabel 1). Sekitar 70% pasien berusia antara 18 sampai 30 tahun. Rasio antara pasien wanita dan wanita adalah 1,3 : 1. Distribusi etnis pasien dalam penelitian ini adalah 91,5% orang Cina, 4,25 orang Malaysia, 2,4% orang India, dan 1,9% lain-lain.
   
Sebuah pola kelas III skeletal merupakan bentuk kelainan dentofacial yang paling umum (67,9%). Kemudian selanjutnya pola Kelas Ii skeletal (24,5%) dan pola Kelas I skeletal (7,5%). Tidak perbedaan signifikan dari segi usia, jenis-kelamin, dan distribusi etnik dari pola skeletal anteroposterior (Tabel 1).
   
Asimetri didiagnosa pada 35,8% dari semua kasus, sedangkan kelebihan maxillary vertikal ditemukan pada 22,25 (Tabel 2). Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan untuk kejadian kelebihan maxillary vertikal, penonjolan asimetrik, dan bimaxillary pada ketiga kelompok skeletal (P < 0,001). Pada kelompok Kelas III skeletal, 47,9% kasus memiliki asimetri dan 9,7% mengalami kelebihan maxillary vertikal. Kelebihan maxillary vertikal ditemukan pada 53,2% pasien yang memiliki pola Kelas II skeletal. Semua pasien yang memiliki pola Kelas I skeletal memiliki kelebihan maxillary vertikal, penonjolan bimaxillary, atau asimetris.
   
Osteotomi bimaxillary melibatkan osteotomi Le Fort dan BSSO merupakan prosedur bedah yang paling umum dilakukan, terhitung 73,1% dari semua pasien yang diobati (Tabel 3). Pembedahan rahang-tunggal yang melibatkan osteotomi Le Fort dilakukan pada 13,2% kasus, sedangkan BSSO dilakukan pada 10,4% kasus. Sedikit pasien (3,3%) yang utamanya mengalami penonjolan bimaxillary pada sebuah pola Kelas I skeletal hanya memiliki osteotomi segmental. Akan tetapi, osteotomi segmental dilakukan pada 13,7% kasus yang melibatkan osteotomi bimaxillary dan rahang-tunggal, dan genioplasty dilakukan sebagai sebuah prosedur sekunder pada 29,7% dari semua kasus.

PEMBAHASAN
   
Sebanyak 212 pasien dijadikan sampel telah diketahui memiliki kelainan dentofacial namun tidak kesimpulan yang bisa diambil tentang kejadian kelainan-kelainan ini pada populasi secara umum. Rasio antara pasien wanita dan kelompok usia dominan pada kelompok pasien ini merupakan temuan yang diharapkan. Rasio pasien Cina yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan norma-norma populasi akan menunjukkan kesadaran yang tinggi diantara para orang Cina atau kejadian kelainan dentofacial yang lebih besar pada kelompok etnis yang lain. Status sosioekonomi yang umumnya lebih tinggi dari orang Cina dalam komunitas juga mempengaruhi pemilihan perawatan yang mahal.
   
Kejadian maloklusi kelas III skeletal yang tinggi dalam penelitian ini sesuai dengan hasil dari penelitian-penelitian lain tentang maloklusi gigi pada orang Cina. Temuan juga menunjukkan bahwa maloklusi skeletal ini relatif tidak wajar dalam populasi tersebut dan menyegarakan banyak pasien untuk mencari pengobatan. Penelitian-penelitian tentang preferensi profil terhadap orang-orang awam di Asia secara konsisten telah menemukan bahwa sebuah profil cekung akibat rahang prognatik merupakan profil terburuk yang mempengaruhi wajah. Penelitian juga telah menunjukkan bahwa pasien yang mengalami kelainan Kelas II sagittal yang parah lebih condong kepada ortodontik ketimbang bedah, sedangkan banyak subjek Kelas III parah yang mencari pengobatan bedah ortognatik dibandingkan dengan mereka yang mengalami kekurangan mandibular parah.
   
Diharapkan agar individu yang mencari pengobatan bedah ortognatik akan memiliki prevalensi asimetri terdeteksi yang tinggi akibat pola-pola pertumbuhan yang tidak normal. Dalam penelitian ini, asimetri didiagnosa pada sekitar sepertiga pasien dan ini bisa menjadi alasan estetik yang signifikan untuk mencari pengobatan bedah ortognatik. Ini sejalan dengan temuan Severt dan Proffit yang juga melaporkan kejadian asimetri yang nampak secara klinis pada 34% pasien yang mengalami kelainan dentofacial.
   
Haraguchi dkk., menemukan bahwa pada sebuah penelitian dengan 220 sampel pasien Jepang Kelas III, 56% memiliki asimetri jaringan lunak dan 80% memiliki sedikit asimetri jaringan keras. Temuan ini didukung oleh penelitian ini dimana 48% pasien Kelas III didiagnosa dengan asimetri klinis. Kejadian asimetri juga lebih tinggi pada pasien Kelas III dibanding dengan pasien Kelas II dan kelas I. Cukup wajar untuk disebutkan bahwa asimetri lebih sering terkait dengan pertumbuhan yang berlebihan khususnya pada kasus prognatisme mandibular, dan disarankan agar perhatian khusus diberikan pada pasien Kelas III selama pemeriksaan awal untuk pendeteksian asimetri jaringan keras dan lunak.
   
Kejadian bedah yang tinggi pada kedua-rahang bisa mencerminkan keparahan kelainan dentofacial yang lebih besar yang terlihat pada daerah ini. Perkembangan-perkembangan terbaru dalam tehnik diagnostik dan tehnik bedah juga telah memungkinkan para tenaga klinis untuk mengidentifikasi dan mengobatai tempat-tempat kelainan serta ini bisa menjelaskan sebagian kejadian bedah kedua-rahang yang lebih tinggi dalam penelitian ini jika dibandingkan penelitian-penelitian terdahulu.
   
Dalam penelitian ini, bedah bimaxillary tidak umum dilakukan pada kasus-kasus Kelas III skeletal (84%). Ini bisa dijelaskan sebagian dengan keparahan maloklusi Kelas III skeletal yang lebih besar yang dapat dilihat pada populasi China. Pada tahun 1980an, osteotomi ramus untuk memulihkan mandibular digunakan sebagai prosedur standar untuk koreksi Kelas III skeletal. Akan tetapi, dengan perkembangan tehnik-tehnik bedah dan dengan ditunjukkan bahwa perkembangan maxillary tidak mungkin menyebabkan masalah berbicara pada pasien yang tidak cleft dan dengan dokumentasi bahwa esetetik lebih baik dan stabilitas bisa dicapai dengan bedah maxillary dan mandibular, maka prosedur-prosedur bimaxillary saat ini merupakan prosedur bedah yang paling umum dalam koreksi Kelas III skeletal.
   
Kejadian penonjolan bimaxillary, yang diduga relatif tinggi pada populasi ini, hanya ditemukan pada 4,7% sampel dimana sekitar setengah dari kasus ditemukan memiliki kelainan tambahan. Kejadian osteotomi segmental yang relatif rendah untuk mengobati penonjolan bimaxillary dalam sampel ini bisa menunjukkan bahwa kelainan ini relatif bisa diterima dalam populasi secara umum.

KESIMPULAN

Mayoritas pasien yang pernah mengalami bedah ortognatik adalah orang Cina yang masih muda dengan kelainan dua-rahang yang memerlukan bedah bimaxillary.

Pola Kelas III skeletal merupakan kelainan dentofacial yang paling umum diantara pasien-pasien yang ingin mencari bedah ortognatik.

Temuan penelitian ini juga mencerminkan keparahan kelainan dentofacial yang lebih besar pada pasien-pasien di komunitas Asia.

No comments:

Post a Comment

Hubungan Indonesia-Australia di Era Kevin Rudd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang     Pada tanggal 3 Desember 2007, pemimpin Partai Buruh, Kevin Rudd, dilantik sebagai Perdana Menter...